Akbarnya bulan Ramadan sanggup melahirkan aneka macam tradisi di berbagai daerah. Warna warni tradisi hasil kreasi para wali sepuh dan juga tetua adat bermunculan di seantero negeri.
Di Semarang ada tradisi dug deran yang berpusat di kota lama. Di Kudus tak kalah meriah ada tradisi dandangan berpusat di sekitar masjid Menara Kudus. Ini adalah contoh tradisi menyambut datangnya Ramadan dan tergolong bersifat seremonial yang awalnya diinisiasi oleh pemerintah zaman dahulu.
Lain lagi di daerah Temanggung dan sekitarnya yang memiliki tradisi megeng jelang Ramadan. Tradisi itu cukup melembaga walaupun murni dilakukan oleh masyarakat. Saya melihat munculnya tradisi megeng lepas dari inisiasi unsur pamong praja. Bahkan sepertinya lembaga ulama yang notabene non pemerintah pun bukan pihak inisiator tradisi itu.
Dekade belakangan tradisi megeng dibarengi oleh tradisi padusan yang juga merupakan tradisi yang tumbuh secara alami. Padusan yang semula hanya satu bentuk ritual pribadi dengan melakukan mandi keramas di kedung sebagai simbol penyucian hati menjelang pelaksanaan ibadah puasa Ramadan.Â
Pembelokan kemudian terjadi atas logika kapital yang menjadikannya sebagai momen bisnis menggiurkan bagi pemodal bersama organizer-nya.
Alhasil perkawinan mutualistik antara tradisi dan modal bersama-sama melahirkan satu bentuk atraksi kombinasi antara pseudo tradisi dan rekreasi (hiburan). Ironi kemudian muncul ketika tradisi baru padusan massal yang sedianya memiliki bobot spiritual karena bergamit dengan hiburan yang dilandasi pragmatisme modal menjadi miskin makna.
Tradisi yang Luruh
Kembali ke tradisi megeng jelang Ramadan di Temanggung. Praktik megeng bisa dideskripsikan sebagai ungkapan rasa gembira menyambut datangnya bulan suci Ramadan. Bentuknya sebenarnya jauh dari aroma ritual. Tetapi kaya akan makna yang mendalam.
Ada sementara tumpah tindih definisi antara tradisi megeng dengan istilah punggahan dan nyadran yang saya dapati di berbagai jurnal budaya. Karena itu penulis mendasarkan diri pada pengalaman riil di masa kecil yang cukup lama menjadi bagian dari banyak even dan ritual tradisi di dusun Pacelukan desa Wadas kecamatan Kandangan kabupaten Temanggung. Di dusun tempat penulis tinggal bersama orang tua saya dapati ketiga nomenklatur tradisi itu mempunyai praktik masing-masing.
Tujuannya adalah belanja beberapa kebutuhan penting menghadapi Ramadan. Pada momen itu banyak kebutuhan pokok keluarga dipenuhi untuk menjamin khusyuknya ibadah di bulan puasa. Bersamaan dengan itu anak-anak juga dimanjakan dengan aneka macam barang dan makanan untuk turut bisa merasakan kebahagiaan menjemput datangnya bulan suci yang dimuliakan tersebut.
Bahkan awalnya pada aksi megeng itu juga belanja kebutuhan lebaran berupa pakaian baru, sandal, sepatu, kopiah hingga seperangkat alat ibadah semua anggota keluarga. Setelah dirasa cukup belanja barang-barang untuk semua anggota keluarga kemudian diakhiri dengan makan besar bersama di warung makan favorit keluarga. Umumnya ya masih di los pasar itu saja, bukan terus di kedai-kedai makan spesial di lokasi berbeda.
Waktu itu menu nasi rames lauk paha ayam kampung, kupat tahu, saoto atau nasi gudeg lauk telur bacem sudah sangat spesial bagi keluarga orang desa. Kegembiraan natural akhirnya terpancar bersamaan dengan waktu akhir menjelang masuknya bulan suci Ramadan.
Indah dan syahdunya tradisi itu hingga sanggup memelihara soliditas dan daya tahan keluarga di masyarakat daerah tersebut. Tanpa disadari membuncahnya rasa bahagia bersama itu turut menguatkan pilar kehidupan sosial kemasyarakatan.
Perubahan zaman acapkali menggerus eksistensi lembaga tradisi yang selama ratusan tahun memberi asupan nilai bagi masyarakat.
Pergeseran mode belanja akibat dari pertumbuhan toko-toko eceran berwajah baru serta peningkatan pendapatan perorangan segenap masyarakat mengantarkan perilaku baru dalam berbelanja. Cara-cara lama pun mulai tampak basi untuk kemudian perlahan ditinggalkan.
Kini tradisi megeng yang elok nan eksotis itu tinggal cerita. Kalau pun masih ada beberapa orang tua yang menjalaninya praktis tak memiliki kekuatan transformatif sama sekali di pasar. Yang tampak dari megeng era dua ribuan hanyalah eksotisme masa lalu saja.
Padusan atau Dangdutan?
Lain megeng lain padusan. Sama-sama terkait dengan momen seru menyambut datangnya bulan suci Ramadan tetapi dalam wujudnya kedua tradisi itu terdapat kesenjangan esensi.
Kasusnya ada kesamaan dengan acara syawalan yang ramai digelar di daerah-daerah yang dari awal mulanya tidak memiliki akar tradisi seremonial syawalan.
Untuk mempertajam sudut pandang ini baiklah saya berikan contoh daerah yang memang awalnya kuat dengan tradisi syawalan. Contoh paling gampang adalah Kaliwungu Kendal dengan tradisi bodo kupat yang digelar menyeluruh di hari ke delapan bulan Syawal.
Kembali ke padusan di Temanggung. Karena awalnya yang menjadi inisiator dan promotor adalah para cukong yang bebas nilai selain mengejar keuntungan bisnis maka wajar jika lantas tidak hirau pada aspek makna dan kemaslahatan. Prosesi padusan yang mestinya mengedepankan sentuhan religi yang bermuatan rohani akhirnya terbenam dalam riuh sorak sorai penonton panggung konser dangdut.
Sayang sekali bukan? Untuk itu diperlukan kesadaran semua pihak untuk merevitalisasi tradisi padusan agar memberi manfaat dan maslahat jangka panjang bagi masyakarakat.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H