Kompleksitas pergulatan kekuasaan tak kasat mata tingkat tinggi memang tidak mudah diverifikasi. Publik hanya diijinkan menduga menggunakan nalar logis tanpa konfirmasi memadai dari pihak berwenang.
Dalam sistem pemerintahan demokrasi yang belum matang selalu menyisakan kekuatan yang tak terakomodasi secara baik. Kekuatan tak terakomodasi itu banyak berada di kelompok oposisi tetapi juga bisa di dalam pemerintahan dalam bentuk faksi-faksi.Â
Itulah mengapa dalam konstelasi politik demokrasi dengan kekuatan hampir imbang legitimasi pemerintah sebagai pemegang mandat melalui proses elektoral tidak sepenuhnya mampu mengendalikan kecenderungan khas masing-masing faksi. Yang ada biasanya pemerintah membangun format perimbangan kekuatan yang untuk memperoleh kestabilan relatif hingga akhir masa pemerintahannya.
Repetisi Kejadian
Oleh sebab yang berebut dan bertikai adalah para pemain elit sebagai sutradara maka banyak melibatkan individu dalam struktur komando informalnya. Sehingga umumnya yang menjadi martir para bidak catur level pion.
Tesis ini sudah terkonfirmasi dalam sejarah pemerintahan setidaknya bisa dilihat sejak reformasi bergulir. Tahun 1998-1999 publik disuguhi aksi pembunuhan mahasiswa Trisakti dan Semanggi. Lalu masyarakat juga dihantui kasus teror mulai dukun santet, pembantaian para guru ngaji lewat aksi ninja dan lain-lain yang hingga kini masih gelap gulita.
Kemudian dengan sedikit mengesampingkan pelanggaran-pelanggaran hukum yang tak menjadi headline media beberapa kasus HAM masih saja terjadi di era pemerintahan demokrasi yang sudah relatif stabil dan mapan. Tahun 2005 terjadi pembunuhan sanget terencana atas aktivis HAM terkemuka Munir SH dalam dalam penerbangan pesawat Garuda.
Lucunya proses hukum panjang yang menyita perhatian masyarakat dan disorot media internasional itu hanya menghasilkan terpidana seorang pilot tak dikenal Polycarpus.Â
Keganjilan ini tampaknya masih akan terjadi pada kasus penyiraman air keras yang membuat mata kiri Novel Baswedan nyaris tak berfungsi. Teror terhadap Novel Baswedan terindikasi penuh muatan politis walaupun jauh dari aroma istana mengingat posisi korban sebagai salah satu penyidik senior Komisi Pemberrntasan Korupsi (KPK) yang diketahui publik banyak menangani tersangka korupsi kakap.
Kasus Novel pun buntu hampir dua setengah tahun hingga Kabareskrim Polri mengumumkan penangkapan dua orang anggota Polri masih aktif sebagai tersangka pelaku penyerangan korban. Namun publik tampaknya masih belum puas karena lagi-lagi disuguhi hasil kerja Polri dibawah ekspektasi.
Nalar publik hingga kini mengatakan bahwa penyerangan diri Novel Baswedan melalui skenario rumit yang hanya bisa dilakukan oleh tangan-tangan kuat elit penguasa. Sehingga bila kesimpulan pemeriksaan dan pengolahan bukti-bukti di lapangan diturunkan kastanya hanya sebatas dendam pribadi dari dua orang anggota biasa Polri tentu akan memperbesar tanda tanya publik.
Pergulatan antar Kubu
Semua bentuk kriminalitas sesungguhnya masuk ranah pidana. Tergantung klasifikasinya masuk pidana biasa atau pidana khusus. Belakangan ini terkait perkembangan numenklatur hukum disepakati adanya kejahatan luar biasa seperti korupsi, narkoba dan terorisme. Barangkali ke depan kejahatan siber akan digolongkan menjadi kejahatan luar biasa mengingat pengalaman dampak luas dan mendalaminya dampak sosial dan politik yang ditimbulkannya.
Penyerangan Novel Baswedan per kasus tergolong pidana biasa yakni penganiayaan. Tetapi kemudian menjadi sorotan banyak kalangan karena posisinya sebagai pegawai senior lembaga negara berpengaruh KPK yang hingga saat ini jadi tumpuan harapan publik akan pemberantasan korupsi. Kebetulan tugas pemberantasan tindakan rasuah sepanjang sejarah tak pernah serius dijalankan hingga KPK berdiri.
Prestasi mengkilat KPK dalam menindak koruptor-koruptor kakap lembaga tersebut sangat dibela dan dicintai rakyat. Jadi wajar jika kemudian jajaran pimpinan dan pegawai KPK jadi incaran kekuatan-kekuatan politik yang ada.
Berangkat dari situ kemudian banyak tenggara adanya penguasaan lembaga tersebut oleh kelompok tertentu yang direprentasi oleh Novel Baswedan. Dari komposisi pimpinan dan paguyuban pegawai KPK memang tampak didominasi kelompok tertentu yang ditakutkan bisa melakukan pentargetan pada pejabat publik pada instansi-instansi yang tidak sehaluan dengan warna politik para pimpinan dan pegawai KPK.
Berkelindan dengan rivalitas lama yang pernah terjadi antara KPK dengan Polri menguatkan aroma politis kasus persekusi atas diri Novel Baswedan.
Siraman air keras Novel Baswedan hanya satu dari beberapa puncak gunung es masih buruknya pola relasi dan mental lapisan elit pemegang oligarki kekuasaan. Revolusi mental Jokowi lebih intensif menjangkau kalangan yang selama ini menikmati posisi the untouchable club.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H