Mohon tunggu...
Eko Wurianto
Eko Wurianto Mohon Tunggu... Guru - Si Seneng Teh

Seneng Ngeteh dan Ngobrol Ngalor Ngidul

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

ASN Harus Netral

25 September 2023   20:15 Diperbarui: 25 September 2023   20:17 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Theng...Theng...Theng...Theng"

Tiang listrik di samping pos ronda ditabuh berulang-ulang. Heladalah, baru saja saya mau menyelonjorkan kaki, menghilangkan penat setelah seharian penuh menjalankan tugas negara, eee... kok sudah memanggil tugas sosial kemasyarakatan.

Aneh tenan kok yang buat jadwal ronda itu. Saya ini kan abdi negara. Bukan kaleng-kaleng. Wong pangkat! Kok bisa-bisanya dijadwal ronda hari Senin malam lhooo. Di mana-mana abdi negara itu sibuk luar biasa di hari Senin. Lha ora sibuk piye? Kantor kan libur hari Sabtu dan Minggu. Lha sudah pasti Senin jadi pemenuh kebutuhan orang-orang yang sudah "menahan hajat" sejak hari Sabtu toh? Akibatnya abdi negara bermartabat seperti saya ini harus kalang kabut melayani kebutuhan masyarakat yang sudah tertahan dua hari itu. Wajar kalau malamnya tepar. 

Tapi persoalan semacam ini mana dipahami oleh ketua RT saya yang sejak lulus SMA sudah sibuk berdagang. Mana paham dia tentang kalang kabutnya orang kantoran di hari Senin. Alhasil, saya dijadwal jaga ronda di malam selasa. Di malam ketika saya sedang lemes-lemesnya.

Tapi wong pangkat itu kan saya sebagai pejabat di kantor pemerintahan. Di lingkungan saya tetap anak buah Pak RT. Jadi di lingkungan ya harus sami'na wa atho'na, sendika dhawuh sama ketentuan yang dibuat oleh Pak RT. Karena itu, setelah berhasil mengumpulkan nyawa, saya pasang sarung juga akhirnya. Menghabiskan sisa teh di cangkir dan senthiyeng bergegas ke pos ronda.

Sampai di pos ronda, saya uluksalam kepada Bapak-Bapak teman ronda saya. Ngatimin Dingklik, Satemo Dokar, dan Sastro Carik. Nalar Jembar izin tidak hadir karena sedang terkapar di-KO flu.

"Monggo, monggo Pak Estu. Saya kira tidak ronda lho malam ini. Apa baru pulang tindakan luar kota to Pak Estu?"

"Ora lho Pak Min. Leyeh-leyeh kok bablas ketiduran lho."

"Lha nggih wajar lho Pak. Pak Estu ini kan pejabat tinggi. Mesti sibuk kok. Lha nek rawuh ndalem terus sare, yo wajar-wajar saja. Kan yo lelah kerja kantoran seharian."

Satemo Dokar yang sejak salaman tadi terus saja menekuri HP pintarnya, tiba-tiba meletakkan gawainya itu lalu ikut nimbrung.

"Mboten lho Pak Estu. Beberapa hari ini saya mencermati status-status WA warga sini. Semuanya seragam. Hanya Pak Estu lho yang statusnya beda."

"Lha memangnya apa status WA-nya Pak Estu, Mo?"

"Yo cek sendiri lah. Kayak nggak punya HP saja lho."

"Paketan habis, Mooooo."

"Ini lho. Status WA warga sini kan rata-rata mengenai pilihan ketua RT bulan depan to? Ada yang bikin status tulisan panjang mendukung Yu Keti. Ada ibu-ibu yang bareng-bareng nyanyi lagu Rungkad. Yang liriknya sudah diganti untuk mendukung Pak Arto Mbedhudhak. Ada yang menyindir-nyindir orang lain yang beda pilihan dengan pilihan dia. Lha Pak Estu ini statusnya kok jajanaaaan saja lho."

Sastro Carik yang langsung menutul-nutul HPnya untuk mengecek status WA orang-orang, ikut-ikutan urun rembug.

"Oh iyo ki. Ini tadi tak cek status Pak Estu hari ini gambar klepon. Kemarin plenggong. Kemarinnya lagi lopis. Apa nggak ingin nyetatus mendukung calon ketua RT kita gitu lho Pak? Biar kita ini bisa dapat insight. Dapat inspirasi siapa yang sebaiknya dipilih gitu lho Pak."

"Lha nggih lho Pak Estu. Kita ini perlu petunjuk dari para winasis  seperti Pak Estu ini. Siapa sebaiknya yang kita pilih. Semua calon kan hebat-hebat to? Yu Keti bukan saja cantik. Tapi juga pinter, lincah, gandhes luwes dan memukau."

"Huuuu...kamu itu memang pemuja rahasianya Yu Keti kok."

"Ora ngono. Tadi kan aku sudah bilang. Calon ketua RT kita itu sama hebatnya. Selain Yu Keti kan ada Pak Arto Mbedhudhak. Orangnya kaya. RT kita mesti maju kalau dipimpin orang yang kaya. Lha kegiatan apapun pasti didhekengi Pak RT. Dhekengan pusat. Iyo po ra?"

"Lalu Pak Kuat Toer Rosa itu kan pendekar pilih tanding. Kalau ketua RT kita Pak Kuat, pasti kampung kita ini aman dari maling dan disegani RT-RT lain."

"Iya lho Pak Estu. Mbok kita ini di-spill siapa yang cocok jadi ketua RT kita, gitu lho."

Saya hanya mesam-mesem saja melihat kelakuan tetangga-tetangga saya ini. Tapi nampaknya mereka benar-benar menunggu jawabanku. Berarti ini benar-benar genting. Saya harus segera mengeluarkan statement biar tidak jadi fitnah.

"Ngene lho luurr. Saya ini kan abdi negara. Abdi negara itu harus netral. Selain itu lak saya ini ditunjuk Pak RT yang sekarang jadi panitia pemilihan ketua RT yang baru. Jadi saya ini terikat profesi. Saya tidak boleh seenaknya sendiri nyetatus, fota-foto dengan calon ketua RT. Tidak boleh dolan, cangkrukan dengan calon ketua RT. Intinya, saya ini tidak boleh menunjukkan dukungan kepada salah satu calon secara terang-terangan. Lha kalau panitianya tidak netral lak hasil pemilihan ketua RT nanti jadi dipertanyakan keabsahannya to?"

"Oalah gitu to Pak Estu. Jadi intinya Pak Estu ini tidak boleh cawe-cawe berkaitan dengan pemilihan ketua RT. Gitu to?"

"Yoo, kurang luwih ngono lah"

Thing...Thing....Thing...Thing....Thing

Gerobak Bakso itu ujug-ujug berhenti di depan pos kamling. Penjualnya memukuli mangkok dengan sendok sambil senyam-senyum. Ngatimin Dingklik langsung ngomong tanpa tedheng aling-aling:

"Kalau untuk urusan ini, kayaknya Pak Estu bebas untuk cawe-cawe lho Pak?!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun