"Meneng!" timpal Bagong yang langsung membuat orang itu terdiam. Suasana jenak menjadi sunyi. Orang yang memiliki kebeningan jiwa tentu mengerti bahwa sekalipun Pak Camat bahka Pak Bupati belum tentu bisa berbicara begitu berkharismanya sehingga siapapun yang mendengar akan menurut.
      "Lha kamu ini cari masalah saja Gong! Pakai acara bikin lomba masak siang bolong begini?
      "Meneng!" ujar Bagong sambil melotot. Petruk yang sudah lima ratus tahun jadi ponokawan tentu tahu karakter Bagong. Kalau sudah begini kadang Bagong cuma macak galak -- biasanya karena mau marah sama istri tidak baik maka cek-cok yang tidak kesampaian di rumah tangga dipendam untuk orang lain di kemudian hari.
      "Aduh." Kata Bagong sambil cengar-cengir mengusap-usap kepalanya yang Petruk jitak. "Lha duit ya duitku Truk yang buat hadiah lomba, kok enggak dibolehin ini gimana?"
      "Tapi kamu sudah..." para pendemo itu kembali buka suara.
      "Sebentar..." timpal Petruk. "Gimana Gong?"
      "Lha aku mau ngadain lomba masak subuh-subuh kek, siang bolong kek, sore-sore sambil ngabuburit kek, tengah malem kek ya asal ada pesertanya ya biarin saja! Duit juga dari aku, pesertanya juga enggak ada yang protes? Kita ini cuma bikin makanan khas Ramadan "LOMBA KOLAK TERENAK" masa dituduh bikin rusuh. Dituduh subversif? Dengkulmu mlocot!"
      "Tapi mbok juga tahu waktu Gong!"
      "Ya tahu. Waktunya mulai ya mulai, waktunya selesai ya selesai. Waktunya masak ya masak, waktunya makan ya makan."
      "Ini lagi puasa Gong!"
      "Lha ya biarin. Apa hubungannya? Kamu ini juga sudah jadi anak Semar berapa lama? Seharusnya mereka yang puasa yang harus belajar menghormati. Belajar untuk tidak gila hormat! Ya, karena hormat gratis-tis, ya saya hormati Truk sambil nyanyi lagu kebangsaan. Gitu juga masih disalahkan?"