Dalam penantian transit dari Surabaya-Bali, kita duduk kebetulan hanya berdua.
"Bukunya sudah aku baca," katanya. "Kesimpulanku, jika kesusahan mendera maka tengadahkan wajah dan tadahkan tangan. Mohon pengampunan. Maka kesusahan kita akan dilenyapkan dari jalan yang tak teeduga. Dua kesulitan selalu diapit oleh dua kemudahan."
Pada kondisi ini kita berbeda, "Mengapa tidak kita jaga sebelumnya, seluruh anggota tubuh kita, agar tak melakukan kesalahan terhadap siapa saja. Agar jika suatu ketika kita mentok terhadap segala usaha, kita tidak malu meminta kepada-Nya."
Persis seperti ketika kita baru saja turun dari mobil carteran yang mengantar kita ke Bukit Kintamani.
Kau berkata, "Aduhai alangkah indahnya Bukit Kintamani ini. Lihatlah! Langit di atasnya cerah, Bukitnya biru kehijau-hijauan. Ada awan perak di atasnya. Sementara di kakinya ada danau yang membiru, sampan dan perahu begitu kecil. Sangat menarik. Sementara kabut menyelimuti di sekitarnya."
"Bukankah, karena kita menatapnya dari jauh?" tanyaku.
"Jika selesai hujan pada sore hari, pasti kita akan melihat ada pelangi mengitarinya. Persis di danau itulah kaki pelanginya. Para bidadari mandi dan bercengkara."
"Kita mungkin lupa, dalam hutan di Bukit Kintamani ada binatang buas yang siap memangsa. Atau warga di kaki bukit yang datang memaksa kita untuk membeli pernak-pernik kerajinan tangan mereka. Lihat saja, sekarang!
Padahal kita baru saja mau menyuap gurami bakar. Beberapa orang sudah menawarkan kaos Bali 6 buah 100 ribu. Tak hanya satu, ada berpuluh-puluh bergantian. Di mana nikmatnya makan jika terganggu?"
Lagi-lagi kita berbeda. Seperti halnya seorang guru dan murid yang berjalan menyeberangi sungai. Ada bangkai binantang dengan bau menyengat.
Sang murid berkata, "Guru, alangkah baunya bangkai binatang itu? Aku hampir muntah."