Beberapa orang yang tidak tahan tersinggung menarik diri pergi. Beberapa lainnya masih setia. Ada yang setia menunggu kapan baku hantamnya, ada yang setia menunggu pemahaman dari Bagong, ada yang menunggu maghrib dan melirik-lirik sambil membatin, "kolak kapan jadinya tuh!"
      "Lha kolak-kolak yang diperlombakan ini mau saya apakan ya terserah saya, Mau saya kasihkan ke saudara lain agama kek, mau kasihkan ke sapi saya kek. Kasihan juga sapi saya sejak pedhet sampai tiga kali beranak enggak pernah makan enak. Sapi saya puasa, makannya kawul, paling enak ya rumput atau kulit semangka takjil yang kamu makan Truk. Gitu aja repot!"
      "Kan bisa lomba yang lain kek!" sanggah salah seorang yang masih belum terima.
      "Apa? Lomba adzan? Azan kok lomba! Apanya yang dinilai? Kalau suaranya, merdu enggaknya ya apa bedanya sama lomba nyanyi dangdut? Lomba ceramah? Ceramah kok lomba sih? Kalau ngaji ya ngaji saja. Kamu juga tahu kan Truk kalau Mbah Modin mau panas, mau hujan geledek pun kalau enggak meriang atau sakit gigi ya berangkat adzan kalau waktunya adzan. Meskipun cengkoknya ya begitu-itu suaranya juga enggak merdu-merdua amat. Tapi siapa pernah memberi hormat kepada Mbah Modin? Bapak-bapak kyai kluthuk tiap hari bertahun-tahun juga ngajar ngaji enggak pernah itu disorot TV? Wah ya maaf kalau saya salah tapi saya bingung jujur Truk, sejak kapan kita jadi religius musiman begini?"
      Banyak dari mereka membuyarkan diri. Beberapa menggumam smbil melangkah pergi. Hanya sedikit yang masih nunggu Bagong selesai ngomong.
      "Dan lagi... Aduh. Duh.. duh.. duh.."
      "Kenapa Gong?" tanya Lek Min Kuncen.
      "Kamu ada batu Truk? Oh iya kamu kan kantong bolong. Lek Min punya?"
      Lek Min Kuncen menggeleng. Seorang anak berlari dan kembali membawa batu kali yang lumayan besar. Di berinya batu itu untuk Bagong.
      "Kebesaran, saya cuma butuh kerikil biar enggak jadi setor tunai. WC jauh juga dan nanggung lomba buat kolaknya belum rampung." Dibuangnya batu itu ke parit. Nyemplung blung. Tenggelam.
      Orang gila yang tadi mengikuti Petruk mendatangi mereka. Anak-anak tunggang langgang, beberapa orang tua dan peserta lomba juga lari ketika melihatnya mengayun-ayunkan kentongan ke udara. Sementara itu bagong dan Petruk masih diam di tempat.