Manusia adalah makhluk pembelajar, artinya manusia yang terus berusaha belajar memperbaiki diri, merubah dari yang tidak bisa menjadi bisa, dan juga dari ketidaktahuan menjadi tahu. Sederhananya manusia pembelajar artinya manusia yang mau berusaha, berlatih, dan berubah.
Selama hidupnya seorang manusia terus-menerus belajar. Konsep ini dikenal dengan istilah "Long Life Education" (pendidikan seumur hidup). Istilah ini awalnya dikemukakan oleh seorang filsuf dan pendidik Amerika yang sangat terkenal yaitu John Dewey.
Menurut John Dewey dalam konsep Long Life Education, pendidikan tidak hanya berlangsung selama seseorang belajar di lembaga pendidikan formal (sekolah). Tetapi pendidikan dapat diperoleh di luar pendidikan formal (masyarakat dan kehidupan sehari-hari maupun pengalaman).
Pendidikan seumur hidup juga berarti suatu proses yang berkelanjutan. Konsep ini menekankan bahwa pendidikan seseorang akan terus berlaku atau diperoleh selama manusia itu hidup.
Baca juga : Long Life Education, Menuntut Ilmu dari Buaian hingga Liang Lahat
Jika dipahami lebih dalam, long life education mengandung makna bahwa manusia bukanlah individu yang sempurna. Konsep ini bertentangan dengan ajaran pada umumnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, konsep ajaran yang sering kita terima mengatakan bahwa manusia merupakan makhluk paling sempurna dibandingkan dengan makhluk ciptaan lainnya.
Selain itu, ada pula ajaran lain yang mengatakan bahwa seorang manusia dapat mencapai kesempurnaan dengan cara-cara tertentu. Kenyataannya tidak demikian. Tidak ada seorang pun dapat mencapai kesempurnaan tersebut---dalam hal apapun.
Seorang ekonom sekaligus filsuf politik libertarian dan liberal klasik, Ludwig von Mises, dalam bukunya Liberalism: In The Classical Tradition, menulis bahwa tidak ada manusia yang sempurna dan setiap individu memiliki potensi untuk berbuat kejahatan.
Baca juga : Para Guru Perlu Mengaplikasikan Prinsip “Long Life Education - Belajar Seumur Hidup”
Secara humanis, konsep kesempurnaan itu sama sekali tidak ada. Kesempurnaan segala sesuatu hanya dapat dilihat dari kaca mata Sang Pencipta alam semesta. Hanya Tuhanlah yang memiliki kesempurnaan itu.
Di dalam pemahaman pendidikan seumur hidup, kita dapat melihat ketidaksempurnaan manusia. Sepanjang hayat manusia terus-menerus belajar sebagai akibat dari ketidaksempurnaan tersebut. Pembelajaran yang bersifat kontinu ini menunjukkan bahwa sampai kapan pun---bahkan hingga akhir hayat---manusia tidak akan sempurna.
Sisi lain yang dapat kita pelajari adalah bahwa manusia bukanlah the most perfect one. Manusia tidak lahir dengan segala kesempurnaan itu. Hal ini menunjukkan ketidakberdayaan seorang manusia sebagai ciptaan Yang Maha Kuasa.
Karena itu manusia perlu belajar. Jika kita manyadari hal ini maka kita pun akan terus berusah belajar sepanjang hayat. Belajar bukan untuk mengejar kesempurnaan tetapi mengubah diri menjadi lebih baik.
Satu hal yang perlu diingat adalah bahwa konsep belajar yang dimaksud merupakan frasa positif. Belajar sepanjang hayat artinya belajar akan hal-hal positif dan mengubah diri menjadi lebih baik, bukan sebaliknya.
Baca juga : Antara Long Life Education dan Kurikulum 2013
Memang benar bahwa tidak ada seorang pun manusia yang sempurna dan tidak dapat mencapai kesmpurnaan itu. Tetapi bukan berarti manusia tidak berarti apa-apa dan tidak pula melakukan sesuatu.
Di dalam ketidaksempurnaan seorang manusia, ada banyak hal yang dimiliki dan merupakan anugerah dari Sang Pencipta. Manusia diberikan bakat, talenta, dan banyak hal lain yang dapat digunakan di dalam hidupnya.
Sebagai individu yang tidak sempurna, manusia juga tidak dapat hidup sendiri. Karena itu manusia butuh bantuan maupun bersosialisasi dengan orang lain. Bahkan lebih dari pada itu, manusia butuh suatu entitas yang lebih tinggi dari padanya yaitu Tuhan.
"Learn from yesterday, live for today, hope for tomorrow. The important thing is not to stop questioning"_Albert Einstein (1879-1955)
(Belajarlah dari kemarin, hidup untuk hari ini, berharap untuk besok. Yang penting jangan sampai berhenti untuk bertanya)