Wakil Nyunggi Wakul dan Ketuk Titir Doro Muluk dalam HUT-20 MKRI Kami
Rabu Legi, Mongso Karo, Wuku Tambir, lembaga penjaga konstitusi itu lahir. Tercatat sebagai lembaga yudikatif di dunia yang pertama dilahirkan pada abad-21, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang merupakan anak kandung reformasi, mengemban titah guna mengisi keadilan - menguji undang-undang yang serampangan terhadap undang-undang dasar yang pada orde sebelumnya ide Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) tuk menambah kewenangan pada Mahkamah Agung Indonesia tersebut selalu terbentur dan gugur oleh suasana dan paradigma kehidupan ketatanegaraan dan segala rupa bentuk penajisan kehidupan politik.
Kabar sudah tersiar. Undangan slametan menyebar dari mulut ke mulut maupun dari tulisan ke tulisan. 13 Agustus 2023 nanti, Mahkamah Konstitusi RI genap berusia dua puluh tahun mengawal konstitusi.
Kabar lain yang terdengar, nampaknya benar. MK sebelum merayakan harlahnya berpuasa tuk menjaga marwahnya atas menguat distrust publik terhadapnya belakangan seperti penurunan kinerja etik dan mengeluarkan putusan dikabulkannya uji materi perkara masa jabatan pimpinan KPK. MK nampak berpuasa, melalui amar Putusan Nomor 114/PUU-XX/2022, MK merawat dirinya dari salah satu gejala autocratic legalism, the undermined judicial independence atau independensi peradilan yang dirusak (Corrales, 2015), dan MK meruwat alam demokrasi yang semakin terregresi. Melalui amar Putusan Nomor 114/PUU-XX/2022 tersebut, MK menolak untuk seluruh permohonan lima pemohon atas uji materi sistem proporsial terbuka.
Autocratik Legalism Pada Tahun Becik Diusik
Pada tahun becik ketitik ala ketara, rakyat dengan cekat dan tanggap akan menuju gardu apabila titir raja pati atau titir 2.2.2 pencurian menghingar dari kentongan. Tidak perlu check dan recheck karena pada masa orde tersebut masyarakat sama-sama tahu bahwa penguasa berkuasa dengan bedil dan tank.
Berbeda dengan situasi orde baru yang otoriter dan melegalkan kekerasan, pelanggaran HAM demi pembangunan, pada situasi pasca reformasi, orde paling baru membentuk satu pamali yang tak boleh dilanggar dalam sistem politik kita. Pamali itu berbunyi jangan menggunakan kekerasan dalam kehidupan politik kita. Karena sekalinya watak kekerasan itu ditancapkan dalam kebijakan politik kita, disusupkan dalam pasal berbagai produk legislasi dan amar putusan pengadilan maka upaya pemberadaban reformasi kita gugur dan arena politik, pun lapangan hukum menjadi semata-mata rumah jagal hewan.
Di orde paling baru pasca reformasi dimana otoritarian nampak tumbang, membunyikan kentongan dengan titir 00000000000 "gobyok" sebagai early warning regresi demokrasi tentu bisa dapat damprat. Lantas benarkah kekerasan atas nama pembangunanisme khas rezim otoritarian sirna-na dan tidak mungkin dihidupkan lagi di alam reformasi?
Berdasarkan kajian para cendekia, lantaran pelegalan kekerasan secara fisik demi pembangunanisme di era baru ini ditentang habis-habisan, pembangunanisme mencari model baru menggunakan kekerasan dalam agenda pembangunannya. Orde paling baru secara tidak langsung melatenkan kekerasan dalam berbagai kebijakan politik dan putusan hukum. Tak hanya di negeri cincin api, di negeri lain pun muncul tren operasi wajah otoritarian menjadi neo-otoritarian seperti di Cina, Korea Selatan, Taiwan dan Singapura.Â
Goh sebagaimana dikutip Herlambang menjelaskan bahwa, neo-otoritarianisme secara ringkas menggambarkan suatu sistem yang memiliki karakteristik-karakteristik seperti: (i) ekonomi adalah kapitalis yang deliberasi atau meliberalisasikan; (ii) negara memiliki kepemilikan luas atas alat-alat produksi dan terus berpartisipasi dalam ekonomi kapitalis melalui perusahaan-perusahaan yang berorientasi laba yang terdesentralisasi;
(iii) institusi masyarakat sipil dan ranah publik diatur secara ketat atau dikontrol oleh negara, yaitu otoritarianisme; (iv) elit penguasa mempertahankan jaringan ahli teknokratis, pengusaha publik, dan kapitalis lokal; dan (v) elit penguasa mempertahankan hegemoni dengan memobilisasi persetujuan ideologi yang memiliki perbedaan peradaban dan pembedaan yang berakar pada identitas kelompoknya (Goh 20002:47).
Tren neo-otoritarianisme di negara lain tersebut juga menjadi sorotan akademisi negeri cincin api. Dalam konteks Indonesia, neo-otoritarian tercermin dari HAM yang hanya dilihat berdasar kepentingannya untuk ada dan tak bertentangan dengan kepentingan-kepentingan ramah investasi. Dalam hal penyusunan RUU Omnibus Law yan dikritik publik misalnya sebagaimana dikatakan Herlambang potret HAM berparadigma pasar (market friendly human rights paradigm)Â sungguh kentara. HAM bukan ditiadakan, melainkan dibatasi, diseleksi, dan atau dibonsai sejauh tak menabrak prioritas ekonomi.