Mohon tunggu...
Syarra
Syarra Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(Bulan Motivasi RTC) Cinta yang Hilang

24 Mei 2016   22:54 Diperbarui: 24 Mei 2016   23:04 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tim : sweety 

Cikarang Bekasi, ada magnet besar tertancap di sana, meski sakit tak terkira rela terus bertahan tanpa jera. Merendahkan diri, menengadahkan tangan hanya untuk sekelumit pekerjaan.
 Rela di permainkan para manusia yang seolah-olah baik dan bersahaja. Menundukkan muka setunduk-tunduknya sampai bahu tak mampu lagi kubusungkan dengan wibawa.
 “Rendah jadi pesuruh, masih kuberkata, siap!” Bisik hatiku dengan nanar mata lalui panasnya jalan raya.

 Karena ingat, aku bukan lagi seperti beberapa waktu yang lalu, dengan seragam kebanggaan bersama langkah merdeka.
 Di sini juga bukanlah datang sebagai pengunjung pariwisata, yang datang hanya untuk melakukan pengamatan atau beranjangsana, jika bukan karena dia, tak akan kulangkahkan kaki nekat berbekal ala kadarnya.
 Benar apa kata dia, memang aku terlalu nekat dalam melangkah, mentalku terlalu lemah, manja dan serba ketergantungan dengan orang lain, menjadi salah satu alasan kuat ia sangsikan.


 “Aku tak yakin kau mampu, hari pertama saja telah kudapati wajah bimbangmu" Katanya padaku.
 "Lalu, selepas kau temui aku, langkah mana lagi yang akan kau tuju?! ” Dia membentakku.
 Aku tersentak, mata ini memberat seperti menahan beban bertonton. Air mata yang telah lama tersimpan mulai saling berdesakan berburu ingin segera keluar. Takutku semakin menjadi, dada juga terasa sakit dan nyeri. Ingin berteriak sekeras-kerasnya agar raga ini semakin ringan rasa.
 .
 Kita berdua di ruang itu, ruang tamu yang hanya sejengkal kuku, sempit hanya muat diisi kursi dan televisi. Kakaknya, yang dari jum'at lalu datang berkunjung sengaja pamit undur permisi, ungkapnya akan mancing di danau dekat perum sambil membawa rangsel isi ragam keperluanya nanti.
 Pelan kutundukkan kepala, bungkam mulut dengan dua tangan kuat-kuat, berharap agar suara tangisanku tak terdengar keras. Kutahan suara. Tapi, akhirnya terpecah juga seketika. lama, sangat lama, dari luruh luka kutuangkan dalam satu masa. 

Tak kuberikan alasan apapun kepadanya.
 . Hingga akhirnya air mataku kian membanjir, menganak sungai di pipiku. Tiada sedikitpun alasan yang mampu aku tuang, sebab hati dan perasaanku kini remuk ternyata sosok yang selama ini aku khayalkan dan rindukan layaknya monster yang siap melahapku. habis sudah kata-kata yang telah aku siapkan sedari rumah. Hanya air mata yang mampu menjelaskan semua perih luka hatiku, aku berlari keluar ruang sempit itu mencoba menjauh dari sosok yang dulu menjadi peneguh hatiku. Hingga aku berani menjejakkan langkah di kota Cikarang Bekasi bersama harapan untuk bisa hidup bersamanya.

Semua akan berlalu. Kesedihan, kebahagian akan tergerus oleh sang waktu. Untuk apa kita menggenggam hal yang menyakitkan. Hanya untuk menumpahkan air mata kesedihan. Jika kita masih punya pilihan air mata yang keluar adalah sebagai tangis kebahagian.
 Untuk apa menggenggam terus kepedihan. Jika hanya untuk diratapi dan dikeluhkan. 


 “Aku harus mampu,” aku berkata pada cermin dihadapanku. Ya, satu sosok terpampang jelas di sana. Semua adalah pilihan. Kepedihan yang menerpaku tidak untuk menggerusku menjadi sesuatu yang akan menghancurkan. Monster yang kerap menjegal jalan kebahagianku adalah kepedihan yang kerap aku genggam. Monster itu adalah diriku sendiri.
 “Aku harus kuat,” kataku lagi. Tak akan ku biarkan monster itu menguasai ruang bahagia aku.

Secepat kilat aku menghapus air mata yang kian membanjir. Aku berusaha untuk tetap tegak berdiri walau aku tahu kaki ini tak lagi mampu untuk berdiri. Janji yang selama ini menjadi peneguh cinta kami telah goyang sebab sosok yang membuatku berdiri di kota ini kini telah berubah, entah setan apa yang telah menghasutnya sehingga perlakuanya padaku tiba-tiba kasar berbeda dengan dia yang dulu. Banyak hal berkecamuk dalam pikiranku. Penyesalan pun kini menggelayut seolah awan hitam. Setelah kejadian itu aku tak ingin lagi jumpa denganya, aku juga kini tak mampu menjelaskan kepada orang tuaku di kampung halaman perihal sosok yang telah membuatku seperti ini.

Dari keluarga yang kutinggalkan, karirku yang hancur mumur, hingga cintanya juga tak lagi bisa ia jelaskan, hanya segumpal kalimat ‘kita bukan jodoh’ menjadi akhir pertemuan

Entah kemana saja hatiku, ketika diri tunduk bersimpuh dengan bibir nyinyir berdzikir, Tak bergunakah sepertiga malam yang kulalui bersama sujud dan kepasrahanku. Sampai - sampai tak sadar bisa sejauh ini melangkah, mungkin Alloh benar - benar tengah murka.

Hela nafas, kuserahkan kembali pada–Nya.Tak peduli lagi musibah ini balasan atau ujian yang tengah kutimpa, nasi sudah menjadi bubur, biarlah dari segala yang terjadi semoga aku bisa menjadi manusia yang lebih baik dan beralur dalam langkah yang baik.

Menatap kelangit, mengamati kenapa langit di Cikarang Bekasi terlihat merah, bukan karena tengah terjadi kebakaran hutan, tapi karena terangnya lampu-lampu besar menjulang. Sampai-sampai, bintang dan rembulan sangat-sangat aku rindukan kesenduannya.

Memejamkan mata, membiarkan hati bergejolak “ Ini perilakumu Robby. Aku terima dengan tangan terbuka. Trimakasih. kalaupun ada lagi yang ingin Kau tambahkan lagi lebih sakit dari ini, maka tolong aku, mohon di perkuat, dan jika Engkau merasa tidak perlu lagi, maka lepaskanlah aku dari penderitaan dan jadikanlah aku pribadi yang bahagia”. Doaku berserah.

Aku sang pemberontak. Bukan melemah karena kata-katanya, meski itu benar adanya, tapi menguat tekad bahwa aku harus buktikan tentangman jadda wa jada.

“ Kembalilah, ke tempat seharusnya kau berada di sana, ibu dan keluargamu tengah menimbun rindu, menunggumu kembali dengan segera.” Pintanya padaku melalui telephon.

Meski pergiku tanpa restunya, tapi aku yakin beliau tak akan pernah lepaskanku berkelana tanpa doa-doanya yang mulia.

“Terimakasih ya Robb, telah kau karuniakan mama sebaik dia,  yang selalu sayang dan dukung luruh mimpi - mimpiku dengan sempurna. Dia (mama) yang tak pernah jemu aku buat hatiya berdegup pilu, yang rela menjadi sayap-sayapku yang tangguh hingga aku mampu menjulang keseluruh penjuru . Terimakasih ya Robb, telah terlahir dari rahimnya yang mulia, karena dari sanalah aku dibimbingnya untuk bisa mengenal-Mu, Robb-ku yang maha mulia. Maka Alloh ya Robb, ampuni aku yang belum juga mampu hadiahkan mereka secuil tawa, ampuni aku yang belum juga mampu persembahkan hal yang tak membebankan mereka”. Hatiku kembali berdoa dalam tahajud yang panjang.

Tak kulakukan apapun, selain kupandangi dia dengan segala kebekuan rasa, berterimakasih kepadanya yang telah menjadi lantarku terbukanya mata. Alloh memilihnya juga bukan tanpa alasan, dan tak akan kupertanyakan kepada-Nya begitu dalam apa yang telah tertera.

“cup cup cup...”Mba yuni memelukku rata, dan memberikanku bahasa sederhana. “ Jika saat sang penakut dikalahkan oleh orang yang berani, dan orang yang berani dikalahkan oleh orang yang nekad, maka untuk orang yang nekad bersiaplah untuk dikalahkan oleh orang-orang yaang gila”.

Dan kujawab “akulah orang gila itu!” Sudah terlanjur, aku memang harus menjadi orang gila itu, tak mau tanggung-tanggung dalam melangkah, harus siap dengan segala konsekuensinya.

Ya, siap bangun. Tak mau hati kembali mengemis - ngemis menunggu orang lain beri cahaya, pemilik pribadi penakut ini akan melakukan sesuatu, rasa takut ini akan kugunakan untuk mentenagaiku dalam melangkah, dengan gelap, tangan masih bisa meraba, telinga juga masih berfungsi sempurna, kaki juga masih bisa melangkah.

Kembali merujuk kearah matahari terbit. Perbaharui cara pandang, berharap sejuknya embun sambut menyapa.

Melangkah dengan hati, berserah tanpa amarah, menggebu tanpa terburu, meski hati riuh gemuruh, terjang ilalang gempur batu penghalang. Bangun rencana kedua setelah kutemui dia, bekerja bangun diri di sebuah kota yang kejam penuh ambisi. Bersiap mental, mencontoh ikuti proses orang-orang sukses dalam melangkah. Termotivasi dari pemikiran bahwa aku tak mau hidup sengsara dimasa tua, berinvestasi sebanyak-banyaknya, menjadi pribadi yang bermanfaat sebanyak-banyaknya bagi manusia lainnya, sadar bahagia itu lahir dari kebahagiaan - kebahagiaan orang lain yang terulurkan dari tangan kita sendiri.

Cikarang Bekasi. Butuh manage yang baik untuk bertahan hidup, pasrah berarti mati.
 Meski hati mumur remuk nyeri. Percaya AR - Rahman itu ada. Mereka orang-orang yang hidup tanpa iman saja Alloh penuhi apa yang mereka pinta, terlebih kita.

Mulai kubaca suasana, memandang jauh kedepan, tentukan langkah-langkah yang harus terealisasikan, tak bisa mengikuti pelatihan-pelatihan secara langsung, aku rangkul mereka manusia-manusia matang ilmu, berharap bisa mengguruiku. Beranikan hati, terjun dalam lingkaran merah, memilih rekan-rekan berpotensi sebagai batu lompatan, tak mau bermain-main dengan waktu, kan kumanfaatkan semaximal mungkin dalam mengejar target yang telah dalam hati bersemayam.

Waktu tiga bulan harus dapat banyak hal. berlahan mulai terarah langkah, mulai tenang tertata. aku benar-benar gila, tapi ini memang yang harus aku lakukan. Bukan gila harta, tapi aku perempuan kecil yang bermimpi besar. Faham harus realistis, karena teringat ada jedha antara nun dan kaf dalam kun fayakunnya Alloh, tak mungkin terwujud mimpi tanpa usaha, doa, dan keberserah jiwa.

Pelan-pelan, teringat dulu guruku berikan wejangannya“jika kita tidak miliki keberanian, maka bisa kita ganti dengan keberserahan, karena orang yang dalam posisi ketidak mampuan yang berada dalam keberserahan itu ada dalam perawatan Tuhan langsung, maka baginya akan mudah melangkah karena seluruh langkahnya dalam bimbingan dari Tuhan”. Dan aku yakin itu.

Cikarang Bekasi, entah sampai kapan bisa terus bertahan. mengolah diri untuk bisa menjadi pribadi yang lebih baik dan mandiri. Belajar agar hati tidak layaknya telur saat terendam air mendidih saat dibuatnya matang, menggumpal tanpa rasa. Benahi mental. mengambil pelajaran sang tanah liat, saat akan menjadi genteng kuat, butuh proses lama. Hingga pada akhirnya menjadi genteng yang berharga mulia.

Malam ini kembali teramu bahasa. Beramah-tamah menyatu dengan lingkungan sekirtar, berharap bertambah saudara, Tapi disitu hati kembali tersentuh rasa. Aku sensitif. terbiasa hidup semua tersedia , mau makan saja tinggal sebutkan berlauk apa, tak sampai lima menit semua berada di depan mata. Kali ini, satu logam rupiah saja tak kupunya. Harus sekedar bantu-bantu orang untuk dapatkan sesuap makanan. Tak ada yang gratis ungkap mereka, lagi pula pantanglah diri jadi sang peminta-minta.

Dari segala yang terjadi, akhirnya kesimpulan yang bisa kuambil, semoga ini bukan tanda-tanda tercabutnya nuur ilahi dari hidupku, tapi semua adalah semata penguji dalam rangka proses naiknya derajatku.Aamiin.

Nama anggota:

Syarra

Yuhny Armmansyah

Bioeti Yeni Kurnia


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun