*****
Orang-orang bercerita, "Ia dulu kembang desa. Kemudian datang seorang pria meminangnya. Mereka membuat iri pasangan lain dengan kasih sayangnya. Kemudian sang suami pergi untuk mencari kerja".
"Ia terus menunggu setiap hari".
Orang-orang desa sudah memahami apa yang dilakukan wanita itu, dan tentunya memahami kerinduan yang membeku dalam hatinya. Terkadang mereka mencoba membujuk wanita itu untuk beristirahat di dalam rumah, tapi ia hanya mengembangkan senyum sambil berkata, "Suamiku hampir saja sampai, aku tidak mau melewatkannya".
Sebenarnya kasihan melihatnya seperti itu. Tapi tak ada yang tahu kapan suaminya akan datang. Suaminya pergi suatu pagi. Ia mendapat panggilan kerja di Surabaya.
Dengan tas besar di tangan, ia berjalan menjauhi desa, sementara sesekali ia membalikkan pandangannya ke arah desa, berharap akan melihat wajah istrinya dari kejauhan. Kemudian kabut menelannya dan menjauhkan dari pandangan istrinya.
"Aku tidak akan lama. Mungkin lusa pagi aku akan kembali", itu yang dikatakan lelaki itu pada Surini. Sepertinya kalimat itu yang menjadi dasar kuat Surini selalu duduk di tempat itu setiap pagi datang dan berharap lelaki yang dirindukannya kembali.
*****
Sesekali tubuhnya menggigil kedinginan, tapi tak semeterpun ia beranjak dari tempat itu. Tak ada yang dapat dilakukan orang-orang yang semakin merasa iba padanya.
*****
Seperti tak ada bedanya pagi itu, masih disinggahi kabut, sementara cahaya mentari mulai berlompatan di atas atap. Tapi sedikit berbeda dengan Surini, matanya sayu dengan bibir yang gemetaran. Wajahnya yang molek kini semakin pudar.