Mohon tunggu...
Eko Wurianto
Eko Wurianto Mohon Tunggu... Guru - Si Tukang Ngeteh

Seneng Ngeteh dan Ngobrol Ngalor Ngidul

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kisah Mas Wulang Mendaftar Guru PPPK

28 September 2023   13:29 Diperbarui: 28 September 2023   13:38 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mendaftar Guru PPPK. Gambar oleh Eko Wurianto

Tetangga saya berjarak lima rumah dari kediaman saya, Mas Wulang namanya, kepingin sekali menjadi guru PPPK. Dia guru olahraga di sebuah SMK Negeri. Tahun 2021 lalu ia sudah mendaftar, nilai ujiannya lolos passing grade. Tapi tidak kebagian formasi. Alhasil dia belum bisa diangkat menjadi guru PPPK.

Tapi kata mas Wulang, meskipun ia belum keangkat menjadi guru PPPK, ia sudah diiming-imingi sebagai guru P1. Prioritas Satu. Artinya kalau ada pengangkatan guru PPPK lagi, dia termasuk yang diprioritaskan untuk diangkat.

Ndelalah kersane Allah suatu siang pas saya pulang saat istirahat kantor, saya melihat dia berjalan menuntun sepeda motornya. Keringatnya bercucuran karena siang itu memang panas sekali. Saya memanggilnya dari teras rumah.

"Mas Wulang, dari mana? Kenapa motornya kok dituntun?"

"Dari kantor pos Pak Estu. Apes kok Pak, di perempatan lampu merah dekat apotik Seger Waras itu motor saya kok ya ndadak bocor lho. Lha jarak ke tambal ban sama ke rumah lebih dekat ke rumah, ya saya tuntun saja pulang ke rumah. Panas begini. Rencananya nanti sore mau saya tambal."

"Mampir dulu mas Wulang. Biar dibuatkan teh."

Mas Wulang bersedia mampir. Setelah motor diparkir di bawah pohon mangga yang teduh, ia bergegas ke teras duduk lalu mengipas-ngipas wajahnya dengan stopmap. Mbak Brilli menyuguhkan es teh, dia teguk sampai setengah gelas.

"Ada perlu apa apa to mas Wulang kok ke kantor pos?"

"Mau beli e-materai Pak. Saya lak mau mendaftar guru PPPK itu lho Pak. Sekarang persyaratannya, surat lamaran dan surat pernyataan itu harus dibubuhi e-materai. Bukan materai tempel seperti dulu."

"Eeeee.... Antri banyak mas di kantor pos?"

"Lha ya itu tadi Pak, belum sampai ke kantor pos motor saya malah bocor duluan. Sebenarnya kan kita bisa beli sendiri secara online melalui web pendaftaran guru PPPK itu to Pak. Tapi kok yo ndelalah lho. Pas giliran saya mau daftar akun untuk beli e-materai itu kok ya gagal-gagal terus. Kata teman saya bisa beli di kantor pos. Ya sudah saya beli di kantor pos. Eee ternyata belum rezeki juga."

"Walah mau beli materai saja sudah repot ya mas?"

"Ya begitulah Pak. Saya masih mending Pak. Belum keluar uang. Ada teman saya yang sudah berhasil beli materai. Sudah bisa dibubuhkan ke surat lamaran. Pas mau diupload gagal karena filenya kekecilan. Tapi e-materainya itu sudah dianggap digunakan. Jadi e-materainya hilang. Dia harus beli e-materai lagi. Pas mau beli lagi itu susah dapatnya. Muter-muter terus."

Mas Wulang menghabiskan es tehnya, lalu berpamitan pulang.

"Mas, pakai sepeda motor saya saja dulu untuk beli materai di kantor pos. Motor sampeyan biar di sini dulu saja."

"Walah keleresan Pak. Apa nggak dipakai to Pak?"

"Itu ada satu yang nganggur. Sampeyan pakai dulu saja."

"Nggih Pak. Matur sembah nuwun."

Saya mengamati mas Wulang keluar dari halaman rumah saya naik motor matik anak saya. Saya lihat jam tangan saya. Masih ada 20 menit lagi waktu istirahat. Saya kembali duduk di teras. Saya kok jadi kepikiran dengan apa yang dialami oleh mas Wulang.

Ada berapa ribu orang di luar sana yang mengalami apa yang dialami oleh mas Wulang ya? Mau mendaftar guru PPPK tapi terkendala macam-macam. Duh Gusti nyuwun pitulung. Apa guru-guru itu kurang ikhlas to Gusti dalam mendidik, mengajar anak-anak Indonesia? Sudah berapa puluh tahun mereka mengabdi dengan gaji yang segitu-segitu saja?

Tapi begitu giliran mau memperjuangkan nasib untuk hidup yang lebih kok ya adaaaa saja kendalanya. Teman-teman di kantor banyak juga yang cerita tentang rupa-rupa halangan dalam  mendaftar jadi guru PPPK itu.

Lalu saya teringat kasus-kasus yang melibatkan siswa dan para guru-guru itu. Ada anak yang diduga bunuh diri karena tidak tahan dibully oleh teman sekelasnya. Ada guru yang diperkarakan karena orang tua siswa tidak terima dengan perlakuan guru itu kepada anaknya. Kabarnya ada juga kasus guru yang dianiaya oleh siswanya sendiri.

Semakin ke sini semakin berat saja tugas guru. Tantangan guru zaman dahulu sepertinya tidak seperti zaman sekarang. Guru benar-benar dihormati. Guru adalah profesi yang sangat kajen. Memang dulu gaji guru kecil. Tapi profesi guru benar-benar bermartabat. Karenanya masih banyak anak-anak muda yang bercita-cita menjadi guru.

Kalau tanggung jawab guru semakin berat seperti sekarang ini. Lalu kesejahteraan dan perlindungan guru belum juga kunjung membaik, bagaimana nasib pendidikan anak-anak Indonesia ke depan?

Saya melihat jam tangan saya lagi. 10 menit lagi waktu istirahat saya berakhir. Saya bergegas memakai kaos kaki dan sepatu. Saya harus datang tepat waktu ke kantor sebagai rasa syukur karena Tuhan telah menganugerahkan pekerjaan mapan ini kepada saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun