Dalam bulan suci Ramadhan sering muncul berbagai macam problematika, terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan batalnya ibadah puasa.Â
Bahkan karena seringnya kemunculan problematika tersebut, bukan diselesaikan seccara ilmiah justru digunakan sebagai bahan gurauan.
Salah satu contoh dari problematika di atas adalah mengenai rokok apakah dapat membatalkan puasa atau tidak. Masyarakat Indonesia tentu akan sering mempermasalahkan hal ini sebab mayoritas penduduk Indonesia merupakan perokok.
Bahkan karena sangat fanatik pada rokok, ada sebagian oknum yang membuat gurauan berupa hukum merokok ketika sedang berpuasa tidak apa-apa atau merokok tidak dapat membatalkan puasa sebab tidak mengenyangkan. Â
Jawaban seperti itu jelas tidak masuk akal dan tidak bertanggung jawab sebab tidak memiliki dasar keilmuan. Lalu apakah para ulama' telah membahas rokok dalam kajian-kajian mereka? Untuk mengetahui jawabannya maka mau tidak mau seseorang harus mengetahui perihal puasa mulai dasarnya.
Syaikh Ibnu Qosim Al-Ghazi mengatakan dalam kitab "Fathu al-Qorib"nya bahwa puasa adalah sebuah ibadah yang dilakukan dengan menahan diri dari segala hal yang dapat membatalkan puasa dengan niat yang telah ditentukan.
Hal-hal yang dapat membatalkan puasa menurut beliau ada sepuluh yang salah satunya adalah segala sesuatu (barang) yang masuk pada tenggorokan atau kerongkongan.Â
Pernyataan ini dijelaskan oleh Syaikh Ibrahim Al-Baijuriy bahwa asap (ad-dukhan) atau yang sudah dikenal dengan rokok atau tembakau itu termasuk sesuatu yang dapat membatalkan puasa sebab asap rokok tersebut masih dikategorikan sebagai barang serta di dalamnya terdapat pengaruh yang dapat membunuh.
Penjelasan dari Syaikh Ibrahim Al-Baijuriy tersebut menunjukkan bahwa merokok dapat membatalkan ibadah puasa. Namun apakah kata "mengenyangkan" yang dijadikan gurauan tadi memang dapat dijadikan patokan pada barang yang masuk pada tenggorokan atau kerongkongan? Jawabannya adalah tidak.Â
Dalam keterangan lanjutannya terdapat syarat pada batalnya puasa sebab masuknya suatu barang ke dalam tenggorokan atau kerongkongan.
Syarat tersebut adalah dilakukan dengan sengaja. Oleh karena itu ibadah orang yang yang tidak sengaja makan, minum, dan menghirup asap dalam kasus ini itu tidak batal selama tidak ada unsur kesengajaan pada pekerjaan yang mereka lakukan.Â
Pernyataan tersebut juga menunjukkan bahwa makan minum karena lupa atau terpaksa tidak akan membatalkan puasa mau sebanyak apapun yang telah dimakan dan diminum sebab tiadanya unsur kesengajaan.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah permasalahan hukum dalam ibadah tidak dapat diputuskan begitu saja oleh seseorang. Kita harus melihat atau mencari tahu terlebih dahulu bagaimana pendapat para ulama fikih mengenai permasalahan tersebut sebab mereka lebih berhak memutuskan hukum daripada orang-orang seperti kita.Â
Hal ini lebih dikarenak para ulama fikih harus melalui berbagai ijtihad yang sulit untuk menghasilkan suatu hukum yang tentu saja berdasarkan dasar-dasar dan aturan-aturan yang telah ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H