Oleh: Eko WindartoÂ
Banyak faktor yang menyebabkan tingginya tingkat pengangguran di kalangan Generasi Z, termasuk ketidaksesuaian antara sistem pendidikan yang ada dan permintaan tenaga kerja. Beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi tingkat pengangguran Generasi Z antara lain:
Adanya perubahan struktur ekonomi global: Struktur ekonomi global yang terus berubah memberikan pengaruh bagi generasi muda yang baru memasuki pasar kerja. Pekerjaan tradisional seperti manufaktur cenderung menurun permintaannya, sedangkan pekerjaan di bidang teknologi dan digital berkembang pesat.
Lack of experience: Penduduk muda seringkali mendapatkan kesulitan dalam menemukan pekerjaan karena kurangnya pengalaman kerja yang dimiliki. Hal ini membuat mereka menjadi tidak diunggulkan dibanding pelamar kerja yang sudah mempunyai pengalaman.
Persaingan di Pasar Kerja: Semakin banyaknya jumlah penduduk muda yang bersaing dalam mencari pekerjaan yang standar menyebabkan persaingan semakin ketat. Dalam hal ini, kebutuhan akan keterampilan yang bersifat khusus sangat diperlukan.
Kesenjangan gender: Ada kesenjangan gender dalam angka pengangguran pada Generasi Z antara laki-laki dan perempuan. Angka pengangguran pada perempuan masa mudanya biasanya lebih tinggi, terutama di negara-negara berkembang dan sedang berkembang.
Kesulitan dalam mencari pekerjaan yang berarti: Generasi Z cenderung mencari pekerjaan yang memberikan makna dan tujuan hidup yang jelas. Mereka ingin menjalankan karir yang mempunyai arti dibandingkan hanya mencari pekerjaan yang membayar tetapi merasa hambar dan tidak memberikan kepuasan.
Ketidaksesuaian antara sistem pendidikan dan permintaan tenaga kerja juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat pengangguran Generasi Z. Sekolah lebih cenderung mengajarkan keterampilan generik daripada keterampilan yang dibutuhkan oleh pekerjaan yang tersedia. Beberapa keterampilan yang dibutuhkan di tempat kerja, seperti kemampuan interpersonal, pemecahan masalah, dan kemampuan berpikir kreatif, jarang diajarkan secara formal di sekolah. Seiring dengan itu pekerjaan di bidang teknologi dan digital, yang membutuhkan keahlian yang khusus, cenderung tidak dipersiapkan oleh sekolah sehingga memicu ketidaksesuaian antara pendidikan dan kebutuhan pekerjaan. Akibatnya, banyak lulusan sekolah atau universitas tidak memenuhi syarat untuk pekerjaan yang mereka inginkan dan kesulitan menemukan pekerjaan yang sesuai dengan keterampilannya.
Menurut data dari International Labour Organization (ILO) pada tahun 2020, tingkat pengangguran global pada generasi Z meningkat menjadi 13,6%, lebih tinggi dari rata-rata global sebesar 6,5%. Sementara itu, tingkat partisipasi pekerjaan global di antara generasi Z turun menjadi 34,8% pada tahun yang sama. Di Indonesia, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2021, tingkat pengangguran pada generasi Z mencapai 25,47%, lebih tinggi dari rata-rata nasional sebesar 7,07%. Data ini menunjukkan bahwa generasi Z mengalami kesulitan dalam memasuki pasar kerja, baik di tingkat global maupun nasional.
Data lain dari McKinsey & Company juga menunjukkan adanya kesenjangan antara keterampilan yang diajarkan di sekolah dan yang dibutuhkan oleh perusahaan. Menurut laporan mereka, sekitar 40% lulusan perguruan tinggi di seluruh dunia melaporkan bahwa keterampilan yang mereka pelajari di kuliah tidak sesuai dengan yang diperlukan oleh pekerjaan yang mereka lamar. Selain itu, mereka juga menemukan bahwa pekerjaan yang paling rentan terhadap deskripsi teknologi di masa depan di antara generasi Z adalah pekerjaan yang membutuhkan keterampilan teknis atau rutin, sedangkan pekerjaan yang membutuhkan keterampilan interpersonal dan kreatif diprediksi akan tumbuh di masa depan.
Data ini menunjukkan bahwa generasi Z menghadapi tantangan dalam memasuki pasar kerja yang disebabkan oleh ketidaksesuaian antara keterampilan yang diajarkan di sekolah dan kebutuhan tenaga kerja yang sebenarnya.
Selain itu, faktor lain yang menyebabkan ketidaksesuaian antara sistem pendidikan dan permintaan tenaga kerja adalah kecepatan perkembangan teknologi. Teknologi terus berkembang dan menciptakan pekerjaan baru, sedangkan kurikulum pendidikan di sekolah cenderung statis dan sulit diubah. Padahal, kebutuhan akan keterampilan teknologi terus berkembang dan menjadi semakin penting di masa depan.
Selain itu, kurangnya keterampilan kewirausahaan juga menjadi faktor penyebab tingginya tingkat pengangguran Generasi Z. Banyak lulusan baru yang tidak memiliki keterampilan untuk memulai usaha sendiri atau menciptakan lapangan kerja untuk diri sendiri dan orang lain.
Tingginya biaya pendidikan dan beban utang juga dapat menjadi hambatan bagi Generasi Z untuk memasuki pasar kerja. Banyak orang muda yang harus membayar utang pendidikan selama bertahun-tahun setelah lulus, yang dapat membatasi pilihan karir mereka karena harus memilih pekerjaan yang dapat membayar utang tersebut.
Krisis ekonomi global juga ikut memperparah situasi pengangguran pada Generasi Z. Di beberapa negara, krisis finansial mengakibatkan pemotongan tenaga kerja dan kebijakan rekrutmen yang lebih selektif, suatu situasi yang membuat generasi muda sulit mendapatkan pekerjaan.
Berdasarkan hal-hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa faktor yang menyebabkan tingginya tingkat pengangguran pada Generasi Z sangat banyak dan kompleks. Diperlukan perubahan dalam sistem pendidikan dan kebijakan yang mendukung untuk mengatasi ketidaksesuaian antara keterampilan yang diajarkan dan kebutuhan tenaga kerja. Selain itu, pengembangan keterampilan kewirausahaan dan mengatasi utang pendidikan juga perlu diperhatikan agar generasi muda dapat memasuki pasar kerja dengan lebih mudah dan sukses.
Sekar Putih, 1972024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H