Saya menanti-nanti penjelasan berikutnya dari teman saya tadi mengenai bagaimana data yang diperoleh google itu bisa menjadi mahal dan penting sekali bagi mereka. Tapi seseorang yang duduk di sebelah kanan saya menimpali.
"Alah mas, sampeyan ini kok rumit banget berpikirnya. Mau pakai aplikasi ya dipakai saja. Nggak perlu dipikir imbal baliknya segala. Google maps itu kan canggih banget ya. Masa alat canggih gitu mintanya yang gratis. Mikir yang simple-simple saja lho.
Teman saya yang sepertinya tahu banyak mengenai teknologi itu kelihatannya tersinggung dengan perkataan teman di samping kanan saya barusan.
"Indonesia itu nggak maju-maju karena orang-orangnya maunya berpikir simple kayak sampeyan itu mas. Diajak berpikir rumit sedikit nggak mau. Kalau begini terus, sampai kapan pun kita ini cuma bakal jadi konsumen terus. Nggak akan jadi produsen."
Teman di samping saya diam. Tidak menyanggah juga tidak mengiyakan. Untuk beberapa saat perbincangan tentang google maps terhenti. Saya baru sadar lagu-lagu karaoke yang diputar dari youtube itu telah minus vokal selama beberapa menit. Perkaranya, yang karaoke lagi asyik berdebat.
Lagu terus berputar tanpa penyanyi. Saya amati mobil-mobil yang berderet di jalan. Memang benar, teknologi bisa menghindarkan kita dari kemacetan seperti jalan yang sedang kami lalui sekarang ini.
Tapi memang tidak ada yang gratis. There is no free lunch. Kita harus waspada dengan yang kelihatannya gratis. Karena terkadang yang kelihatan gratis itu biayanya bisa jauh lebih mahal. Ya itu tadi, privasi kita.
Lha tapi kalau lagi butuh, kita mungkin lupa atau tidak peduli lagi dengan privasi. Yang penting kebutuhan terpenuhi. Laku hidup kita ini kan sudah cukup rumit dengan berbagai kebutuhan yang harus segera terpenuhi to? Ya urusan makan, ya urusan biaya anak, ya urusan kehormatan, ya urusan prestige. Masa harus ditambah rumit dengan urusan "sepele" seperti google maps.
Yah, bisa jadi teman saya yang ngerti banyak teknologi itu benar. Tapi teman di samping kanan saya juga belum tentu salah lah.
Mungkin karena sudah tidak bisa membantah lagi perkataan teman di belakang saya, atau karena tidak mau berdebat, teman di samping kanan saya akhirnya bilang:
"Wis lah. Perkara privasi pikir keri. Pikir belakangan."