Mohon tunggu...
Eko Windarto
Eko Windarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Esainya pernah termuat di kawaca.com, idestra.com, mbludus.com, javasatu.com, pendidikannasional.id, educasion.co., kliktimes.com dll. Buku antologi Nyiur Melambai, Perjalanan. Pernah juara 1 Cipta Puisi di Singapura 2017, juara esai Kota Batu 2023
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

esai

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kajian Hermeneutik dalam Puisi di Bukit Berbatu

25 Juli 2024   17:33 Diperbarui: 26 Juli 2024   13:35 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh: Eko Windarto 

Secara sederhana, hermeneutik berarti tafsir. Studi sastra juga mengenal hermeneutik sebagai tafsir sastra. Dalam penelitian sastra, memang hermeneutik memiliki paradigma tersendiri. Kata Ricoeur ( Sumarjono, 1999; 106), hermeneutik berusaha memahami makna sastra yang ada di balik struktur. Pemahaman makna, tak hanya pada simbol, melainkan memandang sastra sebagai teks. Di dalam teks ada konteks yang bersifat polisemi. Maka, penelitian harus menukik ke arah teks dan konteks sehingga ditemukan makna utuh.

Pada dasarnya, paradigma hermeneutik telah menawarkan dua metode "tafsir sastra". Pertama, metode dialektik antara masa lalu dengan masa kini dan kedua, metode yang memperlihatkan persoalan antara bagian dengan keseluruhan. Kedua metode itu memaksa peneliti untuk melakukan tafsir berdasarkan kesadarannya sendiri atas konteks historis-kultural. Dengan demikian ada sumbangan penting kehadiran hermeneutik, yaitu; pertama hermeneutik menginkorporasikan suatu pengertian eksplisit mengenai "totalitas kultural", keseluruhan yang dasar dan terpadu dari suatu kebudayaan atau masyarakat pada level ideologi fundamental atau pandang dunia, misalnya dengan melihat sifat historis suatu kebenaran.

Kedua, sifat sastra dalam kehidupan sosial sudah terdefinisikan karena analisisnya dimulai dengan hubungan antara ilmu pengetahuan kultural dengan keseluruhan pengalaman kehidupan dalam suatu pengujian terhadap hubungan yang spesifik antara sastra dan pengalaman estetik dengan eksistensi sosial manusia.

Ketiga, hermeneutik membuka kemungkinan pemahaman trans-historis dengan konsep fungsi antara masa lalu dan masa kininya dari paradigma yang berusaha menafsirkan teks atas dasar logika linguistik.

DI Bukit Berbatu 

Setiap langkahku menapaki bukit berbatu

Dingin menenung tubuhku

Bayang-bayang pohon pinus menyimpan kesedihanku

Dahan dan ranting dipadatkan kesepianku

Angin yang datang dari empat penjuru

Membuatku terpana dan lupa pada semestamu

Saat bulir-bulir embun merupakan bahasa paling harum menebarkan kematianku

Batu, 2472024

Bukit Berbatu adalah teknik puisi yang terkenal dengan gaya bahasanya yang unik dan keindahan kata-katanya. Penyair dalam puisi ini menyampaikan pesan melalui gambarannya tentang bukit yang dihadapinya. Puisi ini menjadi kajian dalam hermeneutik sastra karena pesan yang tersirat di dalamnya yang dapat ditafsirkan melalui pendekatan hermeneutik.

Dalam puisi ini, bukit yang dilewati oleh penyair dikaitkan dengan bebatuan yang membuat setiap langkah menyakitkan. Kekakuan bukit tersebut menggambarkan kondisi jiwa penyair yang sedang berjuang untuk mencapai sebuah tujuan. Pada saat yang sama, karakteristik bukit yang dingin juga dapat mencerminkan kondisi mental penyair yang kesulitan untuk mengekspresikan emosinya. Bahkan bayang-bayang pohon pinus juga ikut mempengaruhi keadaannya dan memperkuat perasaan kesedihannya.

Ketika setiap daun dan ranting pohon menyebutkan beban kesepiannya dengan memadatkan rasa sedih dan kesunyian, penulis menggunakan gambar di sini untuk menunjukkan bahwa kesepiannya sudah menjadi bagian dari dirinya. Selanjutnya, angin yang bertiup ke empat penjuru membuat penyair semakin terpana dan kehilangan orientasi, meningkatkan perasaan kesepiannya.

Akhirnya, ketika bibit-bibit embun mulai muncul, perasaannya terkonsentrasi pada keindahannya, merasakan padanan sempurna dalam makna paling bening. Embunnya tak hanya memberi kesaksian atas kenikmatan, melainkan juga memberi tambahan kehidupan dan keindahan.

Melalui pendekatan hermeneutik sastra, kita dapat menyimpulkan bahwa puisi -DI Bukit Berbatu- menggambarkan keadaan jiwa manusia yang tidak stabil dan sedang mencari makna. Penyair menekankan pada gambaran alam dan lingkungan yang tersebar di sekitarnya sebagai cara untuk menggambarkan perasaan kekosongan dan kesepiannya. Di sinilah, peran hermeneutik sastra berguna dalam menafsirkan sebuah teks sastra, membawa kita menjangkau perspektif yang lebih luas dan lebih dalam, membuka pemikiran kita pada cara-cara pemahaman lebih menyeluruh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun