El Fietry masuk ke dalam rumah sambil mengucapkan salam, ia baru saja pulang dari rumah mommy, menyelesaikan proses administrasi acara makan malam dan menerima sumbangan dari Mommy untuk kas Desa sebagai bentuk rasa syukur Mommy atas kesembuhan anaknya Jingga, selain mengundang warga makan malam di rumahnya. Fietry masuk ke kamar, menyalakan laptop, berencana untuk membuat laporan keuangan Kompasianival minggu lalu dan membungkus semua kaos rangkat pesanan ketika tiba-tiba ponselnya berdering, dan nama Kades Rangkat yang baru berkedip-kedip di layar.
Begitu tombol answer dipencet, suara kades kriboh melengking tinggi, memarahi Fietry karena tidak becus menangani undangan makan malam di rumah Mommy, Fietry sampai harus menjauhkan ponselnya agar gendang telinganya tidak pecah. Terbata-bata Fietry menjelaskan duduk persoalannya pada si Kades sambil memijiti pelipisnya yang berdenyut-denyut. Fietry berusaha tenang dalam menjawab semua pertanyaan Kades yang dilontarkan dengan cara seperti komandan militer sedang memerintah anak buahnya dari atas bukit. teriak teriak gak jelas.
Fietry baru saja hendak menjelaskan mengapa ia ketiduran sampai nama undangan yang keseratus ketika tiba-tiba sambungan terputus, Fietry melongo menatap layar ponselnya.
"Ih, si kades mah gak jelas. Orang belum selesai ngomong udah diputus teleponnya." Fietry menggerutu sambil meletakkan ponselnya di meja. Kembali memusatkan perhatian pada layar laptopnya.
"Teh..." terdengar suara Bimo memanggil, tak lama kemudian wajah Bimo yang cengengesan muncul di pintu kamar Fietry.
"Teh, ada nama yang mesti diundi lagi gak?" tanyanya.
Fietry menyipitkan mata menatap adik semata wayangnya. "Gara-gara kamu Teteh dimarahin sama Pak Kades. Kamu kan harusnya bantuin Teteh ngundi dan nyatetin nama buat undangan makan malam di rumah Mommy, kenapa pas Teteh ketiduran kamu malah langsung bawa catatannya ke Mommy? Kan list undangannya belum selesai dibuat!" Fietry mencak-mencak.
Bimo garuk-garuk kepalanya. "Habis, kalo Teteh tidur pasti lama bangunnya. Bimo takut kemaleman, jadi Bimo bawa aja list undangan yang udah ada ke Mommy. Biar bisa ada alasan buat ngecengin anak-anak Mommy yang cantik ituh. Hehehe."
Didorong rasa kesal, Fietry melempar pulpen ke arah Bimo, dengan sigap Bimo segera menangkapnya.
"Bener Teh, Mommy gak nyuruh Teteh bikin undangan lagi? Bimo siap jiwa raga bantuin Teteh." Bimo berkata sepenuh hati.
"Gak ada! Udah sana pergi, Teteh mau kerja," kata Fietry mengusir.
"Tapi kalau ada tugas yang melibatkan pergi ke rumah Mommy, Teteh kasih tahu Bimo nyak?" Bimo berucap penuh harap.
Fietry menggeleng-gelengkan kepala, ia hanya melambaikan tangan menyuruh Bimo pergi. Fietry menarik napas panjang berusaha menenangkan diri, punya adik satu, lagi masa-masanya mengejar perempuan. Dan saat ini yang jadi target Bimo adalah anak-anak Mommy yang cantik. Fietry berusaha kembali ke pekerjaannya yang tertunda. Akan tetapi, ponselnya kembali berdering nyaring, memutus konsentrasinya. tanpa melihat Caller ID-nya, Fietry memencet tombol answer dan mendekatkan ponsel ke telinga.
"Halo?" Fietry menjawab telepon sambil memeriksa catatan keuangan di buku kecilnya.
"Fietryyyyyyy!!!!!!!! Kaosku manaaaaaaaaa??????" Suara Aya yang cempreng melengking membuat telinga Fietry berdenging.
ya ampun, ada apa dengan semua orang hari ini? keluh Fietry dalam hati.
"Maaf, Kak Aya. Masih nyangkut di kantor Pos kayaknya." Fietry menggigit bibir sambil melirik onggokan paket kaos yang belum sempat di kirim. Di tumpukan paling atas terdapat nama dana alamat Aya sebagai penerima.
"Tapi yang lain udah pada make kaosnya, Fieettttt!!" Aya ngotot.
"Lha, yang lain kan pada ambil langsung dari saya Kak. Gak pake pos. Makanya cepet." Fietry memberi alasan, harap-harap cemas tidak akan ketahuan bahwa sebenarnya paket untuk Aya belum menyentuh tangan tukang pos. "Lagian kenapa Kak Aya belum pulang juga ke desa? emang ramuan anti kriting buat Kades belum ketemu juga?"
Yah, Aya memang sedang diberi tugas kehormatan untuk menjelajah dunia demi menemukan ramuan untuk meluruskan rambut si kades kriboh, karena berbagai treatment dari salon tak kunjung mampu membuat rambut si kades bisa dijinakkan.
"Belum nih, lagian tuh kades kenapa gak dibotakin aja sih? biar seksi kayak Bang ibay. aku kan yang susah cari ramuan kemana-mana." Aya tiba-tiba curcol. Curhat colongan. "Terus kenapa aku gak diundang makan malam di rumah Mommy?" tanya Aya tiba-tiba.
Itu lagi! Fietry mendesah.
"Kalopun diundang, emang kak Aya bisa datang? Kan Kades udah ultimatum, kalo Kak Aya gak bisa nemuin ramuan anti keriting buat dia, Aya gak boleh pulang ke desa."
"Oh iya juga." Aya menggumam."Yaudah Fiet, itu kaosnya jangan lama-lama. Mau aku pake buat pamer ke seluruh dunia, I Am Rangkater." Dengan kata-kata pamungkas itu, Aya menutup telepon.
Fietry terdiam lama setelah Aya menutup telepon. Ia memandang layar laptopnya yang masih kosong, buku catatan kecil yang memuat rekap seluruh administasi pas kompasianival. Dan tumpukan kaos berserakan di kamarnya menunggu untuk dibungkus dan dikirim ke pemesannya. Fietry bingung mana dulu yang harus dikerjain, laporan keuangan kompasianival, bungkusin kaos dan nyatetin alamat, atau menulis pengumuman libur natal dan tahun baru untuk pejabat Desa Rangkat.
Akhirnya Fietry memilih pekerjaan paling mudah dan menyenangkan yang selalu ia suka, Fietry mematikan ponsel dan meletakkannya di meja. Lalu menghempaskan diri di atas kasurnya yang empuk. Tak lama kemudian dengkuran Fietry terdengar hingga ke kamar Bimo.
foto: Dokumen Desa Rangkat
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H