"Hidup memang berada di ambang ketidakpastian. Kau harus berani. Kau cuma punya dua pilihan!" yakinnya dalam membuatku terpojok dan mentok.
Aku sadar untuk ujarnya yang terakhir itu ia mencoba mengujiku ataupun coba untuk membombongku dengan pesan-pesan lirih gaibnya yang agak manipulatif itu, "kau bisa, pasti bisa".
Aku agak menimbang. Dua pilihan?! Dua dari sekian puluh bahkan ratus pilihan. Hanya ia sodorkan padaku.
Aku toh mengingat pilihan lain yang pernah ia tulis melalui gawainya. Bahwa terdapat pilihan untuk memilih jalan tenang daripada jalan ramai. Bahwa menghindari konflik dan meminimalisir anasir dekontruktif urban dan memilih sunyi di desa itu juga pilihan hidup. Pilihan untuk hidup yang barangkali terkesan ajeg, monoton, dan tidak berkembang.
Aku pun memahami besar perhatiannya padaku untuk mendorongku maju dan aku sangat berterimakasih untuk itu. Dua pilihan yang ingin itu kutampung saja dan memang sudah sejak lama aku tulis dalam road map hidup yang ingin juga aku kongkritkan. Hanya memang dua pilihan itu belum menjadi prioritas saat ini.
Hasil perhitunganku dan kegundahanku kucurahkan semua kepadanya. Ia tertawa. Barangkali sedikit mengejek. "Kamu salah dalam berpikir. Janganlah berpikir naif begitu."
Aku tidak membantah. Aku memang telah berpikir naif, bahkan tingkat kesadaranku kini berada pada titik magis. Suatu titik yang mengingatkanku terhadap seorang ulama ahli tafsir yang masyhur. Ulama itu berkata, "boleh jadi keterlambatanmu adalah jalan keselamatanmu."
Aku utarakan juga itu kepadanya, "Tapi bagaimanapun guru, posisiku memang semacam terdesak dalam zona nyaman. Tapi dari keterdesakan dan ketidakpastian dalam posisi ini alkhamdulillah satu persatu doa dari sekian rencana itu dikabulkan juga."
Mendengar tanggapanku tersebut ia mengendurkan memojokkanku meski tak menghentikan manipulatifnya. Ia mengenang juga posisinya ketika beberapa tahun silam yang tidak jauh dari titikku. Ia juga mengembangkan obrolan ke rencana-rencana hidupnya -- tentang ambisi khas kaum urban, tentang bagaimana mencoba menanamkan memori yang baik untuk buah hatinya, tentang bagimana mempersiapkan soft landing ketika pulang ke kampung halamannya.
"Lagi-lagi hidup memang mengantri kematian, ko. Kalau aku memilih begini sebelum umur 40 tahun."
Hidup memang mengantri mati. Ia benar. Ia lempar semua tanggapan, pertanyaan itu padaku. Tak semua benar dan tak semua salah dari guliran obrolan pertemuan ini. Beberapa bisa menjadi salah dan benar menurut waktu dan keadaan, bisa menjadi tepat atau sebaliknya.