Mohon tunggu...
Ekri Pranata Ferdinand Baifeto
Ekri Pranata Ferdinand Baifeto Mohon Tunggu... Human Resources - Timor Tengah Selatan

Seorang pengagum berat Cristiano Ronaldo dan pemakan segala kacuali durian. Menyelesaikan studi S1 Pendidikan Fisika di Institut Pendidikan SoE, S2 Pendidikan Fisika di Universitas Pendidikan Indonesia, dan saat ini sedang menempuh studi doktoral (S3) di Universitas Pendidikan Indonesia serta Magister Ministry Marketplace (S2) di Sekolah Tinggi Theologi Bandung. Menyukai banyak hal; sains, musik, sepak bola, seni, dan lain-lain.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tuntutan Adat-Budaya Vs Logika

13 April 2019   20:00 Diperbarui: 14 April 2019   11:09 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia kaya akan adat dan budaya. Pada tahun 2018, Kemendikbud menetapkan bahwa Indonesia memiliki 819 Warisan Budaya Takbenda dari 8.065 karya budaya (Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2018). Sungguh luar biasa bukan? Jumlah kebudayaan ini belum termasuk kebudayaan yang berasal dari luar Indonesia sendiri. Hal ini merupakan sesuatu yang harus kita hargai dan apresiasi.

Adat dan budaya Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu dari sekian banyak adat dan kebudayaan yang ada di Indonesia. Dari 21 kabupaten yang ada (tidak termasuk Kota Madya) masing-masing memiliki adat dan kebudayaan yang berbeda, baik itu bahasa, pakaian adat, rumah adat, bahkan budaya dalam kehidupan sehari-hari

Dalam kehidupan sehari-hari di Nusa Tenggara Timur (NTT), masyarakat tidak terlepas dari penerapan adat dan budaya. Adat dan kebudayaan yang ada mempengaruhi setiap aspek kehidupan masyarakat mulai dari kehidupan sosial, agama, kepercayaan bahkan juga pola pikir masyarakat.

Masyarakat NTT sangat menjunjung tinggi akan adat dan budaya. Hal ini dapat dibuktikan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Kehidupan modern saat ini seakan no effect terhadap kehidupan dan pola pikir masyarakat.

Tuntutan adat seringkali menjadi masalah dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dipengaruhi karena masyarakat memposisikan adat pada level yang lebih tinggi dari manusia itu sendiri. Adat juga menjadi pengambat aktivitas masyarakat. Pada level yang lebih tinggi, masyarakat sudah tidak lagi menggunakan logika atau akal sehat dalam menerapkan tututan adat, bahkan 'rela rugi' asalkan tuntutan adat dapat terpenuhi.

Berikut ini adalah contoh-contoh dari penerapan adat di NTT:

Belis (Mahar)

Dalam budaya di NTT, Belis adalah istilah untuk mahar. Belis atau mahar ini diberikan pada saat seorang laki-laki akan melamar seorang perempuan. Dalam lamaran ini biasanya keluarga dari mempelai laki-laki diharuskan untuk membawa mahar atau mas kawin yang ditentukan oleh keluarga dari mempelai perempuan. Mahar atau mas kawin di setiap daerah berbeda-beda.

Di beberapa daerah besarnya mahar atau mas kawin sudah dipatok berdasarkan status keluarga dan tingkat pendidikan. Semakin tinggi status keluarga dan tingkat pendidikan maka semakin mahal pula harga mas kawinnya.

Mas kawin yang dibayarkan tidak tanggung-tanggung. Mulai dari uang, banda pusaka yang harganya sangat mahal, ternak seperti sapi, kuda, maupun kerbau yang jumlahnya bisa "berkandang-kandang". Di tempat lain bahkan diharuskan mas kawin dalam bentuk gading gajah (padahal di NTT tidak ada gajah).

                                                                                                 Salah satu bentuk belis di NTT dalam bentuk gading gajah

Naketi (Pengakuan Dosa)

Naketi adalah istilah dalam bahasa Timor (Dawan) di NTT yang memiliki arti pengakuan dosa terhadap kesalahan yang mengakibatkan seseorang mengalami sakit atau musibah. Naketi atau pengakuan dosa ini dilakukan secara adat. Penghargaan terhadap naketi ini sangat tinggi. Seseorang yang mengalami musibah atau sakit bahkan meninggal dunia dapat dikatakan penyebabnya karena meniadakan naketi atau karena salah dalam penuturan naketi-nya.

Tel Nobi

Dalam terjemahannya dari bahasa Timor (Dawan), Tel=injak/pijak, Nobi=bekas kaki. Tel Nobi adalah salah satu bagian ritual dalam adat pernikahan orang Timor. Tel Nobi dilakukan oleh keluarga mempelai perempuan dimana setelah menikah keluarga dari mempelai perempuan diharuskan untuk pergi ke keluarga mempelai laki-laki dengan membawa barang-barang tertentu sebagai ‘antaran’. Jika hal ini tidak dilakukan maka si perempuan tidak diperbolehkan bertemu dengan keluarganya sama sekali. Konsekuensi dari melanggar aturan ini adalah akan ada musibah yang terjadi di keluarga tersebut bahkan bisa mendatangkan kematian.

Sekarang mari kita mencoba menilai secara logika terhadap kedua contoh kasus di atas. Pertama, belis tidak harus mahal. Mahalnya belis disebabkan karena tuntutan keluarga dan gengsi semata. Secara akal sehat, daripada menuntut belis yang mahal lebih baik belis yang mahal itu digunakan untuk membangun keluarga baru tersebut. Tuntutan belis dapat dipenuhi tanpa harus merugikan diri sendiri dan keluarga. Apalagi jika tutuntutan belis sampai membuat seseorang harus berhutang demi hal itu. Tentu saja hal ini menjadi beban bagi yang bersangkutan. 

Kedua, naketi tidak menyembuhkan penyakit dan menyelesaikan masalah. Penyakit dan masalah yang timbul juga bukan kerena akibat dari naketi. Jika seseorang mengalami musibah atau sakit maka yang harus dilakukan adalah mencari tahu penyebab dan bagaimana menyelesaikan masalah tersebut;musibah atau penyakit. Ini adalah beberapa contoh dari sekian banyak adat dan budaya yang perlu untuk disikapi dengan baik dengan menggunakan logika yang sehat.

belis-moko-5cb1c180cc5283197463fd88.jpg
belis-moko-5cb1c180cc5283197463fd88.jpg
                                                                                                                                      Contoh proses belis di NTT

Ketiga, mengabaikan Tel Nobi menyebabkan hubungan antar keluarga menjadi putus. Seharusnya adat seperti ini mempererat bukan memutuskan tali kekeluargaan.seorang anak lahirdan seharusnya lebih terikat pada family relations-nya bukan-dan seharusnya tidak-tergantung pada adat. seharusnya hal seperti ini bisa dikondisikan dan tidak tidak mengikat.

 Karena itu, pada kesempatan ini saya mengajak kita untuk berpikir dan menilai tentang bagaimana penerapan adat dan kebudayaan dalam dalam kehidupan kita sehari-hari. Tulisan ini bukan untuk menjelekkan atau menghilangkan adat dan budaya yang ada. Adat dan budaya harus tetap dihargai sebagai warisan nenek moyang kita yang berharga.

Manusia juga dapat belajar dari adat dan budaya yang ada. Akan tetapi janganlah memposisikan nilai adat dan budaya lebih tinggi daripada nilai seorang manusia. Adat dan budaya seharusnya berada dibawah kontrol manusia bukan sebaliknya. Tujuan adat dan budaya diciptakan adalah untuk kepentingan manusia yang harusnya mendatangkan kebahagiaan dan bukannya menjadi beban dan kesusahan bagi yang menjalaninya.

Karena itu, sepenting-pentingnya adat dan kebudayaan, akal sehat dan pertimbangan-pertimbangan yang baik juga harus kita gunakan dalam menjalaninya agar keuntungan dan kebahagiaan yang kita peroleh bukan kerugian dan kesusahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun