Mohon tunggu...
Eko Wurianto
Eko Wurianto Mohon Tunggu... Guru - Si Tukang Ngeteh

Seneng Ngeteh dan Ngobrol Ngalor Ngidul

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Panasnya Seperti di Kutub Utara

16 Oktober 2023   17:06 Diperbarui: 16 Oktober 2023   17:19 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemanasan Global oleh Eko Wurianto/Dok. Pribadi

Di mana-mana orang pada sambat mengeluh kepanasan dan kegerahan. Tak terkecuali di kampung saya. Malam itu, Ngatimin Dingklik datang ke pos ronda hanya dengan memakai celana pendek. Kaos oblongnya disampirkan di bahu kanannya.

"Panasnya ora jamak. Panas bukan main hari-hari ini."

"He eh kok. Panas kok kaya ning kutub utara."

"Huss. Panas kok kayak di kutub utara gimana to? Di kutub utara itu lak dingin to?"

"Itu lhoo, kata Pak Bendot di Si Doel Anak Sekolahan. Katanya panasnya seperti di kutub utara. He he he he"

Professor Nalar Jembar yang malam itu ikut ronda, ikut menanggapi obrolan Ngatimin Dingklik dan Satemo Dokar.

"Kutub utara itu memang tidak panas, tapi suhunya sekarang semakin menghangat. Akibatnya es yang ada di kutub utara itu mencair."

"Lha memang apa dampaknya kalau sampai es di kutub utara mencair Prof?"

"Ya akibatnya permukaan air laut di seluruh dunia akan naik dan desa-desa yang berada di pesisir Pantai akan tenggelam. Bahkan tidak hanya pesisir saja yang tenggelam, pulau-pulau kecil juga bisa tenggelam."

"Waduh kok ngeri banget yo? Ngerii... Ngerii..."

"Bukan itu saja, mencairnya es di kutub utara itu akan membuat suhu di bumi ini akan semakin panas. Akibatnya akan menyebabkan cuaca yang ekstrem seperti kemarau berkepanjangan atau curah hujan yang tinggi."

"Ngeri...Ngeri..."

"Kamu itu kok ngera ngeri saja to, Min?"

"Lha memang ngeri toh? Terus apa yang bisa kita lakukan Prof?"

"Wah yo banyak to. Salah satunya adalah dengan tidak menebang pohon sembarangan. Sebaliknya, menanami lahan-lahan kosong dan hutan dengan pohon berkayu keras."

"Saya kok dengar sekarang ini sekolah-sekolah juga banyak yang mengikuti program sekolah adiwiyata to Prof? Katanya ya untuk berkontribusi dalam mengurangi panas suhu bumi."

"Betul itu."

"Halah, saya kok tidak percaya dengan program-program seperti itu Prof."

"Kenapa memangnya, Mo?"

"Kalau kita menanam pohon itu lak hanya skala kecil saja to Prof? Berapa lho yang bisa kita tanam? Terus sekolah-sekolah adiwiyata itu juga. Berapa besar lho kontribusinya? Sedangkan hutan kita terus saja berkurang."

"Kamu nggak salah, Mo. Memang usaha kita ini kecil saja kontribusinya. Tapi toh sekecil apa pun kontribusi, itu tetap kontribusi. Kita mesti melakukan usaha sekecil apa pun untuk menyelamatkan bumi."

"Paham Prof. Tapi tak lihat-lihat kok hanya kita-kita rakyat kecil ini saja yang disuruh-suruh menjaga kelestarian lingkungan. Tapi yang orang gedean malah merusak lingkungan terang-terangan."

"Hush, nggak boleh ngomong gitu kalau nggak ada datanya. Sudahlah, pemanasan global itu sudah menjadi masalah dunia lho. Bukan hanya Indonesia saja. Kita memang kecil, tapi kalau kita sedunia ini bekerja sama dalam menjaga kelestarian alam kan akan berdampak sangat besar to?"

"Begitu ya Prof?"

"Gini saja. Misalkan pohon-pohon di halaman samping rumahmu itu ditebang habis, kira-kira rumahmu jadi panas apa nggak?"

"Ya mesti panas to Prof."

"Nah itu, paling tidak dalam skala individu kita tidak terlalu terdampak pemanasan global. Kalau kita menanami hutan di wilayah kita, terus daerah kita tidak terkena banjir bandang ketika curah hujan tinggi, itu kan juga keuntungan bagi kita."

Satemo Dokar terdiam. Mungkin dia merenungkan perkataan Profesor Nalar Jembar barusan. Malam semakin larut. Tapi nampaknya suhu belum akan menurun. Saya melihat aplikasi cuaca di hp saya. Tercatat suhu malam ini 30 derajat celcius.

Plakkk! Ngatimin Dingklik mendamprat nyamuk yang menggigiti lengannya yang telanjang.

"Oalah...oalah. Pakai kaos sumuk, nggak pakai kaos dikeroyok nyamuk."

Satemo Dokar yang sudah cukup sensi dengan orang gedean yang menurutnya berkontribusi paling besar dalam merusak bumi mulai berkomentar nyinyir kembali.

"Ya itulah, orang gedean yang bikin rusak iklim, kita orang kecil yang terkena dampaknya. Orang gedean enak, bisa pasang AC. Kita mana bisa pasang? Bayar listrik untuk kebutuhan mendasar saja ngos-ngosan."

"Aduh, Mo. Lagi-lagi kamu menyalahkan orang lain. Mbok ya sudah lho. Apa kalau sudah menyalahkan orang begitu terus suhunya jadi sejuk? Nggak to? Tambah panas iya"

"Iya lho Prof. meski terus menyalahkan orang gedean, tapi lak saya tetap nanam pohon to Prof? Tetap berkontribusi positif pada perubahan iklim to?"

"Sak senengmu, Mooo."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun