Tahap selanjutnya yang tak kalah sulit adalah mengumpulkan referensi, setiap kali ada bookfair saya selalu hunting buku-buku tentang jilbab. Namun, jarang sekali ada buku tentang jilbab yang membahasnya dari segi kajian ilmiah. Kebanyakan buku jilbab yang beredar berisi kisah-kisah inspiratif memakai jilbab, ajakan memakai jilbab, dan yang lebih banyak adalah tutorial memakai jilbab. Sungguh, jilbab kini menjadi fenomena fashion yang hits banget di kalangan perempuan muslim Indonesia sehingga buku-buku tutorial seperti itu banyak bertebaran. Saya yang saat itu masih memakai kacamata kuda, belum bisa melihat celah dari kasus-kasus jilbab yang saya temui di kehidupan nyata maupun dari buku-buku yang saya baca akhirnya menemui jalan buntu. Terlebih ketika proposal saya ditolak. Duh sedihnya.
Kesusahan belum berakhir. Cerita selanjutnya adalah masalah teknis yang benar-benar menghambat. Awal semester tujuh, yakni pada pertengahan tahun 2013, saat aku mulai mengambil mata kuliah skripsi, tiba-tiba keyboard laptop saya rusak dan harus diganti. Baru saja keyboard diganti, terjadi kecelakaan, badan laptop tak sengaja terinjak olehku saat sedang bermain truth or dare dengan teman-teman di asrama. Hal itu menyebabkan hardisk di dalamnya rusak parah dan harus diganti. Jadilah satu semester itu saya tak bisa mengerjakan apapun. Hanya bisa fokus menghabiskan beberapa mata kuliah yang tersisa, dengan mengandalkan laptop pinjaman dari teman untuk mengerjakan tugas.
Semester tujuh pun berlalu dengan cepatnya, dan saya harus perpanjang skripsi di semester delapan. Saya harus menebalkan muka meminta uang tambahan kepada orang tua untuk biaya perpanjangan skripsi, sebenarnya aku merasa tidak enak, karena semenjak kuliah aku tak lagi meminta pada mereka, secara kan sudah disokong sama beasiswa. Namun kali ini benar-benar terpaksa, jika tidak aku tidak akan bisa perpanjang skripsiku. Beasiswaku hanya membiayai skripsi satu kali, perpanjangan harus bayar sendiri.
Singkat cerita di semester delapan keyboard dan hardisk telah diganti, namun aku malah magang jadi relawan di PWAG dan TII. Jadilah aku sibuk sama kerjaan baru itu, maklum pertamakalinya dapat kerjaan setelah bertahun-tahun jadi mahasiswa ngelamar kerja sana sini gak dapet juga. Akhirnya tiga bulan di awal tahun 2014 aku tak fokus mengerjakan skripsi. Terutama setelah proposalku ditolak oleh dosen. Rasanya aku menemui jalan buntu, tema dan ide yang kupersiapkan sejak semester tiga tak berarti apa-apa di hadapan dosen. aku merasa ingin pindah haluan tema.
Lalu ilham itu datang ketika aku menghadiri Pekan Film Pemilu yang diadakan oleh Perludem dan rumahpemilu.org dalam rangka menyambut pesta demokrasi yang diadakan di bioskop Kineforum Taman Ismail Marzuki. Di sana aku menonton sebuah film yang sangat mencerahkan. Berjudul Iron Jawed Angels yang diangkat dari kisah nyata, bercerita tentang Alice Paul yang memperjuangkan hak pilih perempuan di parlemen pada era 1920-an di Amerika Serikat. Film itu menggugah kesadaranku tentang peran perempuan yang terpinggirkan di panggung politik. Detik itu juga aku mendapat inspirasi untuk mengambil tema tentang feminis. Ide itu muncul begitu saja. Oke akupun mulai menyusun proposal dengan tema besar mengenai feminisme dan dan tema khusus mengenai kepemimpinan perempuan. Apalagi setelah aku bongkar koleksi buku-bukuku di kardus-kardus di bawah ranjang asrama yang ternyata banyak sekali buku tentang perempuan. Basic-nya aku emang memiliki minat besar di bidang pemberdayaan perempuan. Karena sebagai perempuan aku sendiri mengalami ketidakadilan gender yang disebabkan oleh budaya patriarki. Okelah, ide didapat, proposal pun dibuat.
Jalan masih tak mudah, proposalku ditolak lagi. Harus diperbaiki, karena menurut dosen latar belakangnya tak sesuai dengan rumusan masalah yang kubuat. Kembali aku galau. Apalagi saat itu sudah mendekat detik-detik wisuda teman-teman seangkatan yang lulus di semester delapan. Aku semakin tertekan, perasaan tidak berguna dan sia-sia menyambangi pikiranku. Mereka bisa lulus tepat waktu sedangkan aku bab satu saja belum. Proposal ditolak terus. Bertepatan dengan pemilu legislatif aku pulang kampung, dan aku sengaja memilih tanggal pulang ke jakarta melewati tanggal diwisudanya teman-teman asramaku yang lulus di semester delapan. Aku tak sanggup melihat mereka di wisuda sedangkan aku belum memulai satupun bab dari skripsiku.
Tekanan yang kurasakan bukan hanya faktor iri dengan teman-teman yang lulus cepat, namun juga beban finansial yang berat. Karena beasiswaku akan dihentikan bulan Mei 2014 dan jika semester delapan skripsiku tak selesai maka harus membayar SPP sebesar 3,5 juta dan biaya sks skripsi sebesar 1,2 juta. Total 4,7 juta. Uang segitu banyak darimana bisa didapat? Honor magangku selama tiga bulan hanya beberapa ratus ribu. Cuma cukup untuk keperluan makan dan bolak balik tempat magang. Minta orang tua? Tak mungkin, ayahku tak memiliki pekerjaan tetap, ditambah masih ada empat adikku yang sekolah. Maka tekanan itupun semakin berat kurasakan.
Pikiran mumet, tekanan batin dan jiwa yang benar-benar berat kurasakan membuatku tak bisa fokus memulai skripsi. Pulang ke Jakarta usai pemilu aku semakin tertekan. Seringkali menangis diam-diam. Bahkan sempat terbersit pikiran bodoh untuk mengakhiri hidup. Namun segera kutepis jauh-jauh perasaan itu. Akhirnya, aku pun menelepon ke rumah. Menyampaikan kekhawatiranku tentang skripsi yang selama ini menghantui pikiranku, yang tak sempat kukatakan kepada keluargaku saat aku ada di rumah beberapa hari sebelumnya. Meski aku sempat cemas kalau keluargaku takkan mengerti beban yang kurasakan, karena aku adalah anggota keluarga pertama yang kuliah. Ibuku saja tak bisa berkata apa-apa karena ia tak mengerti sama sekali soal skripsi, ia hanya bisa mewanti-wanti agar aku jangan sampai nekad, lebih baik gak usah ngerjain skripsi daripada ibu harus kehilangan anak (ini setelah aku cerita padanya bahwa ada orang yang mati bunuh diri gara-gara skripsi). Untungnya kakakku yang lulusan SMK ternyata mengerti beban yang aku rasakan. Kata-katanya menenangkanku. Ia bilang:
“Dari dulu, yang ngotot pengen kuliah kan kamu. Harusnya kamu udah sadar salah satu konsekuensinya adalah skripsi. Tapi ya kalo kamu gak kuat gak perlu dipaksain, keluarga di sini juga gak bakal nyalahin kamu. Kamu akan tetap diterima sebagai anggota keluarga meski gagal menjadi sarjana.”
Rasanya nyesss banget waktu denger kakakku ngomong gitu. Akupun menjadi lebih lega dari sebelumnya. Seenggaknya perasaan menjadi anak yang tak berguna sudah sirna, aku akan tetap diterima oleh keluarga meskipun gak lulus jadi sarjana. Tapi galauku belum berakhir. Aku masih tetap resah nan gelisah, tak mungkin aku akan berhenti di titik ini setelah semua perjuangannya melewati masa kuliah selama tiga setengah tahun. Akhirnya kuputuskan untuk curhat sama Kang Aan Rukmana, Ketua Jurusanku. Dia menyambutku dengan ramah dan bersedia mendengarkan curhatanku. Dengan menahan tangis aku sampaikan kesulitanku memulai mengerjakan skripsi.
“Kamu itu pinter pit. Cuma kamunya aja yang malas ngerjain. Pokoknya saya ingin seminggu dari sekarang proposal kamu harus udah ada di meja saya. Bisa kan?” itulah yang ia katakan setelah aku selesai curhat.