Ini tentang hikayat seorang sufi, seorang ulama, yang kadang akal kita tidak akan mampu mencapai tingginya preferensi beliau. Maka dari itu, setidak suka apapun kita dengan ulama tertentu, mohon untuk tidak mencela mereka. Sekalipun kalian pernah mendengar mereka mencela yang lain, mohon untuk tetap tidak mencela beliau-beliau.
Setiap orang mengenalnya di masa itu, dia tampan dan rupawan, menarik, rapi, serta berakhlak karimah meneduhkan bagi setiap orang yang di dekatnya. Di suatu pagi di kota Bahsrah, ketika ia sedang berjalan di sepanjang tepian pasar dengan kuda yang coklat sedikit berponi di ujungnya. Ia tanggalkan kudanya, dan berkeliling sejenak. Saat tak sengaja terhenti di persimpangan, sepasang mata yang menyejukkan membuat pandangan, hati, dan perasaannya tak karuan rasanya. Ia tak mampu melangkah, berpindah, ataupun memalingkan wajah untuk tidak menatap. Sepasang mata indah, seorang gadis, yang harus membuatnya berulang istighfar agar tidak kembali menatap dan menikmati keindahan yang tidak seharusnya. Disinilah, sebuah kisah sang sufi Imam Hasan Al-Bashri dengan sepasang bola mata yang menawan diceritakan.
Ia mendekatinya, gadis itu sedang berjualan. Rupanya takdir menuntunnya, ia ingin membeli segelondong sayuran untuk berbuka di petang nanti. Tak terkira saat gadis itu tersenyum dan mengucapkan kata demi kata yang singkat, pelan, bahkan meruntuhkan hati, setelah bertegur sapa dan akad jual dan beli dirampungkan.
"Terimakasih saudara..."
"Sama-sama.."
Tak banyak yang bisa dikatakan Sang Imam. Ia bujang, dan tak bisa menghentikan detak jantungnya yang terus berdebar dengan kecantikan dan keindahan sang gadis, terlebih sepasang mata teduhnya nan indah.
Gadis itu pulang. Dan entah apa yang mendorongnya, Sang Imam ingin tahu dimana tempat ia tinggal. Ia mengikuti, memperhatikan kemana langkahnya akan sampai. Hingga pada ujung sebuah desa, ia kehilangan arah, jejak yang diikuti sedari tadi kandas, ia kehilangan gadisnya, gadis dengan sepasang bola mata yang anggun dan menawan.
Saat berbalik arah, dan hendak pulang. Ia dapati pintu disebelahnya terbuka.
"Kenapa, saudara mengikuti ku hingga sampai kesini?"
"Maaf.. Sungguh, aku hanya tertarik dengan keindahan mata yang sekarang aku pandang."
Hening sejenak. Gadis yang melenakan hati dan pikiran itu ternyata tahu kalau memang dari tadi Sang Imam mengikutinya dari belakang. Semua orang mengenal Sang Imam, termasuk gadis berjilbab dengan sepasang bola mata yang teduh dan menawan di ambang pintu rumah yang sekarang sedang berbicara dengan Sang Imam. Ia mengenalnya.
"kalau begitu tunggulah aku di rumahmu tuan, biar aku akan datang dengan keindahanku"
Gejolak jiwanya semakin tak karuan, cinta atau entah kebahagian dan getaran hatinya begitu menyenangkan sekarang. Hingga ia bergegas pulang dengan sumringah. Menunggu seorang gadis cantik dan menawan yang menyejukkan hati, yang ia harapkan dengan suka cita halal mendampinginya sampai tua, sampai akhir hayat.
Datang seorang perempuan dengan membawa nampan yang ditutup dengan kain halus nan indah, sulamannya bak permadani yang dirajut permaisuri. Seorang perempuan menyapa dan mengetuk rumah Sang Imam.
"Maaf, adakah sesuatu yang mengantarkan saudari datang ke rumahku?"
"Aku diperintah tuan putriku untuk menyampaikan sesuatu ini, sesuatu yang sangat anda kagumi keindahanya." Seraya sang pelayan memberikan bawaanya.
Sang Imam menerima nampan itu, dan segera membuka penutupnya. Betapa terkejut ia begitu melihat isi nampan itu. Â 'Dua buah bola mata' yang masih berlumuran darah.
 "Sungguh tuan putri berkata bahwa, beliau tidak ingin orang lain terfitnah lantaran keindahan matanya. Beliau terus mencukil matanya, dan kini ku sampaikan kepada tuan, karena tuan tertarik dan menginginkannya."
Mendengar keterangan perempuan utusan gadis pujaannya, getaran tubuhnya mendadak berubah. Getar-getar cinta yang penuh bahagia, sirna seketika. Mukanya pucat, tubuhnya pun lemas. Berbisik dalam hatinya "Celakalah aku, telah melupakan Tuhan yang Maha Menciptakan!" Semalam suntuk ia merutuki dirinya, beristighfar, dan tak sabar menunggu pagi untuk segera datang dan meminta maaf kepada gadisnya. Dan saat pagi tiba, saat ia telah sampai diambang pintu yang dulu mereka bertatap muka, seseorang menepuk pundaknya, mengatakan sesuatu kepada Sang Imam. Gadisnya telah tiada.
"kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang layak dikehandaki-Nya dan menyiksa siapa yang pantas dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (Qs. Albaqoroh [2]: 284)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H