Mohon tunggu...
Eko Nurwahyudin
Eko Nurwahyudin Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar hidup

Lahir di Negeri Cincin Api. Seorang kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Rayon Ashram Bangsa dan Alumni Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Motto : Terus Mlaku Tansah Lelaku.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Keterdesakan, Ketercukupan dan Ketangguhan

14 Desember 2023   18:24 Diperbarui: 14 Desember 2023   19:10 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keterdesakan, Ketercukupan, Ketangguhan


Jumpa itu tiba. Ia melambai ketika aku sampai. Dua tahun kiranya, kami berpisah dibelah sejarah. Ia gerilya di Subang dan Jakarta, sedangkan aku mandeg di Yogyakarta.

Seusainya aku beranjak dari kasir, obrolan dengannya begitu saja bergulir. Kami saling memperjelas kabar yang kabur. Topik percintaan lagi-lagi jadi bahan utama perbincangan. Percintaan duniawi yang makin ranum mewangi.

Menyimak ceritanya tentang cinta, agaknya memang aku terhenyak. Dua tahun berselang cara pandang tentang cinta picisan lekang. Cara pandang percintaan yang hambar dua sampai lima tahun silam semacam perasaan suka sama suka antar anak turun adam-hawa kini makin lain segar. Ia memang sudah sampai pada titik menjadi nahkoda yang kemudikan bahtera. Diombang-ambing gelombang sudah jadi sarapan. Aku simak semuanya ceritanya sambil membatin bungah sewajarnya teman sekaligus murid. Seraya mengaminkan inginnya tuk kemudikan bahteranya ke negeri yang juga membawa Annelies Mellema yang ceria dibungkam adagium hukum ignorantia excusatur non juris sed facti. Annelis manis yang kita sayangkan jadi pesakitan dan mati.

Tapi aku tak menyayangkan juga tak mensangsikan ingin sang guru yang memperkenalkanku dengan Bumi Manusia itu. Begitupun yang ia harapkan kepadaku. Barangkali ia dan aku sama-sama tahu bahwa besar kemungkinan kita akan senantiasa selamat di negeri seberang itu! Entahlah. Kiranya bukan lantaran logika mistika yang notabene memberi ketenangan dan nafas panjang harapan bahwa Tuhan selalu tidak tegaan kepada para pencari berkah keilmuan, melainkan tentang ia dan aku sama-sama dan kerap melahap asam garam keterdesakan.

Warkop legenda riuh saja. Aku masih tetap menggondol arah obrolnya. Ia jadi mengingatkanku pada rumus hidup kependekaran. Bahwa semakin sangar pendeker semakin ia sering melatih dan meletihkan dirinya dalam ruang gelanggang yang sempit. Aku juga teringat sebuah film tentang tradisi sitobo lalang lipa. Semakin terdesak, semakin ia mengoptimalkan seluruh daya dan akalnya sebagaimana survivalitas purba untuk selamat. Untuk hidup.

Ingatanku dilempar pula ke belakang. Agaknya aku sering juga mengalami keterdesakan yang lebih berat dari situasiku sekarang. Keterdesakan yang memantik kenekatan, keutuhan iman yang bulat-padat serta daya tempur yang 10 x atau bahkan 100 x lebih besar dari mereka yang berada di zona nyaman.

"Beriring dengan keterdesakan ialah ketercukupan" ujar guru itu.

Aku akui untuk petuahnya yang satu itu, aku tak cukup cakap memahaminya. Apakah kira maksudnya bahwa keterdesakan memang kerap kali memunculkan satu keajaiban rezeki yang bocor ketidaktegaan Allah Yang Maha Lembut dan Penyayang itu? Atau keterdesakan memang memukul ambisi manusia hingga titik berdamai dengan situasi dan mensyukuri keadaan hari ini? Atau arti lain ketercukupan yang dimaksud pendidik satu itu ialah sikap prihatin? Mencukup-cukupkan yang mana dalam hitungan matematis minus-nus dari kenormalan?

"Mumpung masih ada waktu dan belum menjajaki umur 40. Tingkatkan kemampuanmu itu," tambahnya.

"Tapi memang kurasa gerakku cukup lamban di usiaku sekarang. Barangkali bukan karena zona nyaman melainkan memang ada sekian beban dan perhitungan yang belum masuk hitungan aman. Hingga pada akhirnya ada semacam ketakutan akan masa depan yang sulit digerayang"

"Hidup memang berada di ambang ketidakpastian. Kau harus berani. Kau cuma punya dua pilihan!" yakinnya dalam membuatku terpojok dan mentok.

Aku sadar untuk ujarnya yang terakhir itu ia mencoba mengujiku ataupun coba untuk membombongku dengan pesan-pesan lirih gaibnya yang agak manipulatif itu, "kau bisa, pasti bisa".

Aku agak menimbang. Dua pilihan?! Dua dari sekian puluh bahkan ratus pilihan. Hanya ia sodorkan padaku.

Aku toh mengingat pilihan lain yang pernah ia tulis melalui gawainya. Bahwa terdapat pilihan untuk memilih jalan tenang daripada jalan ramai. Bahwa menghindari konflik dan meminimalisir anasir dekontruktif urban dan memilih sunyi di desa itu juga pilihan hidup. Pilihan untuk hidup yang barangkali terkesan ajeg, monoton, dan tidak berkembang.

Aku pun memahami besar perhatiannya padaku untuk mendorongku maju dan aku sangat berterimakasih untuk itu. Dua pilihan yang ingin itu kutampung saja dan memang sudah sejak lama aku tulis dalam road map hidup yang ingin juga aku kongkritkan. Hanya memang dua pilihan itu belum menjadi prioritas saat ini.

Hasil perhitunganku dan kegundahanku kucurahkan semua kepadanya. Ia tertawa. Barangkali sedikit mengejek. "Kamu salah dalam berpikir. Janganlah berpikir naif begitu."

Aku tidak membantah. Aku memang telah berpikir naif, bahkan tingkat kesadaranku kini berada pada titik magis. Suatu titik yang mengingatkanku terhadap seorang ulama ahli tafsir yang masyhur. Ulama itu berkata, "boleh jadi keterlambatanmu adalah jalan keselamatanmu."

Aku utarakan juga itu kepadanya, "Tapi bagaimanapun guru, posisiku memang semacam terdesak dalam zona nyaman. Tapi dari keterdesakan dan ketidakpastian dalam posisi ini alkhamdulillah satu persatu doa dari sekian rencana itu dikabulkan juga."

Mendengar tanggapanku tersebut ia mengendurkan memojokkanku meski tak menghentikan manipulatifnya. Ia mengenang juga posisinya ketika beberapa tahun silam yang tidak jauh dari titikku. Ia juga mengembangkan obrolan ke rencana-rencana hidupnya -- tentang ambisi khas kaum urban, tentang bagaimana mencoba menanamkan memori yang baik untuk buah hatinya, tentang bagimana mempersiapkan soft landing ketika pulang ke kampung halamannya.

"Lagi-lagi hidup memang mengantri kematian, ko. Kalau aku memilih begini sebelum umur 40 tahun."

Hidup memang mengantri mati. Ia benar. Ia lempar semua tanggapan, pertanyaan itu padaku. Tak semua benar dan tak semua salah dari guliran obrolan pertemuan ini. Beberapa bisa menjadi salah dan benar menurut waktu dan keadaan, bisa menjadi tepat atau sebaliknya.

Waktu temu itu tandas juga layaknya minuman di dalam gelas, Aku undur diri, dan ia mengerti. Sepanjang perjalanan pulang hingga tulisan ini jadi, kupikir ia juga mengerti kecamuk yang aku amini bahwa ketangguhan menghadapi keterdesakan, bisa jadi juga tolak ukur kesuksesan sekaligus batu uji jalan keselamatan.

Yogyakarta, Blandongan 13-14 Desember 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun