Mohon tunggu...
Ekspedisi Sumba
Ekspedisi Sumba Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Sumba jadi Pulau dengan 100% energi terbarukan di Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Petaka Deforestasi dari Kayu Api

11 Desember 2014   09:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:33 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1418238209391045669

[caption id="attachment_340622" align="aligncenter" width="640" caption="Warga Desa Kendautana, Sumba Barat Daya, NTT, bersama tim Ekspedisi Sumba 2014 usai membangun reaktor biogas pertama di desa mereka. (Foto: Shally Pristine)"][/caption]

Rasio hutan per luas lahan di sana kurang dari 10 persen. Salah satu penyebabnya adalah kebiasaan masyarakat memasak dengan kayu bakar.

Mimit mengarahkan kamera teleponnya ke jendela pesawat. Pesawat Nam Air yang kami tumpangi baru lepas landas dari Bandara Waingapu sekitar 5 menit lalu, membawa rombongan kembali ke Bali. Dari bangku F punyanya, Mimit leluasa memotret dataran Sumba dalam aerial view. Saya yang duduk di sebelahnya cuma bisa manyun iri.

"Sumba itu seperti batu besar yang kering, cuma ada hijau-hijaunya seperti retakan kalau ada sungai. Sisanya tandus." Dia bicara sendiri sambil menunjuk dengan telunjuk menempel di jendela fiber yang bening itu.

Begitu pilot bermanuver sedikit ke barat, barulah saya bisa melihat lansekap yang dibahas Mimit.

Padang sabana luas berwarna coklat tua--seperti kue kacang panggang yang telat diangkat--terbentang sampai jauh. Bentangan itu dikerat acak oleh aliran sungai yang juga menumbuhkan gerumbul tunas kehijauan di bantarannya. Curah hujan di Nusa Tenggara yang minim--sampai Sumba punya julukan Tanah Tiga Matahari--membuat pulau ini semakin kering karena lama terpapar panas sepanjang hari. Di sana sini, pohon kayu tumbuh kesepian karena seringkali hanya sendirian.

Ya, Sumba dalam ancaman deforestasi. Pemandangan dari atas pesawat tadi seperti mengonfirmasi kata-kata Kak Yane tempo hari. Kakak yang anak S2 Kehutanan di IPB ini bilang rasio hutan per luas lahan di sana kurang dari 10 persen. Salah satu penyebabnya adalah kebiasaan masyarakat memasak dengan kayu bakar, seperti yang saya saksikan di Desa Kendautana, Sumba Barat Daya, NTT.

Waktu baru sampai di desa ini, tim kami dibagi jadi beberapa kelompok. Yang wanita memasak di tiga rumah berbeda, sedangkan yang laki-laki membuat lubang untuk reaktor biogas pertama di sana. Saya dan Desi kebagian tugas memasak di rumah Mama Panus.

Sambil memasak, saya mengajak wanita berusia 32 tahun ini bicara macam-macam sambil juga menerjemahkan untuk Desi agar londo satu ini bisa ikut mengobrol. Mulai dari anak tertuanya yang sedang bersekolah di kecamatan lain, cara memarut kelapa dengan alat kukur, sampai pasar yang diadakan tiap hari Kamis di desa sebelah.

"Berapa harga minyak tanah, Mama?"

"Mahal."

"Berapa mahal?"

"Sepuluh ribu. Hanya bisa beli sedikit untuk kasih nyala lampu saja. Untuk masak kita pakai kayu." Saya ingat waktu tinggal di Tambora, NTB, masyarakat di sana pun memasak menggunakan kayu api alias kayu bakar. Namun biasanya kayu api diperoleh dari sisa-sisa ranting pohon yang jatuh atau dahan mati, bukan dengan menebang tegakan hidup. Pohon jambu mente yang jadi sumber rezeki di kampung terlalu berharga bila ditebang sekadar untuk dibakar.

Di luar, malam mulai turun. Sebuah pelita minyak di tengah rumah dinyalakan.

Arsitektur rumah tradisional di Sumba Barat Daya mengikuti pola umum arsitektur vernakular nusantara, yaitu atap miring dan lantai panggung. Khasnya, rumah di sini beratapkan ilalang dan hampir keseluruhan konstruksi rumah menggunakan bambu bulat utuh. Ruang persegi di dalam rumah dibuat tanpa sekat permanen, hanya ada partisi setinggi dada yang membagi ruang depan dan ruang belakang. Karenanya, satu lampu di tengah rumah pun jadilah untuk penerangan.

Pada siang hari, ruang depan berfungsi sebagai ruang serba guna. Malamnya, Papa dan Mama Panus tidur saling dekap dengan ketiga anaknya di ruang itu. Sedangkan ruang belakang adalah dapur merangkap gudang segala rupa. Tiga batu besar disusun membentuk tungku di tengah dapur dengan kayu, arang, dan abu berjejalan di sekitarnya.

Sembari mengaduk kuah santan untuk ayam, Mama Panus meniup tungku agar arangnya lebih membara. Asap mengepul, membumbung, lalu memenuhi seisi rumah. Mama Panus menyeka air yang keluar dari matanya yang perih kena asap sambil terbatuk-batuk.

Penulis: Shally Pristine, peserta Ekspedisi Sumba 2014

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun