"Saat itu situasinya sangat pelik...tak tahu lagi mana kawan dan mana lawan...ada ambisi kepentingan yang besar...ada rencana besar tersusun"
"Lalu?" tanyaku
"Baskoro ada dipersimpangan...sampai ahirnya dia memutuskan untuk mengundurkan diri dalam ketentaraan. Dia tidak mau terlibat dengan situasi politik, baginya tentara itu haruslah membela dan mengamankan negeri ini, bukan terlibat dalam konflik politik"
Kembali Om Wawan menghentikan sejenak ceritanya, dia kembali merenung, lalu..
"Sampai ahirnya keluarlah perintah untuk menghabisi orang orang yang tidak sejalan. Dan Baskoro adalah satu dari sekian yang harus dihabisi. Tugas itu ada ditanganku nak...tugas untuk menghabisi Baskoro yang juga temanku."
"Kenapa ibuku juga harus dibunuh?"
"Itu perintah...harus menghabisi semuanya termasuk kamu. Dan aku terlalu pengecut untuk menolak...Bapakmu bukanlah penghianat..dia pahlawan negeri ini"
Aku menangis dan pikiranku menjadi kosong, namun kebanggaan itu perlahan mulai hadir dalam diriku.
"Siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab atas peristiwa itu Om?...siapa yang memberi perintah?" tanyaku kembali.
Lalu Om Wawan memberi isyarat padaku untuk mendekat, kemudian ia membisikkan sesuatu padaku.
"Kamu puas sudah mengetahuinya?" tanya Om Wawan
Aku mengangguk
"Aku juga puas bisa melepas beban ini walau dosaku terhadap keluargamu tak akan terampuni...sekarang, tolong panggilkan anakku Hawa dan cucuku Lintang ke sini...aku mau bicara dengan mereka"
Kemudian aku memanggil istri dan anakku, setelah mereka masuk, akupun keluar dari kamar itu.
Setelah satu jam, istriku keluar dan memelukku sambil menangis.
"Papa sudah pergi" isaknya dalam pelukanku.
***
Kereta yang membawa kami sudah hampir tiba di Yogyakarta.
Dua bulan sejak pemakaman Om Wawan secara militer dilaksanakan, aku membawa keluargaku pulang ke yogya.
Istriku yang duduk disampingku, sedangkan Lintang tengah asik memandang ke luar jendela kereta api.
"Ayah...lama sekali sampainya...kenapa tidak naik pesawat aja? kan bisa cepet" tanya Lintang.
"Lho..kita kan liburan...nikmati aja perjalannya, lagian pemandangannya kan indah" ucapku sambil tersenyum.
"Iya sih...tapi lama sampainya Yah"
"Lintang sayang...seringkali tanpa kita sadari, perjalanan itu lebih indah daripada tujuan"
"Maksud ayah?"
"Suatu saat kamu akan mengerti nak" ucapku sambil memeluknya.
Ahirnya kereta tiba di stasiun Tugu Yogya, kami pun turun dan berjalan keluar stasiun.
Seorang lelaki menjemput kami.
"Selamat datang den Elang, selamat datang bu"
"Makasih mang Bain...oh ya..tolong barang barangnya dimasukkan ke bagasi" pintaku pada mang Bain, sopir keluargaku di Yogya.
Setelah selesai mengemasi barang, kami pun berangkat menuju rumah.
"Ayah...apakah kakek seorang pahlawan seperti Opa?" tanya Lintang saat di dalam mobil.
"Iya...kakekmu seorang pahlawan"
"Tapi dimana kuburannya...kenapa tidak dimakamkan seperti Opa? tanyanya lagi.
"Ayah tidak tahu dimana kuburan kakekmu, yang pasti...pahlawan bisa tumbuh dan hilang dimana saja, tapi bumipun akan tersenyum menyambut jasadnya"
"Lalu...apakah ayah seorang pahlawan? tanya Lintang kembali.
"Menurut Lintang sendiri bagaimana?" aku balik bertanya sambil tersenyum kearah istriku.
Lalu mereka berdua memelukku hangat.
****
Tamat
Rembang, Oktober 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H