Mohon tunggu...
Fitriyani
Fitriyani Mohon Tunggu... Freelancer - Junior Editor at Delilahbooks.com

A woman who loves writing story beyond her imagination.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Emakku

26 Desember 2015   13:41 Diperbarui: 26 Desember 2015   13:41 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa yang aku tulis di sini, adalah wujud kerinduan mendalam terhadap sosok ibu yang kupanggil Emak. Emak yang tak bisa kucium tangannya setiap hari, karena kami berada di tempat yang berbeda. Beliau di Cirebon, aku di Jakarta. Tapi aku yakin sekali, doa beliau selalu mengiringi langkahku, dalam setiap detak jantung dan nafas kehidupanku. 

Apa yang akan kuuungkap di sini, telah terpendam lebih dari setahun. Ketika itu aku baru saja wisuda, sebagai anak pertama yang di wisuda. Aku bangga luar biasa, dan tentunya, aku juga ingin melihat kebanggaan itu di mata Emak. sempat kubuat sebentuk puisi untuknya,

Emak, 

saat-saat pertama dalam hidupmu telah terjadi

kau telah menggendong cucu pertama dari putra sulungmu

Putri sulungmu meraih gelar sarjana

bahagiakah kau, Mak?

 

Bagi setiap anak, ibunya adalah sosok luar biasa yang takkan pernah tergantikan. Begitupula denganku. Banyak yang bilang, wajahku persis jiplakan ibuku, dengan fakta itu tak ada keraguan kalau aku adalah anak Emakku. Meski aku adalah yang terpendek diantara tujuh bersaudara, tapi wajahkulah yang paling mirip dengan Emak. 

Pada masa awal-awal kuliah, saya selalu terpesona saat diajak jalan-jalan oleh teman keliling Jakarta. Tapi kesenanganku menikmati tempat wisata tak pernah sempurna, karena keinginan untuk mengajak ibu dan adik-adikku untuk ikut jalan-jalan selalu menggelayuti pikiranku. Saat kusampaikan hal itu kepada Emak melalui telepon. Emak hanya berkata:

"Sudah, gak apa-apa. Kamu aja dulu yang jalan-jalan, senang-senang. Nanti kalau kamu sudah kerja dan punya banyak uang, kamu bisa ajak Emak jalan-jalan nanti." 

ucapan Emak menimbulkan keharuan hingga aku tak mampu menahan airmataku saat itu. Percakapan tersebut masih terpatri jelas di ingatanku, meski sudah bertahun-tahun berlalu. Karena percakapan itulah yang membuatku bersemangat menyelesaikan kuliah, agar bisa membawa ibuku ke Jakarta, dan mempersembahkan ijazah sarjanaku padanya. 

Pada masa lalu, aku tak berdaya menolongnya dari cemoohan tetangga kaya yang sombong, yang menginjak-injak harga diri keluarga kami. Tapi kini, meskipun Emak hanya lulusan Mts namun Emak berhasil mengantar anaknya menjadi Sarjana, dengan dukungan dan doa yang tak pernah putus. 

seorang ibu, selalu mengutamakan anaknya dalam segala hal. Begitu pula dengan Emakku. Setiapkali berdoa seusai shalat, yang lebih dahulu didoakan adalah anak-anaknya. Pada libur lebaran idul fitri yang lalu, saat aku berkesempatan pulang kampung dan menghabiskan waktu bersamanya. Ibuku mengungkapkan doa yang selalu ia panjatkan akhir-akhir ini. Bahwa ia mendoakan agar aku segera bertemu dengan jodohku dalam waktu dekat. Aku hanya mampu tersenyum, Emakku selalu mendahulukan kesejahteraan dalam kehidupan setiap anaknya. Selalu mendoakan yang terbaik bagi anak-anaknya. 

"Mak, jangan terus mendesakku untuk menikah. Aku masih ingin kerja, cari uang buat Emak dan adik-adik."

Emak tersenyum mendengar ucapanku, tapi senyumnya langsung menghilang ketika aku katakan bahwa aku bersedia dilangkahi oleh adik perempuanku untuk menikah. Dengan cemberut EMak langsung menyatakan ketidaksetujuannya. Akupun hanya mampu tertawa melihat ekspresi emakku yang kuanggap lucu. 

Di lain waktu Emak juga pernah bilang, bahwa sejatinya seorang anak akan menjadi milik orang lain ketika anak itu telah dewasa. Tugas orangtua hanyalah membesarkan dan mendidik anak dengan baik. Emakku, yang setiap hari bangun pagi untuk membelikan sarapan bagi seluruh anggota keluarga. Emakku, yang sampai saat ini masih memandikan dan mendandani adik-adikku yang hendak berangkat sekolah. Emakku, yang tak pernah meminta apapun kepada anak-anaknya. Emakku, yang selalu menyisipkan doa dalam setiap dzikir dan wiridnya. Emakku yang tak pernah mengharapkan balasan apapun dari semua yang telah ia lakukan selama hidup demi keluarganya. 

Emakku, wanita paling berharga yang ada dalam hidupku. Sekarang dan selamanya. 

 

Foto: Dokumen Pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun