Satemo Dokar adalah tipe lelaki tulen. Dia pantang bersolek. Bahkan untuk urusan kumis, jenggot dan rambut pun jarang ia rapikan. Nyeni katanya.
Tapi hari-hari ini panas dan gerahnya bukan main. Semua manusia harus bisa beradaptasi dengan perubahan suhu sekarang. Dan salah satu caranya, bagi Satemo Dokar, adalah dengan memotong rambut nyeninya.
Uniknya, Satemo tidak pernah potong rambut di tempat potong rambut madura yang banyak tersebar di kampung saya ini. Ia juga tidak pernah potong rambut di barbershop yang mahal.  Yang motongi rambutnya ya  istrinya sendiri.
Istri Satemo itu lulusan SMK jurusan tata kecantikan rambut. Sudah pasti terampil perkara potang potong rambut. Tapi Satemo melarang istrinya itu untuk membuka salon potong rambut di rumah.
Bukan, bukan karena Satemo ingin lebih leluasa "mengeksploitasi" istrinya. Bukan agar istrinya beres dalam beberes urusan-urusan domestik rumah tangga sehingga mereka tidak perlu lagi jasa ART.
Tapi, karena Satemo tidak suka kalau rumahnya jadi sarang potongan rambut para pelanggan. Lho, lak aneh to? Dia sendiri saja jarang mau merapikan rambut tapi kok "alergi" dengan potongan rambut pelanggan.
Pokoknya! Begitu terus katanya kalau ada yang tanya mengapa istrinya tidak boleh membuka salon potong rambut di rumah. Tapi pada Sastro Carik ia pernah berkata kalau dia itu geli dengan potongan-potongan rambut yang menumpuk.
Pernah suatu kali ia mengantar temannya ke tempat potong rambut paling ramai di kota saya. Mereka sudah runtang-runtung mencari-cari tempat potong rambut yang sepi sampai ketemu tempat potong rambut yang tinggal menyisakan satu pelanggan.
Baru saja mereka masuk ke tempat potong rambut itu lalu duduk menunggu giliran, tiba-tiba Satemo melihat potongan rambut yang mruel dimasukkan di dalam karung, diletakkan di sudut ruangan.
Satemo langsung plokekan, muntah-muntah di depan tempat potong rambut itu. Jadi tontonan orang. Mereka tidak jadi potong rambut karena teman Satemo itu tadi harus mengantarkan Satemo pulang.
Nah, sore ini, ketika saya pulang dari ngantor, saya lihat Satemo sedang dicukur istrinya di halaman depan rumah. Dia duduk di kursi kayu dan istrinya kras-kres motongi rambutnya dengan sangat prigel.Â
Thiiin. Saya mengklakson pasangan itu dan mereka menjawab;
"Nembe kondur Pak Estu? Pinarak!"
Saya nggak tahu kenapa, tapi kok ya saya langsung mengerem sepeda motor dan masuk ke halaman rumah mereka terus duduk di bancik tangga rumah.
Nyonyah Satemo lalu menanyai saya ini itu tanpa mengalihkan pandangannya dari rambut suaminya. Tapi kadang-kadang, kalau ingin bicara lebih panjang lebar, ia berhenti memotong rambut dan berbicara dengan membalikkan badannya kearah saya sepenuhnya.
Satemo duduk menghadap ke pohon nangka yang sepertinya sudah cukup tua. Ada beberapa buah nangka yang gemandhul dibrongsong karung agar terhindar dari gigitan lalat buah.
Pas di depan hidung Satemo, dipakukan pada batang pohon nangka itu sebuah cermin ukuran A5. Dari cermin itu Satemo melihat hasil kerja istrinya. Tapi fungsi cermin itu tidak lebih sebagai alat untuk memonitor hasil potongan rambut istrinya.
Sejak saya duduk di sini sampai sekarang, saya belum pernah mendengar Satemo protes atau meminta ini itu pada istrinya. Ia hanya manut pasrah saja dengan kepiawaian tangan istrinya itu.
Zaman kecil saya dulu, kalau waktunya potong rambut, Bapak saya pasti membonceng saya ke alun-alun kota. Di alun-alun itu ada beberapa orang pemotong rambut tanpa kios.
Mereka hanya meletakkan meja kecil di bawah pohon beringin dan memasang cermin kecil di batang pohon rindang itu. Persis seperti yang sekarang dipraktikkan oleh Satemo Dokar dan istrinya.
Memotong rambut di tempat seperti ini saya rasa nyaman betul. Meskipun di musim kemarau, di bawah pohon beringin suhunya selalu terasa sejuk. Terus pandangan mata juga bisa jelalatan kemana-mana. Nanti kalau menolehnya sudah keterlaluan, si tukang potong rambut yang akan mengembalikan kepala kita ke "jalan yang benar."
Kini, tukang potong rambut yang menggelar alatnya seperti yang di alun-alun pada saat saya kecil dulu sudah tidak ada lagi. Semua tukang potong rambut pasti menempati ruangan tempat mereka bekerja meskipun sempit. Entah yang permanen atau semi permanen.
Oh, saya baru sadar, mengapa saya mengiyakan permintaan Satemo Dokar untuk mampir ke rumahnya hanya untuk melihat dia sedang dipotong rambutnya oleh sang istri. Saya ingin bernostalgia dengan suasana potong rambut di masa kecil saya dulu: memotong rambut di tempat terbuka di bawah pohon yang teduh.
Yaahhh, sepertinya ada hukum alam yang harus selalu terjadi sampai kapan pun. Setiap ada satu yang datang, harus ada dua yang hilang.
Ketika tukang potong rambut sudah menempati ruangan, tidak hanya tukang potong rambut di tempat terbuka yang hilang. Tapi juga suasananya. Bukan hanya perkara tukang potong rambut saya kira. Ada banyak contoh-contoh yang lain.
Lima belas menit sudah saya duduk di tangga rumah Satemo. Tanpa sadar saya menarik napas dalam-dalam. Rambut Satemo sudah rapi jali di tangan istri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H