"Berapa mahal?"
"Sepuluh ribu. Hanya bisa beli sedikit untuk kasih nyala lampu saja. Untuk masak kita pakai kayu." Saya ingat waktu tinggal di Tambora, NTB, masyarakat di sana pun memasak menggunakan kayu api alias kayu bakar. Namun biasanya kayu api diperoleh dari sisa-sisa ranting pohon yang jatuh atau dahan mati, bukan dengan menebang tegakan hidup. Pohon jambu mente yang jadi sumber rezeki di kampung terlalu berharga bila ditebang sekadar untuk dibakar.
Di luar, malam mulai turun. Sebuah pelita minyak di tengah rumah dinyalakan.
Arsitektur rumah tradisional di Sumba Barat Daya mengikuti pola umum arsitektur vernakular nusantara, yaitu atap miring dan lantai panggung. Khasnya, rumah di sini beratapkan ilalang dan hampir keseluruhan konstruksi rumah menggunakan bambu bulat utuh. Ruang persegi di dalam rumah dibuat tanpa sekat permanen, hanya ada partisi setinggi dada yang membagi ruang depan dan ruang belakang. Karenanya, satu lampu di tengah rumah pun jadilah untuk penerangan.
Pada siang hari, ruang depan berfungsi sebagai ruang serba guna. Malamnya, Papa dan Mama Panus tidur saling dekap dengan ketiga anaknya di ruang itu. Sedangkan ruang belakang adalah dapur merangkap gudang segala rupa. Tiga batu besar disusun membentuk tungku di tengah dapur dengan kayu, arang, dan abu berjejalan di sekitarnya.
Sembari mengaduk kuah santan untuk ayam, Mama Panus meniup tungku agar arangnya lebih membara. Asap mengepul, membumbung, lalu memenuhi seisi rumah. Mama Panus menyeka air yang keluar dari matanya yang perih kena asap sambil terbatuk-batuk.
Penulis: Shally Pristine, peserta Ekspedisi Sumba 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H