Mohon tunggu...
Eko Windarto
Eko Windarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Esainya pernah termuat di kawaca.com, idestra.com, mbludus.com, javasatu.com, pendidikannasional.id, educasion.co., kliktimes.com dll. Buku antologi Nyiur Melambai, Perjalanan. Pernah juara 1 Cipta Puisi di Singapura 2017, juara esai Kota Batu 2023

esai

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Selama ini Sastra Dikemanakan kok Baru Sekarang Masuk Kurikulum?

21 Mei 2024   14:36 Diperbarui: 21 Mei 2024   14:38 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Oleh: Eko Windarto 

Sebelum menjawab mengapa baru saat ini sastra masuk dalam kurikulum pendidikan, perlu dipahami terlebih dahulu bagaimana sejarah perkembangan sastra di Indonesia. Sastra Indonesia dimulai pada masa penjajahan Belanda, dimana sastra aktif berkembang untuk mengembangkan lingkungan intelektual bangsa. Beberapa tokoh vital seperti Chairil Anwar, Usmar Ismail, dan Sanusi Pane berhasil menginspirasi banyak generasi berikutnya menjadi pejuang kebebasan dan toleransi.

Pada masa Orde Baru, sastra digunakan sebagai alat propaganda politik. Pemerintah saat itu berusaha memaksakan agar sastra dalam naungan aspek Negara Kesatuan Republik Indonesia dan keberhasilan pemerintahannya. Secara tidak langsung, orang-orang beranggapan bahwa sastra memberikan pengaruh negatif pada generasi muda yang cenderung mempertanyakan arah politik pemerintahan tersebut. Oleh karena itu, sastra menjadi diabaikan dari kurikulum pendidikan di Indonesia.

Pada akhir Orde Baru, masalah ini mulai diperbaiki oleh pemerintah. Sastra mulai dianggap sebagai instrumen untuk membangun wawasan nasional dan memperkuat identitas bangsa Indonesia. Di era Reformasi, sastra resmi masuk dalam kurikulum pendidikan Indonesia, khususnya pada kurikulum di Sekolah Menengah Atas. Kehadiran sastra dalam kurikulum didasarkan pada keyakinan bahwa sastra memiliki manfaat yang signifikan dalam membangun nasionalisme, mempererat kebersamaan dan memperkaya khazanah budaya bangsa.

Tampaknya, pemilihan untuk memasukkan sastra dalam kurikulum pendidikan terkait dengan perkembangan politik di Indonesia. Sejak kedatangan Joko Widodo di periode kepresidenannya pada 2014, kebijakan pemerintah dalam pendidikan diarahkan untuk memperkuat kurikulum dan meningkatkan mutu pendidikan. Salah satu upaya konkrit yang dilakukan adalah dengan memperbaiki kualitas kurikulum pendidikan nasional.

Pada 2019, Kemendikbud merilis kurikulum 2013 revised 2019. Pada kurikulum tersebut, pengajaran sastra di sekolah-sekolah menengah berfokus pada pengembangan empat kompetensi: interpertasi, analisis, evaluasi, dan apresiasi karya sastra. Oleh karena itu, pengajaran sastra kini memiliki orientasi yang sangat berbeda dari masa sebelumnya, yaitu lebih berorientasi pada pengembangan kompetensi daripada pengetahuan.

Namun, masalah yang masih muncul adalah jumlah karya sastra yang dijadikan bahan ajar di kurikulum pendidikan nasional masih sangat terbatas. Padahal, Indonesia memiliki kekayaan sastra yang sangat melimpah. Oleh karena itu, perlu adanya upaya untuk memperluas cakupan sastra dalam kurikulum pendidikan dan menambah kualitas dalam pengajaran sastra itu sendiri. Diharapkan, sastra akan menjadi sumber daya nasional yang dapat mengembangkan pikiran dan keterampilan generasi muda Indonesia.

Dalam berbagai konteks, khususnya dalam pendidikan, membaca karya sastra dianggap dapat menghasilkan keterampilan kognitif dan sosial, seperti: kemampuan membaca, kemampuan menjelaskan, kemampuan berbicara dan berpendapat, kemampuan menulis, kemampuan untuk bekerja sama, dan kemampuan empati sosial. Oleh karena itu, sastra dianggap sebagai kemampuan dasar yang harus dikuasai oleh setiap orang, dan sangat penting untuk memasukkannya dalam kurikulum pendidikan.

Di dalam kurikulum pendidikan nasional Indonesia, karya sastra yang diajarkan biasanya terbagi dalam tiga kategori besar, yaitu karya sastra Indonesia, karya sastra daerah, dan karya sastra dunia. Beberapa contoh karya sastra yang masuk dalam kurikulum tersebut diantaranya adalah:

Karya sastra Indonesia:

"Sang Pemimpi" dan "Edensor" karya Andrea Hirata

"Cinta di Dalam Gelas" karya Andrea Mailangi

"Perahu Kertas" karya Dewi Lestari

"Laskar Pelangi" karya Andrea Hirata

"Pramoedya Ananta Toer" beberapa karya antara lain Arok Dedes, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa

Karya sastra daerah:

"Babad Dipanegara" karya Kangjeng Gusti Pangeran Harya Diponegoro

"Hikayat Hang Tuah" dari Melayu

"Serat Wedhatama" dari Jawa

"Moro Lebu" dari Bali

"I La Galigo" dari Sulawesi Selatan

Karya sastra dunia:

"Pride and Prejudice" karya Jane Austen

"To Kill a Mockingbird" karya Harper Lee

"The Great Gatsby" karya F. Scott Fitzgerald

"Romeo and Juliet" karya William Shakespeare

"The Catcher in the Rye" karya J.D. Salinger

Karya sastra tersebut diajarkan di berbagai jenjang pendidikan, mulai dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Dalam pengajaran sastra, siswa juga diajarkan untuk menganalisis karya sastra, memahami makna dan tema yang terkandung di dalamnya, serta memahami konteks sosial, budaya, dan sejarah di baliknya.

Selain itu, dalam pengajaran sastra, siswa juga diajarkan untuk mengembangkan empat kemampuan dasar, yaitu kemampuan membaca, kemampuan menulis, kemampuan berbicara, dan kemampuan mendengarkan, yang sangat bermanfaat dalam meningkatkan keterampilan bahasa dan literasi siswa.

Namun, perlu diingat bahwa karya sastra yang diajarkan dalam kurikulum pendidikan tentu tidak cukup untuk memperkenalkan seluruh karya sastra yang ada. Oleh karena itu, diperlukan inisiatif individu untuk mengenalkan karya sastra lainnya, misalnya dengan membaca karya sastra di luar kurikulum pendidikan atau mengikuti kegiatan kesenian literasi yang diselenggarakan di masyarakat.

Pada akhirnya, keputusan memasukkan sastra dalam kurikulum pendidikan adalah tindakan bijaksana dan penting. Selain menjadi instrumen penting dalam membangun nasionalisme dan kebersamaan, sastra juga sangat bermanfaat dalam meningkatkan keterampilan siswa. Oleh karena itu, ke depannya perlu adanya upaya untuk memperluas karya sastra yang diajarkan di sekolah-sekolah dan meningkatkan kualitas dalam pengajaran sastra itu sendiri. Diharapkan, kehadiran sastra di dalam kurikulum pendidikan akan memperkuat daya saing dunia pendidikan di Indonesia dan memperkaya khazanah budaya bangsa.

Batu Wisata, 2152024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun