MENGUPAS KEKERASAN SEKSUAL PADA NOVEL SEPERTI DENDAM RINDU HARUS DIBAYAR TUNTAS KARYA EKA KURNIAWAN
Oleh : Eky Rahmawati
Siapa yang tak kenal Eka Kurniawan? Eka Kurniawan adalah seorang penulis asal Indonesia. Eka Kurniawan menamatkan pendidikan tinggi dari Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Eka Kurniawan terpilih sebagai salah satu “Global Thinker of 2015” dari jurnal Foreign Policy. Novel ‘Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas’ ini mengupas plot acak dalam novel yang menjadi daya tarik tersendiri yang mengajak para pembaca berpikir dan berusaha untuk merangkai kejadian demi kejadian sehingga bisa dipahami secara utuh.
Kilas-kilas masa lalu yang nampak tumpang tindih, kalimat-kalimat pendek, dialog tanpa aprostof adalah kesengajaan yang penuh resiko, tapi Eka Kurniawan berhasil menjadikannya layak untuk dibaca. Melalui Ajo Kawir dan tokoh-tokoh lainnya, Eka Kurniawan berhasil menggambarkan kehidupan sosial masyarakat kelas menengah ke bawah. Meski bahasa yang digunakan tergolong frontal dan brutal, tapi tak bisa dipungkiri, bahwa seperti itulah orang-orang di negeri ini; ceplas-ceplos, berbicara sekenanya, dan memaki seenaknya. Dan memang sangat sesuai dengan era pada masa tahun 90-an.
Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas adalah novel ketiga yang sudah terbit pada 13 November 2014. “Hanya orang yang gak bisa ngaceng, yang bisa berkelahi tanpa takut mati” tidak seperti novel bertema rindu lainnya yang di mulai dengan kalimat romantis, manis atau puitis. Novel Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas tidak demikian. Eka kurniawan selaku penulis memulainya dengan kalimat tegas, keras dan vulgar.
Bercerita tentang seorang laki-laki bernama Ajo kawir, Ajo kawir adalah laki-laki yang bermasalah, keluar masuk sekolah karena sering melakukan pelanggaran. Bersama si Tokek sahabat baiknya, mereka seringkali menghajar orang maupun dihajar balik. Walaupun sering membuat onar, Ajo kawir sering datang ke surau walaupun sebenarnya di surau dia lebih sering menumpang mandi, bukan untuk ibadah. Hal ini tidak lepas dari keberadaan si Tokek yang sering mengajak Ajo kawir maksiat.
Suatu hari setelah mencuci mata dengan mengintip kisah asmara kepala desa dengan istrinya, atas ajakan si Tokek, Ajo kawir pergi ke rumah perempuan gila bernama Rona merah. Anak-anak mengenal Rona merah sebagai perempuan sinting yang suka mengamuk. Sebenarnya tak pernah ada anak yang benar-benar melihatnya mengamuk. Tapi bahwa ia sinting, tampaknya benar. Perempuan itu lebih banyak diam di rumahnya, tak mau bicara dengan orang, kadang-kadang tertawa sendiri, menjerit-jerit sendiri. Pernah ada orang dinas sosial yang hendak membawanya pergi, tapi kemudian ia mengamuk dan menggigit salah satu dari mereka. Tak ada yang bisa memastikan apakah peristiwa itu benar atau tidak, tapi sejak itu tak pernah ada orang yang mencoba mengeluarkannya dari rumah itu.
Dari sinilah kesialan Ajo kawir dimulai. Karena hebatnya adegan yang dilihat membuat Ajo kawir tak bisa menopang tubuhnya. Ia tergelincir dan suara gaduhnya mengagetkan semua orang termasuk laki-laki yang ada di dalam rumah Rona merah. Si Tokek menjadi dalang di balik rencana nafsu ini sudah menghilang entah kemana. Dan setelah kejadian itu burung Ajo kawir tidak bisa berdiri. Ajo kawir berusaha mati-matian untuk menghidupkan kembali burungnya, pernah suatu kali dia menggosok burungnya dengan cabe, bukannya sembuh tapi malah hampir mati kepanasan. Bahkan pernah sengaja membiarkan burungnya disengat lebah.
Setelah bertahun-tahun berlalu, Ajo kawir memutuskan untuk menjadi pembunuh bayaran. Suatu hari dia diberikan misi membunuh si Macan. Sebelum misi tersebut selesai, Ajo kawir bertemu wanita bernama Iteung melalui sebuah pertarungan. Rupanya keduanya pun saling jatuh cinta. Iteung sudah dibutakan oleh perasaannya sehingga tidak peduli dengan kondisi burung Ajo kawir yang tidak bisa berdiri, Iteung tetap minta dinikahi.
Ajo kawir dan Iteung lalu memutuskan untuk menikah. Meski harus menahan kontak akibat nikmat bercinta yang belum terpuaskan, Iteung tetap mencintai Ajo kawir dengan sepenuh hati. Namun tiba-tiba suatu hari Iteung hamil. Lengkap sudah penderitaan Ajo kawir. Sebelum Iteung menikah dengan Ajo kawir, Iteung bertemu dengan Budi yang merupakan teman seperguruan silat. Budi jatuh cinta pada Iteung tetapi Iteung tidak membalas cintanya karena lebih memilih Ajo kawir sehingga terjadi pemaksaan melakukan hubungan badan. Pada akhirnya Iteung mengandung anak dari Budi setelah menikah dengan Ajo kawir. Pernikahan Ajo kawir dan Iteung hancur. Ajo kawir akhirnya pergi dan berakhir menjadi supir truk lalu lintas wilayah. Hingga bertemu Jelita dan Mono Ompong sebagai rekan perjalanannya.
Pada fase ini, Ajo kawir sudah tidak memiliki keinginan untuk menghidupkan burungnya yang sudah lama tertidur. Kalau memang mati, matilah sudah. Mungkin begitu dipikirkan Ajo kawir. Sosok Ajo kawir yang beringis telah hilang digantikan dengan sosok yang bijak.
Tokoh Iteung dalam novel maupun film Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas adalah karakter menarik. Dia pemberani, mandiri, sederhana, tangguh, kuat, tak banyak drama dalam menghadapi masalah-masalah hidup yang di alaminya, dan punya otoritas akan jiwa dan tubuhnya sendiri. Iteungisme sebagai paham dari sikap Iteung dalam melawan eksploitas hidup dan pelecehan seksual yang dihadapinya.
Iteung mengambil sikap atas tabiat orang yang menindasnya. Dia bukan tipe perempuan yang mau terus-terusan hidup dengan kenyamanan dan keberuntungan. Sosok the devil wears denim itu tak terbuai dengan janji kesetiaan dan gampang mempercayai gombalan lelaki yang hanya sebatas lolipop di bibir saja. Iteung membalas dendam dan balas dendam adalah bahasa perlawanannya.Teladan jiwa-jiwa yang tegar seperti Iteung sangat dibutuhkan dalam kondisi dimana isu terkait pelecehan seksual di dunia pendidikan sedang marak dikumandangkan akhir-akhir ini. Nama-nama korban dengan segala trauma fisik dan mentalnya diperjuangkan, sedangkan disisi lain Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) masih impoten karena tak kunjung disahkan.
Trauma pelecehan seksual yang dialami Iteung tak cukup sekali diwacanakan kisahnya. Tak hanya diulang oleh Budi, tapi juga diperjelas oleh hantu Rona merah atau Jelita. Pengalaman pelecehan seksual bisa diulang, direproduksi, dan dieksploitasi oleh pihak lain untuk kepentingan sendirinya, seperti tokoh Budi yang mengambil kelemahan Iteung dan memanfaatkannya. Dia mengadegankan foreplay yang payah karena mengulang cerita seks yang dialami Iteung. Sehingga tiap kali Iteung dan Budi having sex, Iteung menutup kedua mata Budi dan setelah itu muntah-muntah.
Seperti yang dikatakan oleh Rona merah, ketika Iteung SMP, gurunya bernama Pak Toto meminta Iteung mengerjakan tugas, meski akhirnya sang guru menggerayangi dan melakukan hubungan badan terhadap muridnya. Dan di sinilah keberanian Iteung membalas dendam. Bukan pelampiasan artifisal dengan lari mengelilingi lapangan sampai pingsan, tapi Iteung menjepit burung gurunya dilemari sekolah. Trauma kelamin dibalas kelamin.
Bukan karena Ajo kawir pergi ke neraka, lantas Iteung mendorong dan mengikutinya. Sebagimana Iteung menyarankan agar Ajo kawir menolak tawaran Paman Gembul untuk membunuh Macan yang bengis. Atau karena burung Ajo kawir tak bisa berdiri, lantas membuat Iteung diam? Tidak. Iteung tetap mencari burung lain. Meski ada kabar pula, ketika Iteung melakukan seks dengan Budi, burung yang masuk ke liangnya dibayangkan sebagai burung Ajo kawir. Iteung saat itu tak berfikir tentang kehancuran rumah tangganya.
Seperti tokoh Asih dalam film Daun Di Atas Bantal (1998) yang diperankan oleh Christine Hakim. Tokoh Asih yang menghidupi tiga anak jalanan itu juga korban pelecehan pasangannya sendiri yang sering melakukan penyiksaan terhadap dirinya. Di film Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas. Mak Jerot juga memiliki kuasa atas perkataannya dan harga dirinya. Mak Jerot mengatakan, ‘Tak ada yang lebih menghina pelacur selain burung yang tak bisa berdiri.’ Begitu kuatnya perlawanan suara perempuan.
Kekerasan seksual tidak hanya dialami oleh tokoh Iteung tetapi juga dialami pada tokoh utama dalam novel Eka kurniawan, yakni Rona Merah, perempuan gila korban kebiadaban dua laki-laki berseragam polisi. Si janda muda, perempuan miskin yang diperkosa oleh lelaki tua bernama Pak Lebe, pemilik kontrakan sekaligus pengusaha tambak. Nina, perempuan miskin yang menjual tubuhnya kepada laki-laki hidung belang demi selembar uang.
Kekerasan seksual yang muncul dalam novel Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka tergolong kekerasan yang paling banyak ditemukan. Kekerasan seksual yang pertama terjadi oleh tokoh perempuan Rona merah. Ditemukan beberapa bentuk kekerasan seksual yang di alami Rona merah yakni pemaksaan melakukan hubungan, meraba ke seluruh tubuh, dan pemerkosaan secara bergantian. Seperti yang tercermin pada kutipan berikut.
‘’Si pemilik luka pergi ke dapur dan kembali lagi membawa handuk. Ia mengeringkan rambut perempuan itu. Si perempuan sinting diam saja, masih duduk di kursi. Ia mengusap pipinya yang basah dengan handuk, mengusap dadanya, mengusap ketiaknya, mengusap punggungnya, mengusap pahanya, mengusap bokongnya. Rona merah diam saja.’’
Kekerasan seksual mengacu pada segala jenis kekerasan yang mengakibatkan aktivitas seksual sepihak atau aktivitas seksual yang tidak di antisipasi oleh orang yang terlibat. Pelecehan seksual bisa terjadi kapan saja, dimana saja, dan dari siapa saja. Meski perempuan umumnya mengalami kekerasan seksual, namun tidak menutup kemungkinan laki-laki juga terkena dampaknya.
Pelecehan seksual mempunyai berbagai bentuk. Hal ini termasuk mengedipkan mata, siulan cabul, lelucon seksual, pemeriksaan fisik dari jari kaki hingga rambut, bahasa isyarat yang menjurus ke arah seksual, gambar pornografi, memperlihatkan alat kelamin, mencubit, menyentuh, menyodorkan, dan menuntut. Pemerkosaan seperti hubungan seksual atau hubungan seksual paksa.
Pemerkosaan adalah hal biasa. Hal ini sejalan dengan novel Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas yang mengangkat fenomena-fenomena yang di anggap tabu di masyarakat, terbukti dengan di tandai sebagai novel dewasa ``21+''. Hal ini terbukti Karena banyaknya tokoh perempuan dalam penggambaran kekerasan seksual, maka ada empat faktor yang mendorong terjadinya kekerasan seksual: 1) Ketika status perempuan lebih rendah dari statusnya, maka erat kaitannya dengan status subordinat perempuan, yaitu adanya kesenjangan gender. 2) belum memadainya perlindungan hukum, 3) masih dominannya budaya patriarki. Budaya patriarki menghadapi prasangka yang menjadikan perempuan rentan dan tubuh seksual mereka mudah dieksploitasi. 4) Kurangnya pemahaman agama mengenai status perempuan (Mulia, 2015).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H