"Hidup bukanlah sebuah masalah untuk diselesaikan tetapi realita untuk dihadapi." (Soren Kierkegaard).Â
Realita kehidupan itulah yang kini dihadapi dan jalani oleh Evan Dimas Darmono dan Andik Vermansah. Keduanya sudah menemukan pelabuhan barunya.Â
Musim kompetisi Liga 1 2020, dua pemain Surabaya ini bermain untuk tim Ibukota. Evan lebih dulu teken kontrak dengan Persija. Disusul Andik resmi berseragam Bhyangkara FC. Seolah klop, keduanya memilih tim yang musim ini serius mengejar gelar juara.Â
Apakah tim lain tidak? Kita kesampingkan dulu opini itu.Â
Sebab, kedua pemain sudah membuat geger suporter asal kota mereka Surabaya. Bonek-sebutan suporter Persebaya-pasti kecewa. Itu wajar. Ekspektasi suporter musim ini, kedua ikon Surabaya itu bermain untuk kota tercinta. Tapi apa yang terjadi sebaliknya. Keduanya berlabuh di tim rival. Ibarat episode senitron, cinta suporter bertepuk sebelah tangan.Â
Tak berbalas. Keduanya lebih memilih tim yang mempunyai planning jelas. Merebut tittle juara. Sad ending untuk musim 2020 bisa dibilang. Pemain kesayangan mereka bermain untuk tim lain.Â
Usia atlet menjadi penyebabnya. Lima atau 10 tahun lagi belum tentu kehebatan keduanya akan seperti saat ini. Faktor usia bagi atlet tidak bisa dilawan karena itu betsifat alamiah.Â
Lebih bijak, suporter sekarang merelakan keduanya di pelukan tim lain. Ibarat pepatah "Cinta Tak Selamanya Harus Memiliki". Sakit memang. Sakitnya tuh di sini. Era sepakbola profesional ya seperti itu.Â
Tim terkuat yang mempunyai finansial cukup serta planning juara akan mendapatkan pemain-pemain buruan mereka. Wajar. Jadi sekarang santuy saja. Coba tengok Chelsea atau Manchester City era 1990-an. Tapi setelah mereka mempunyai kekuatan finansial dan suntikan dana Triliunan rupiah keduanya merajai kompetisi.
Terkadang, uang bisa mengalahkan sisi romantisme kedaerahan. Iming-iming nama besar dan dukungan superior saat ini kurang manjut agar pemain bintang bergetar. Kembali lagi, para pemain profesional lebih memilih realita. Bukan janji-janji manis seperti senitron kesukaan ibu-ibu di jam tayang prime time.Â
Memang, Realitas juga terkadang menyakitkan dan pahit. Tapi itulah realita yang berbanding lurus dengan kemampuan dan skill pemain yang mereka miliki. Hasil latihan bertahun-tahun dengan kedisiplinan tinggi membuat mereka kini punyai nilai plus. Yaitu nilai jual. Bukan hanya bagi mereka pribadi. Melainkan klub, suporter dan sponsor.Â
Kalau boleh jujur, Andik dan Evan juga bisa dijadikan sebagai rule model. Sebagai penyemangat untuk anak-anak muda Indonesia. Atlet-atlet nasional agar bisa sukses seperti mereka.Â
Kesuksesan jelas berkorelasi dengan kebanggaan orangtua serta keluarga juga lingkungan di sekitar. Derajat orangtua lebih-lebih akan terangkat. Siapa sih yang tidak mau anaknya bergaji kisaran Rp 350-400 juta per bulan? Presiden saja kalah. Wassalam. (*)
(*) Penulis adalah Media Officer Bhayangkara FC 2017 (juara) dan Persija Jakara 2018 (juara).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H