"Kau masih saja suka ke sini?" tanya Fadlan mendapati Arinda duduk diam di atas rel kereta yang sudah tak digunakan lagi, karena jalur kereta melalui rel ini sudah dialihkan ke jalur lain. Fadlan ikut duduk di samping Arinda yang terpekur di atas rel kereta.
"Hanya di sini aku mendapatkan ketenangan." Arinda menyahut pelan.
Fadlan menyentuh tangan Arinda yang sedang diam di pangkuan gadis tersebut. "Hal itu masih menghantuimu?" tanya Fadlan lembut.
Arinda menoleh, wajahnya yang tersiram cahaya jingga dari mentari sore tampak gundah, ia melepaskan genggaman tangan Fadlan. Kemudian menghela napas panjang. Angin sepoi menerbangkan anak rambut Arinda yang tergerai di bahunya.
"Aku tidak tahu kapan bisa lepas dari semua itu." Arinda menengadah, menerawang jauh ke masa silam.
"Tidak bisakah kau lepaskan belenggu masa lalumu, dan mulai menata masa depanmu denganku?"
Arinda diam. Namun tiba-tiba dari matanya bergulir kristal bening membasahi pipinya. Dulu, dulu sekali ia pernah menolak uluran kasih Fadlan yang ingin menjaganya seumur hidup. Arinda memilih pria lain, pria yang kemudian meninggalkannya di altar pernikahan tanpa alasan yang jelas, membiarkan Arinda sendirian menghadapi tatapan heran bercampur kasihan dari semua tamu undangan.
Arinda sempat berniat mengakhiri hidupnya, dengan cara menabrakkan diri ke kereta yang sedang melaju. Akan tetapi Fadlan menyelamatkannya. Dan sejak itu, Fadlan tak pernah lagi jauh darinya. Meski kemudian Arinda memiliki kebiasaan aneh, menghabiskan senja di rel kereta yang usang, Fadlan tetap setia menemaninya. Hal ini telah berlangsung tiga tahun lamanya.
"Mengapa kau tetap ada di sisiku padahal aku sudah seringkali menyuruhmu menjauh?" tanya Arinda, kali ini ia menatap mata Fadlan yang sedari tadi dihindarinya.
"Hatiku tak pernah mengijinkanku menjauh darimu." Fadlan menatap Arinda sungguh-sungguh.
Arinda menghapus airmatanya. Lalu ia tersenyum pada Fadlan, senyuman pertama yang ia berikan sejak tiga tahun lalu ia dirundung kesedihan. Dan Fadlan berjanji dalam hati, ia akan memastikan bahwa itu bukan senyuman terakhir dari Arinda.
Fadlan bangkit, mengulurkan tangannya yang kemudian disambut Arinda. Berdua mereka menyusuri rel kereta itu sambil bergandengan tangan. Menyambut masa depan di ujung perjalanan, dan meninggalkan masa lalu jauh di belakang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H