Mohon tunggu...
Eko Nurwahyudin
Eko Nurwahyudin Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar hidup

Lahir di Negeri Cincin Api. Seorang kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Rayon Ashram Bangsa dan Alumni Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Motto : Terus Mlaku Tansah Lelaku.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Wakil Nyunggi Wakul dan Ketuk Titir Doro Muluk dalam HUT-20 MKRI Kami

23 Juli 2023   19:33 Diperbarui: 23 Juli 2023   19:55 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Desain Pribadi

Neo-otoritarian bukan hanya menekankan HAM yang harus ramah terhadap pasar, melainkan juga dilakukannya serangkaian serangan yang terencana oleh penguasa terhadap institusi-institusi yang tugasnya mengawasi kekuasaan. Setelah semua batasan konstitusional dilonggarkan, penguasa akan dengan mudah menggunakan instrumen hukum sehingga tindakannya seakan-akan benar, padahal sebenarnya sudah melanggar prinsip negara hukum, bahkan ke arah otoritarianisme (Scheppele, 2018). 

Model menggunakan perangkat hukum untuk melegitimasi tindakan-tindakan yang tidak demokratis inilah yang dalam kajian politik dan hukum tata negara disebut autocratic legalism (Corales, 2015; Scheppele, 2018).

Dua agenda itulah yang digetolkan oligarki terkonsolidir pasca reformasi. Tak terkecuali mengusik MK belakangan ini dengan serangkaian yang dikhawatirkan publik berupa aswantonisasi, dan revisi UU MK yang menurut beberapa catatan publik tidak memiliki tingkat urgensitas dan berpotensi menganggu independensi sebagai penjaga konstitusi.

Antara Putusan Gembelengan dan Putusan Berkeadilan

Publik masih belum lupa atas ugal-ugalannya pembentukan hingga pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja. MK tentu tidak lupa juga atas Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang memutus UU Cipta Kerja tersebut inkonstitusional bersyarat. Sebagaimana isi amar Putusan MK atas UU Cipta Kerja angka 3 yang menyebutkan:

Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan".

Dalam memutus berbagai permohonan uji materi undang-undang terhadap undang-undang dasar, MK tentu memiliki kewenangan dan independensinya untuk memodifikasi amar. Pada putusan atas permohonan uji materi UU Cipta Kerja ini, MK memiliki pertimbangan bahwa tiga ketentuan amar (Dikabulkan, Ditolak, atau Tidak Dapat Diterima) tidak cukup mengakomodir keadilan bagi para pemohon. Analisis lain dari Dr. Fajar Laksono Suroso menyoroti putusan MK yang menyatakan inkonstitusional tersebut berdampak besar terhadap pada pola relasi pembentuk UU dengan MK. Di sejumlah negara, putusan MK yang membatalkan UU kerap memicu 'ketegangan' atau konflik kedua lembaga.

Namun, bukanya memenuhi putusan MK untuk memperbaiki UU Cipta Kerja dengan proses partisipsi penuh, pemerintah justru dinilai tidak menghormati putusan tersebut dengan menerbitkan Perppu 2/2023 tanpa urgensi kedaruratan dan tak lama DPR menetapkan Perppu tersebut sebagai UU 6/2023 tentang Cipta Kerja.

Sehingga niat baik MK untuk mendorong pembentuk UU mengurangi problem konstitusionalitas dalam proses legislasi nampaknya tak dianggap berarti. Meskipun modifikasi amar tersebut merupakan langkah kreatif MK, namun mengamati dampaknya yang tidak terlalu berarti dengan diakalinya putusan tersebut melalui serangkaian orkestarasi inilah yang turut menyulut peningkatan distrust publik terhadap MK.

Setidaknya dengan kenyataan semacam itu, telah menjadi catatan agar MK dalam memodifikasi amar seyogyanya tak hanya mempertimbangkan potensi konflik antar lembaga tetapi juga mencari pertimbangan lain yang justru menambah dukungan publik guna membantu MK mengawal konstitusi dari regresi demokrasi dan gejala autocratik legalism.

Pertimbangan lain yang pantas dilakukan MK dalam menjatuhkan amar misalnya dengan perspektif gender impact assessment. Dengan mempertimbangkan gender impact assessment, kita dapat menganalisis seberapa jauh undang-undang, kebijakan, atau program bahkan juga putusan lembaga peradilan seperti MK berdampak positif atau negatif terhadap kesetaraan gender. 

Misalnya dalam klaster ketenagakerjaan Omnibus Law Cipta Kerja yang diputus MK, Perppu Cipta Kerja yang tidak memiliki urgensi kedaruratan hingga yang terbaru disahkannya UU 6/2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, kita dapat mengamati sejauh mana inklusifitasnya terhadap gender?!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun