Ada banyak hal dalam diri manusia. Ada tikus dan burung dalam diri manusia. Burung membawa sangkarnya ke atas. Sementara tikus membawa kandangnya ke bawah.
Ada ratusan ribu jenis binatang dalam diri manusia. Kecuali jika mereka berkumpul dalam satu momen, saat tikus meninggalkan tabiat tikusnya dan burung menanggalkan tabiat burungnya.
Mereka akan menjadi satu. Sebab, yang menjadi tujuan bukanlah atas atau bawah. Saat tujuan tampak, maka tak ada lagi atas dan bawah.
Jika demikian bagaimana istilah rasis dalam diri masih ada?
Ibarat kehilangan sesuatu, berada di tempat yang asing. Ia tengok kanan-kiri dan depan belakang mencarinya. Orang yang pertama kali ingin ia temukan adalah yang sejenis dengannya.
Dengan begitu ia merasa tenang. Mengerti bahasanya, paham karakter yang melekat dalam budaya, dan seterusnya.
Setelah berhasil menemukannya, ia tak lagi tengak-tengok mencari-cari di segala arah: atas-bawah, kanan-kiri, depan-belakang. Ia menjadi tenang dan teguh hatinya.
Pasti ada sesuatu yang hilang ketika kesamaan menjadi hal paling pokok. Dari sinilah nilai perbedaan menjadi jurang terdalam. Apalagi jika perbedaan itu saling merendahkan. Menganggap bahwa hanya yang sama dengannya adalah terbaik.
Seperti sepuluh orang yang berkumpul dalam satu pandangan, satu lisan, satu pendengaran, dan satu pemahaman. Mereka membicarakan hal yang sama, mempunyai perhatian yang sama, dan terlibat dalam minat yang sama, karena tujuan mereka sama.
Begitu datang orang ke sebelas, berbeda sama sekali dengannya. Akibat jurang yang dalam telah berurat berakar dalam dada dan kepalanya satu orang ini dianggap musuh, dianggap akan mengacaukan segalanya.