"Hush, nggak boleh ngomong gitu kalau nggak ada datanya. Sudahlah, pemanasan global itu sudah menjadi masalah dunia lho. Bukan hanya Indonesia saja. Kita memang kecil, tapi kalau kita sedunia ini bekerja sama dalam menjaga kelestarian alam kan akan berdampak sangat besar to?"
"Begitu ya Prof?"
"Gini saja. Misalkan pohon-pohon di halaman samping rumahmu itu ditebang habis, kira-kira rumahmu jadi panas apa nggak?"
"Ya mesti panas to Prof."
"Nah itu, paling tidak dalam skala individu kita tidak terlalu terdampak pemanasan global. Kalau kita menanami hutan di wilayah kita, terus daerah kita tidak terkena banjir bandang ketika curah hujan tinggi, itu kan juga keuntungan bagi kita."
Satemo Dokar terdiam. Mungkin dia merenungkan perkataan Profesor Nalar Jembar barusan. Malam semakin larut. Tapi nampaknya suhu belum akan menurun. Saya melihat aplikasi cuaca di hp saya. Tercatat suhu malam ini 30 derajat celcius.
Plakkk! Ngatimin Dingklik mendamprat nyamuk yang menggigiti lengannya yang telanjang.
"Oalah...oalah. Pakai kaos sumuk, nggak pakai kaos dikeroyok nyamuk."
Satemo Dokar yang sudah cukup sensi dengan orang gedean yang menurutnya berkontribusi paling besar dalam merusak bumi mulai berkomentar nyinyir kembali.
"Ya itulah, orang gedean yang bikin rusak iklim, kita orang kecil yang terkena dampaknya. Orang gedean enak, bisa pasang AC. Kita mana bisa pasang? Bayar listrik untuk kebutuhan mendasar saja ngos-ngosan."
"Aduh, Mo. Lagi-lagi kamu menyalahkan orang lain. Mbok ya sudah lho. Apa kalau sudah menyalahkan orang begitu terus suhunya jadi sejuk? Nggak to? Tambah panas iya"