Mari kita kilas balik peristiwa-peristiwa yang telah terlewati selama tahun 2018 ini. Tak terasa, tahun 2018 sudah mencapai penghujung akhir. Bulan Desember akan menutup 300 lebih cerita setiap harinya yang penuh suka, walaupun ada pula duka yang tiba-tiba menyingkirkan senyum yang terlanjur mengguratkan ekspresi muka.
Kalau kita coba menengok kembali kisah-kisah yang lalu, ternyata tak sedikit momen-momen mengejutkan hadir di tengah-tengah ruang lingkup kebangsaan kita. Tak perlu jauh-jauh, beragam musibah yang jatuh di atas jiwa-jiwa rakyat di beragam provinsi yang tersebar di Tanah Air ini. Sebut saja salah satu pulau yang 'menerima' guncangan dari alam, yaitu Lombok.Â
Begitu telinga mendengarnya, otomatis terngiang dalam benak kita mengenai peristiwa gempa yang menimpa masyarakat di sana. Kebetulan salah satu teman saya di kampus berasal dari Lombok dan ia menceritakan betapa kejadian itu sungguh menggemparkan. Orang-orang berlarian ke sana ke mari mencari perlindungan, menghindar dari puing-puing bangunan yang rubuh tak kuat menahan guncangan dari lempeng bumi yang mengalami pergeseran yang luar biasa. Tak dipungkiri, korban jiwa dan terluka baik fisik dan hati pun berjatuhan.
Berbagai musibah lain pun silih berganti datang. Tak usah jauh ke pelosok negeri seberang, bahkan 'produk pribumi' sudah menjadi pemberitaan harian, mingguan, hingga bulanan di sini. Selain Lombok, ada Donggala hingga yang terakhir yaitu sebuah tsunami yang melanda Selat Sunda dan sekitarnya. Lampung dan Banten menjadi penerima takdir Yang Maha Kuasa. Tentu bukan hanya BMKG yang bertanya-tanya penyebab ragam peristiwa yang telah terjadi, namun kita pun ikut berdecak penuh rasa penasaran dalam dada.
Apa yang sedang terjadi? Apakah itu ada kaitannya dengan kondisi bangsa ini? Mengapa begitu banyak kejadian yang memilukan hati?
Saya yakin, beribu tanda tanya dan keingintahuan mendesak jemari kita untuk mencari berita di sosial media dan linimasa, lisan kita untuk berkali-kali memohon ampunan kepada Sang Maha Perencana, dan tangan beserta kaki untuk berbuat sebisa yang kita bisa. Atau, cukup diam seribu bahasa tanpa mau mencari tahu lebih dalam, mengulik lebih spesifik lagi.
Ketika saya sedang scrolling di sosial media, tak sedikit netizen yang 'nyinyir' terhadap satu dua dan beberapa segi permasalahan yang melingkupi Bumi Pertiwi, salah satunya seputar moralitas dan karakter yang bobrok dan sepertinya menjadi permasalahan. Hingga, ragam permasalahan tadi menghasilkan sebuah jargon yang ditelurkan oleh pemimpin negeri ini (Revolusi Mental), namun sepertinya PR itu masih belum ada tanda-tanda untuk terselesaikan hingga periode kepemimpinannya berakhir.
"Rasanya begitu jelas, musibah ini menjadi isyarat akan begitu banyaknya kemaksiatan yang terjadi!"
"Tak perlu dipungkiri, Tuhan mengingatkan kita karena akhlak yang sangat bobrok. Lihatlah, konflik masih menjadi makanan sehari-hari."
Dan contoh lainnya yang serupa.
Have seen the same words like above?
Tidak perlu heran, masih banyak yang mengait-ngaitkan antara hal-hal yang mungkin saja tidak ada kaitannya. Meskipun saya sebagai orang yang beriman, tentu saja saya merasa bahwa ada maksud di balik setiap momen yang terlintas di atas hamparan bumi yang luas, dan bencana alam itu sebagian kecil di antaranya.Â
Namun, sekali lagi yang saya sayangkan yaitu kenyataan bahwa peristiwa duka semestinya tidak dijadikan ajang saling menyalahkan. Ketika opini pribadi mengalahkan sikap empati, justru di situlah timbul masalah-masalah yang lain. Kita bayangkan perasaan para korban jika dihubung-hubungkan dengan keburukan laku dan tindak orang-orang di sana.
Ketika kita mau mencoba melihat itu dari sudut pandang yang, katakanlah, berbeda...
Ada hal yang jauh lebih besar dari sekadar perbuatan buruk. Sebagai seorang yang beriman dengan ilmu, siapapun mampu menyimpulkan bahwa setiap gempa ya terjadi karena pergeseran lempeng tektonik, lalu tsunami pun terjadi karena naiknya gelombang pasang yang bisa disebabkan beragam faktor, dan jenis-jenis bencana lainnya, serta tak akan mungkin semua itu terjadi tanpa campur tangan-Nya.Â
Entah di balik apapun alasan dari pertanyaan-pertanyaan seputar takdir yang jatuh ke atas kepala para korban jiwa, semua jelas ada hikmah dan penjelasannya. Namun, terkadang ada hal yang tak perlu dijelaskan, cukup dijadikan suatu pengondisian untuk merenung, bermuhasabah (mengevaluasi diri), dan mendekatkan diri kepada Ilahi.
Tak perlu berpanjang diskusi, mari kita sama-sama mendoakan mereka yang dirundung kesedihan yang mendalam karena ditinggal kekasih hidup, sahabat, orang tua, guru, sanak saudara, kerabat, siapapun yang memiliki arti selama mereka hidup. Terlepas kita tidak mengenal mereka atau tidak, manusia harus dimanusiakan dan inilah cara kemanusiaan mengabdi dalam kehidupan. Hidupkan kemanusiaan, maka egosentris yang mencekam tak akan lagi kelam, hanya ada sikap altruisme dan keikhlashan untuk kebaikan dunia dan Akhirat, semoga.
Elang Jordan Ibrahim
Purwokerto, 25 Desember 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H