kota pulang ke desa untuk memperingati 1000 hari meninggalnya ibu mereka. Mereka pulang bersama pasangan dan anak-anak.
Rumah Sastro Carik ramai sekali. Saudara-saudaranya yang dariSetelah selesai peringatan 1000 hari mendiang ibu mereka, mereka tak langsung pulang. Mungkin sekalian diambil cuti panjang agar bisa berkumpul bersama keluarga besar.
Setiap pagi, kakak adik saudara Sastro Carik itu berjalan-jalan di jalan-jalan kampung saya. Dengan sarungan dan kaosan mereka bertegur sapa dengan teman-teman kecil mereka di kampung. Nampak santai sekali.
Di sore hari, anak-anak mereka yang seumuran SD-SMP ikut-ikutan bermain layangan di pematang sawah bersama dengan anak-anak kampung saya.
Ketahuan kalau mereka tidak pernah bermain layangan sebelumnya. Berkali-kali mereka berusaha menerbangkan layangan itu, tapi tak terbang-terbang juga.
Akhirnya mereka hanya rela duduk-duduk di pematang sawah melihat layangan-layangan anak-anak kampung yang berwarna-warni meliuk-liuk di langit.
Akhirnya setelah semingguan di kampung, Sabtu kemarin saudara-saudara Sastro Carik pulang ke kota. Kebetulan Sabtu pagi itu saya sepedaan keliling kampung. Olahraga kecil-kecilan. Pas saya lewat depan rumah Sastro Carik, pas juga mereka bersiap-siap berangkat ke kota.
"Nyuwun pamit Pak Estu."
"Lho, kok kesesa kondur. Kok buru-buru pulang to Mas Luhung?"
"Buru-buru gimana to Pak? Sudah seminggu lho di sini. Yah sebetulnya kados wegah-wegaho pulang ke kota Pak. Kalau dituruti, malas pulang ke kota. Tapi gimana lagi, penghidupannya terlanjur di kota Pak."
"Yah, memang berat mas meninggalkan kampung halaman. Tapi kan masih bisa pulang kapan saja to mas?"