Bagi masyarakat Indonesia terutama pemeluk agama Islam Idul Fitri merupakan hari yang paling istimewa. Sampai-sampai pemerintah menetapkannya sebagai hari libur nasional selama dua hari berturut-turut.
Ada benarnya kehadiran hari raya tersebut memang menyedot energi sangat besar. Aktualnya tingkat pergerakan warga meningkat drastis. Roda ekonomi berputar lebih kencang terutama di sektor konsumsi dan transportasi mengalami peningkatan volume hingga menimbulkan kemacetan di jalan-jalan utama.
Secara sosial Idul Fitri juga makin universal karena pada prakteknya tidak hanya  dirayakan oleh umat Islam saja. Sebagai satu bentuk tradisi Idul Fitri juga dengan eloknya dijadikan momen silaturahmi dan saling memaafkan oleh semua golongan masyarakat Indonesia.
Tersebutlah kemudian yang namanya halal bihalal. Dengan makna yang sangat umum sehingga menghilangkan hambatan primordial dari pemeluk agama lain dalam turut menyelenggarakan silaturahmi semi formal.
Itulah beberapa wajah lokal Idul Fitri setelah berkelindan dengan tradisi.
Kembali ke Fitrah
Namun sebenarnya dimensinya lebih dominan pada sisi esoteris sehingga sebenarnya tidak terlalu memerlukan ekspresi glorifikasi. Selebrasi seperlunya sebagai wujud rasa syukur tentu masih tergolong baik. Karena semua dorongan emosi memerlukan saluran yang tepat untuk memperoleh efek yang sehat. Bahasa agamanya ya pahala atau lebih luas lagi ya ridho Allah SWT.
Hanya saja tak banyak orang yang memperoleh anugerah hasil puasa sebulan yang sempurna. Dalam arti shaum -nya dijalankan sekaligus dalam tiga matra yakni meliputi puasa dhahir syar'i, puasa dhahir jam'iy dan puasa bathin sirriy.
Puasa dhahir syar'i terbatas pada aturan minimal sepanjang masih sah secara hukum. Sedangkan puasa dhahir jam'iy lebih luas puasanya dengan tambahan menahan dari syahwat lahir yang timbul dari keinginan panca indera.
Kemudian yang terakhir adalah puasa bathin bi sirriy yaitu termasuk mengalahkan dorongan syahwat khofiy. Jelasnya syahwat khofiy itu nafsu yang lembut tak mudah terdeteksi tetapi sangat berbahaya dalam jika bersarang dalam hati manusia. Contohnya sifat takabur, hasud, suka pamer dan selalu ingin wah di mata orang lain.
Orang yang berhasil melewati ujian di tiga matra melalui ibadah puasa Ramadan maka dipastikan bisa kembali menjadi fitri.
Simbolisme Bersih-bersih
Disisi lain masih dibutuhkan simbolisasi akhir suatu peperangan melawan hawa nafsu yang mengotori hati. Gunanya untuk memudahkan masyarakat awam mengerti ghoyatul shaum (tujuan akhir puasa).
Di kampung-kampung masih berlaku tradisi bersih-bersih tempat tinggal, pakaian sehari-hari, perabot rumah tangga, perkakas-perkakas mencari nafkah dan tempat ibadah. Seringkali bahkan biaya lebih besar dikeluarkan untuk belanja perbaikan rumah dan mengecat ulang dinding-dindingnya.
Sehabis itu segenap warga melanjutkan bersih-bersih makam leluhur. Dengan maksud untuk menyiapkan lokasi makam agar nyaman diziarahi para ahli warisnya. Banyak diantaranya juga melakukan tabur bunga.
Masyarakat awam memang paling mudah mencerna kebenaran melalui bahasa simbol. Lebih-lebih jika beragam simbol itu hidup dan dipraktekkan dalam kerangka tradisi. Hal itu akan berfungsi sebagai monumen atau cagar budaya yang akan selalu mengingatkan lalu menuntun masyarakat bawah tetap pada standar moral dan keimanan yang baik serta bermanfaat nyata.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H