Benarkah kita akan bertanggungjawab nanti?
Kita sepertinya banyak memiliki perbedaan. Tak mengapa selama jarak yang terbentang di antara kita tidak memisahkan dua anak manusia.
Seperti suatu ketika, dalam perjalanan ke Bali beberapa tahun lalu. Ketika di bandara Samsudin Noor, kita sempat berjejal dalam antrian masuk. Selesai pemeriksaan, gerutumu tak habis-habis.
Soal sabuk yang harus dilepaskan dari badan, HP yang terpaksa kita kumpulkan, laptop dan segala macam alat elektronik lainnya yang menjadikan kita terpaksa membongkar ulang isi tas besar kita.
Syukurlah, semua berjalan lancar dan gerutumu lenyap ditelan suara pengumuman keberangkatan dari kota ke ke kota lainnya silih berganti setiap menit.
Pada sebuah kesempatan di ruang tunggu, beberapa langkah dari tempat duduk kita ada tumpukan buku yang dijual. Daripada hanya terpaku pada gawai di tangan. Aku pun mendekati dan mengambil buku berwarna jingga keemasan. Setebal dua jari, kira-kira. La tahzan judulnya.
"Untuk apa membeli buku itu?" katamu tak suka
Aku hanya tersenyum, "Ini 100 ribu. Tak kurang tak lebih. Selembar uang warna merah."
"Harusnya kalau beli buku jangan di bandara. Kan ada toko buku." lanjutnya
Setelah persiapan dalam pesawat selesai, segala sabuk pengaman sudah dipasang. HP dimatikan, aku taruh buku Latahzan di pangkuannya. Benar-benar tak ada respon. Dia pura-pura tertidur. Aku pun mencoba untuk terlelap.