Mohon tunggu...
Eko S Nurcahyadi
Eko S Nurcahyadi Mohon Tunggu... Akuntan - Penulis, Pegiat Literasi, aktivis GP Ansor

Aktivis di Ormas, Pegiat Literasi, Pendididikan di Pesantren NU, Profesional Muda

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menanti Janji Perombakan Fundamental Nadiem Makarim

18 Desember 2019   14:52 Diperbarui: 20 Desember 2019   16:56 1102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari sekian puluh nama menteri dan wakilnya dalam pemerintahan Jokowi periode ini tak banyak yang merepresentasikan gagasan radikal serta style work Presiden.

Nah, salah satu dari beberapa gelintir nama yang diasosiasikan sangat mewakili spirit perubahan yang diimpikan Presiden adalah Nadiem Makarim. Tentu saja harapan pemerintah itu sangat beralasan jika melihat latar belakang Nadiem serta catatan suksesnya membangun raksasa bisnis online (decacorn) dalam waktu singkat sehingga menjadikan dirinya sebagai ikon milenial yang sangat fenomenal.

Pendidikan yang memerdekakan kembali menjadi tagline rencana perubahan sistem pendidikan nasional yang dicanangkan Nadiem sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan baru. Gambaran praktiknya sebagaimana dilansir beberapa media diantaranya pengurangan jumlah mata pelajaran dan penghapusan format ujian nasional (UN).

 Namun demikian Nadiem Makarim masih miskin pengalaman di dunia pendidikan dan sejauh informasi yang bisa diakses via berbagai media Mendikbud milenial tersebut belum lama serius mendalami diskursus pendidikan publik.

Sehingga serasa ada gambling di balik semangat pemerintah untuk merombak sistem pendidikan guna memperoleh pijakan kuat menyongsong perubahan super cepat era digital.

Kontras antara golongan optimis dan kelompok skeptis pun lantas merebak secara luas meski sebenarnya hingga narasi ini ditulis Mendikbud sama sekali belum unjuk kekuatan eksekutorial selain baru sebatas lontaran-lontaran wacana.

Sehingga publik pendidikan masih harap-harap cemas menanti rangkaian gebrakan yang berpengaruh pada perubahan mendasar di dunia pendidikan nasional.

Goals Oriented

Sebagaimana lazimnya menteri-menteri pendidikan sebelumnya yang baru diangkat Presiden tentu Nadiem Makarim segera membentuk tim perumus yang bakal menerjemahkan imajinasi serta ide besar transformasi sistem pendidikan nasional.

Dan sudah menjadi kebiasaan para menteri pendidikan sebelumnya yang baru terpilih proyek prioritasnya adalah utak-atik kurikulum baru. Kemudian disusul penyusunan kembali standarisasi mutu tenaga pendidikan serta rencana pemenuhan fasilitas pendidikan.

Seakan tidak keren kalau tidak merombak secara radikal apa yang sudah dijalankan menteri yang menjadi pendahulunya.

Tetapi banyak yang berharap Mendikbud lebih bijak dalam merombak kemapanan sistem dan pola yang telah berjalan di sepanjang sejarah pendidikan modern di negeri ini. Para pemangku tugas belum lepas dari kelelahannya akibat kebingungan dalam adaptasinya sehubungan penerapan kurikulum 2013 (Kutilas) yang sebenarnya sudah cukup memiliki spirit revolusioner walaupun proses dan outputnya belum sesuai harapan.

Sederhananya begini, kurikulum yang belum lama berlaku biarlah berjalan sebagai mana yang ada. Hal itu karena secara filosofi dan basis nilai-nilainya sudah sejalan dengan cita-cita kembali kepada pendidikan yang membangun jati diri manusia melalui penanaman karakter.

Alasan lainnya membuat kurikulum baru dan pemberlakuannya itu mahal tidak hanya secara finansial tetapi juga biaya rekontruksi serta ongkos psikologis semua stake holder (pemangku kepentingan).

Bahwa masih ditemukan beban administratif yang berat terutama bagi tenaga didik pada penerapan Kutilas itu yang harus dibenahi sistem dan mekanismenya.

Pendapat Yudi Latif (Kompas,17/12/2019) akan lebih murah dan berdampak luas jika saat ini Mendikbud lebih fokus pada performa (outputs) alih-alih selalu tergoda pada inputs (anggaran, kurikulum, jumlah guru-murid dan sumber daya).

Melalui reformasi struktural yang ketat dengan redistribusi peran antara pusat-daerah, pemerintah-swasta serta antar pemangku kepentingan hingga tiap satuan pendidikan (sekolah) didorong mampu melakukan kebebasan berkreasi untuk mendongkrak performanya.

Dengan regulasi yang berujung pada otonomi penuh sekolah menempatkan unit satuan pendidikan sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas keberhasilan pendidikan. Sedangkan pemerintah hanya menjalankan peran pengawasan dan memastikan akuntabilitas pada tiap satuan pendidikan.

Penerapan tata kelola birokrasi pendidikan model itu akan yang mengharuskan sekolah bersama masyarakat berupaya maksimal dalam berinovasi meningkatkan hasil dari proses pendidikan yang dilakukannya.

Karena hanya dengan cara itu sekolah akan tetap menjaga reputasinya selain memenuhi standar mutu hasil yang ditetapkan pemerintah.

Transformasi yg Diinginkan

Milenialisme yang sejauh ini teramati telah menjadi trade mark zaman sesungguhnya hanya sebatas atribut saja. Setiap zaman memiliki atribut dan stigma masing-masing yang setiap akhir periode akan berubah. Hanya nilai-nilai dasar yang mendasari terbentuknya karakter unggul manusia yang bersifat tetap.

Filsafat dasar pendidikan tak lain adalah mewujudkan manusia yang sadar akan jati diri kemanusiaannya, berbudi pekerti luhur, mampu bernalar secara kritis-rasional serta dapat dilanjutkan dengan tumbuhnya keinginan untuk mengembangkan kemampuan maksimal pribadinya. Yang dengan itu semua juga menumbuhkan keinginan membangun kehidupan sosial kemasyarakatan yang baik dan berkemajuan.

Rangkuman filosofi pendidikan tersebut mengindikasikan bahwa mata pelajaran yang generik itu hanya pada aspek universal. Sehingga penerapan pelajaran yang seragam diberikan kepada semua adalah yang menyangkut nilai-nilai dan pemahaman umum.

Jika dirinci jumlah pelajaran generik itu berkisar hanya empat atau lima mata pelajaran. Selebihnya adalah mata pelajaran pilihan individual masing-masing siswa.

Sebagai ilustrasi melalui penerapan fokus pada performa yang dilakukan sekolah dengan tingkat akuntabilitas tinggi pada semua stake holder-nya harus ditunjukkan dengan kemampuan mengakomodasi keunikan siswa-siswinya selain memantapkan internalisasi nilai-nilai luhur uneversal. Hal ini penting untuk meminimalisir lepasnya potensi spesifik karena kurangnya penanganan yang tepat oleh sekolah.

Puncaknya dalam sivitas sekolah sanggup memfasilitasi peserta didiknya untuk menjadi dirinya sendiri lengkap dengan prestasi khas individual masing-masing. Pola apresiasi atas capaian peserta didik pun harus benar-benar adil antara prestasi akademik maupun prestasi non akademik.

Perubahan fundamental sudah seharusnya menyentuh potensi paling dasar individual siswa serta ter-ejawantah dalam wujud penghargaan sepenuhnya pada masing-masing keunikan para peserta didik.***

Baca juga artikel lainnya di akun Kompasiana Eko Nurcahyadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun