Mohon tunggu...
Eko Windarto
Eko Windarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Esainya pernah termuat di kawaca.com, idestra.com, mbludus.com, javasatu.com, pendidikannasional.id, educasion.co., kliktimes.com dll. Buku antologi Nyiur Melambai, Perjalanan. Pernah juara 1 Cipta Puisi di Singapura 2017, juara esai Kota Batu 2023

esai

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Menyimak Puisi Indra Intiza

30 Juni 2024   09:10 Diperbarui: 30 Juni 2024   09:18 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Oleh: Eko Windarto 

Beberapa hari ini otakku mengalami kumat. Apalagi melihat puisi Indra Intisa, dan membacanya sampai tuntas, saya tergelitik untuk mengomentari. Puisinya, mengingatkan saya pada waktu kecil bermain layang-layang. Mesti panas membakar layanganku harus mengudara, dan menang dalam sambitan ( beradu ). Dari kenangan itulah puisi Indra Intisa mengajak saya merenangi metafora-metafora puisinya. Coba kita tampilkan puisi lumayan keren ini.

LAYANG-LAYANG DAN WAJAH

Baca juga: Puisi

Oleh: Indra Intisa

di langit, dua wajah terbentang

hanya ada awan samar-samar

Baca juga: Teatrikal Puisi

di tembus kilauan sinar.

senyum saling berebut 

di antara layang-layang saling kejar

saling tikung saling naik

"siapa paling kuat paling hebat?"

tanya wajah senyum kiri.

wajah senyum kanan berjanji

beri hadiah, "akan dapat sepeda."

wajah senyum kiri tak mau kalah,

"akan dapat motor."

"akan dapat mobil."

"akan dapat pesawat."

layang-layang berebut hadiah.

saling singgung saling gesek

saling rebut saling kusut.

dan layang-layang putus

di antara pesawat yang lewat

mobil menderu motor mendera

sepeda yang menderit.

dari jauh senyum mengembang

melihat dua wajah di langit

melihat layang-layang

melihat hadiah

melihat janji

melihat runtuh

2017

Indra Intisa

Layang-layang oleh Indra Intisa ini sangat menarik tersebab ia gambarkan bukan sekedar layang-layang yg dikendalikan dua wajah, lebih dari itu; bila kita melihat wajah bopeng masyarakat kita yang berebut kemenangan walau mereka tahu ketajaman benangnya. Apalagi bila kita kaitkan dg dunia perpolitikan dan kekuasaan, waoo tambah runyam. Puisi di atas menggambarkan wajah kita yang sering kumat tak tahu ujung pangkalnya membuat Indra Intisa sewot sambil nyruput kopi Intisa

Kadang keciamikan memainkan ludruk di atas panggung puisi bisa menjadi layang-layang putus. Dan entah jatuh di mana. Semua itu tinggal bagaimana terbangnya. Terlalu tinggi jatuhnya telbok, dan sakitnya tu di sini. Bila terlalu rendah akan ketinggalan angin alias bisa masuk angin. Muntah, Indra Intisa

Puisi Indra Intisa memang membuka ruang cukup lebar. Monggo diapresiasi bersama demi kesehatan kita bersama.

Batu. 2862017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun