Mohon tunggu...
Eko Windarto
Eko Windarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Esainya pernah termuat di kawaca.com, idestra.com, mbludus.com, javasatu.com, pendidikannasional.id, educasion.co., kliktimes.com dll. Buku antologi Nyiur Melambai, Perjalanan. Pernah juara 1 Cipta Puisi di Singapura 2017, juara esai Kota Batu 2023
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

esai

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kajian Hermeneutik dalam Puisi di Bukit Berbatu

25 Juli 2024   17:33 Diperbarui: 26 Juli 2024   13:35 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Membuatku terpana dan lupa pada semestamu

Saat bulir-bulir embun merupakan bahasa paling harum menebarkan kematianku

Batu, 2472024

Bukit Berbatu adalah teknik puisi yang terkenal dengan gaya bahasanya yang unik dan keindahan kata-katanya. Penyair dalam puisi ini menyampaikan pesan melalui gambarannya tentang bukit yang dihadapinya. Puisi ini menjadi kajian dalam hermeneutik sastra karena pesan yang tersirat di dalamnya yang dapat ditafsirkan melalui pendekatan hermeneutik.

Dalam puisi ini, bukit yang dilewati oleh penyair dikaitkan dengan bebatuan yang membuat setiap langkah menyakitkan. Kekakuan bukit tersebut menggambarkan kondisi jiwa penyair yang sedang berjuang untuk mencapai sebuah tujuan. Pada saat yang sama, karakteristik bukit yang dingin juga dapat mencerminkan kondisi mental penyair yang kesulitan untuk mengekspresikan emosinya. Bahkan bayang-bayang pohon pinus juga ikut mempengaruhi keadaannya dan memperkuat perasaan kesedihannya.

Ketika setiap daun dan ranting pohon menyebutkan beban kesepiannya dengan memadatkan rasa sedih dan kesunyian, penulis menggunakan gambar di sini untuk menunjukkan bahwa kesepiannya sudah menjadi bagian dari dirinya. Selanjutnya, angin yang bertiup ke empat penjuru membuat penyair semakin terpana dan kehilangan orientasi, meningkatkan perasaan kesepiannya.

Akhirnya, ketika bibit-bibit embun mulai muncul, perasaannya terkonsentrasi pada keindahannya, merasakan padanan sempurna dalam makna paling bening. Embunnya tak hanya memberi kesaksian atas kenikmatan, melainkan juga memberi tambahan kehidupan dan keindahan.

Melalui pendekatan hermeneutik sastra, kita dapat menyimpulkan bahwa puisi -DI Bukit Berbatu- menggambarkan keadaan jiwa manusia yang tidak stabil dan sedang mencari makna. Penyair menekankan pada gambaran alam dan lingkungan yang tersebar di sekitarnya sebagai cara untuk menggambarkan perasaan kekosongan dan kesepiannya. Di sinilah, peran hermeneutik sastra berguna dalam menafsirkan sebuah teks sastra, membawa kita menjangkau perspektif yang lebih luas dan lebih dalam, membuka pemikiran kita pada cara-cara pemahaman lebih menyeluruh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun