Skill Mencari Semar, Sampai Metode Menulis Yang Ampuh
Bukan Banaspati yang hilang pada Ramadan tahun ini, justru Ki Lurah Semar yang hilang. Pak Jogoboyo yang bertanggung jawab dalam keamanan dan ketertiban desa sekarang judeg. Tanpa kehadiran Semar, Karang Kadempel jadi panas, meskipun BMKG selalu mengabarkan potensi hujan lebat dalam beberapa minggu ke depan.
"Sejak Bapakmu hilang, hansip-hansip protes ke desa. Waktunya mereka tidur sekarang malah menthelengi grup-grup sosmed warga. Saya juga tak habis pikir, padahal ide saya bentuk Siber Hansip (Virtual Hansip) bukan seperti yang dituduhkan para pembaca novel 1984-nya George Orwell. Saya cuma ingin warga jangan saling hina menghina, hasut meghasut, teror meneror, maki memaki. Lha ya betul kan Truk, kita ini sudah panas mikirin Banaspati ini, malah di medsos-medsos neka-neko bikin gegeran!" ujar Pak Joyoboyo.
      "Alah situ saja yang enggak mau nambah pekerjaan turun ke pos-pos ronda, ke forum-forum pengajian, njadum ke warung-warung, silaturahim ke rumah-rumah. Huh! Kerjanya cuma terima laporan anak buahnya dan beres" timpal Petruk membatin.
      "Lha saya dipanggil ke Balai Desa ini ada apakah Pak?"
      "Kamu sekarang cari Semar! Sampai ketemu ya"
      "Kalau enggak ketemu bagaimana Pak?"
      "Ya gimana kek?! Masa iya kita disangka tidak becus ngajarin sopan santun netizen Karang Kadempel sampai-sampai Microsoft woro-woro tentang Digital Civility Index (DCI), kalau indeks kesopanan pengguna internet Karang Kadempel dinilai rendah di tingkat global."
      "Lha memang hubungannya sama Bapak Semar apa Pak?"
      "Ya maaf-maaf Truk, sedikit banyak karena Bapakmu yang ajar mereka baca tulis. Sudah ya, saya mau ada rapat. Tolong cari ya? Target Ramadan Semar harus ketemu!"
Sepanjang perjalanan mencari Semar, Petruk berpapasan satu dua tiga hansip dan polisi. Mereka bertanya dengan basa-basi, "kemana Truk?" tanpa sudi ikut membantu Petruk mencari Semar. Malah, salah satu pamong desa yang niat melucu membuat hati Petruk sakit. "Bapakmu sudah jadi tajir Truk. Toko Emasnya banyak! Toko Emas Semar. Tunggu saja 2024 nanti juga balik dan ikut Pilkades".
Memang beberapa tokoh desa di Karang Kadempel tidak senang hati dengan Semar. Dari mbah-mbah zaman Orde Lama dan Orde Baru, bapak-bapak zaman reformasi, sampai anak-anak zaman now kenal Semar. Mereka dan bahkan warga yang "difabel" menganggap atau paling tidak memanggil Semar "Ki Lurah". Tingkat elektabilitas Semar yang lebih tinggi daripada tingkat popularitas Lurah yang sebenarnya membuat beberapa orang tidak suka.
Dari gardu ke gardu, dari warung ke warung, Petruk urung menjumpai batang hidung Semar. Beberapa penduduk yang ia tanyai keberadaan Semar hanya mengangkat bahu dan menggeleng. Mereka juga tak merasa Semar pergi dan musti dicari. Mereka tak merasa kehilangan.
Bahkan beberapa penulis Karang kadempel ternama yang dulunya belum bisa apa-apa, boro-boro nulis, baca saja tidak bisa lagi-lagi membuat Petruk diam-diam mengepalkan tinjunya. Sambil cekikikan penulis itu menjawab, "Coba ke Pasar Besar Truk. Kemarin saya menjumpai Semar di lapak penjual akik, eh lebih tepatnya yang berpakaian Dukun sih. Emang gendeng pelapak itu. Semar dijual Truk! Semar Mesem!"
Tentu saja Petruk ingat perjalanan hidupnya dari pribadi bernama Bambang Pecruk Penyukilan yang sakti menjadi pribadi yang mukti bernama Petruk. Kalau ia sampai menjotos orang itu tentu saja Bapak Semar bakal sedih. Dirinya akan gagal meneladani kemulyaan Semar.
Walhasil, Petruk hanya ketawa tanpa hatinya serta dan meneruskan perjalanannya sambil mencari Semar sambil mengenang perjalanan penulis itu sampai begitu terkenal. Sambil tolah-toleh Petruk membandingkan perjalanan penulis tadi dengan perjalanan hidupnya. "Tanpa di-emong Semar barangkali ia dan aku hanya begitu-begitu saja" pikir Petruk.
Ia ingat perjumpaan Semar dengan penulis itu. Mula-mula penulis itu cum jadi pendengar. Suatu kali Semar mengajaknya jalan-jalan. Hanya jalan-jalan -- toleh kiri, toleh kanan. Setelah usai Semar bertanya, "bagaimana?" dan pemuda yang belum jadi penulis itu diam seribu jurus.
"Kamu bingung?" pemuda itu mengangguk.
"Kenapa kamu bingung?"
"Saya cuma jalan tolah-toleh. Ngalor, ngidul, ngetan, ngulon. Tidak jelas. Pak Lurah Semar juga diam saja?"
Semar dan Petruk hanya tertawa.
Rasa penasaran itulah yang membuat pemuda itu keesokannya dan seterusnya menemui Semar guna melakukan hal yang banyak orang anggap sia-sia menghabiskan waktu -- melakukan lelana. Lambat hari, meskipun Semar tak memberitahunya, ia paham bahwa Semar mengajaknya untuk mendengarkan lalu lintas percakapan dunia dan kemacetan batiniahnya.
Sepasar atau 35 hari ia telah melakukan lelana. Pada sepuluh hari terakhir Wuku Watugunung ia tahu bahwa Semar mengajarinya membaca kahanan, arah, dan menulis. Ia menyadari bahwa Semar telah mbangun khayangan.
Tentu saja namanya saja mbangun khayangan, ia membutuhkan bahan seperti Pusaka Jamus Kalimosodo, Payung Tunggalnaga dan Tombak Karawelang. Ia tahu bahwa bahan itu bukan benda yang berbentuk fisik tapi simbol yang memiliki makna. Pusaka Jamus Kalimosodo berarti bahwa menulis atau hal lainnya ia pancerkan pada syahadat.Â
Sehingga menulis baginya bukan sekadar untuk gaya-gayaan dan sesumbar, bukan untuk memaki dan menjatuhkan seseorang, apalagi hoax. Pokoknya, amar ma'ruf nahi munkar. Payung Tunggalnaga berarti bahwa menulis merupakan kerja untuk melindungi diri maupun siapapun. Seperti halnya paying yang digunakan untuk melindungi dari hujan dan terik matahari. Tombak Karawelang berarti bahwa menulis maupun proses belajar lainnya harus dilakukan dengan disiplin, terus menerus dan tetap berprinsip lurus, jangan gunakan menulis sebagai kemampuan untuk bengkok dari sangkan dan paran dumadi.
Terakhr Semar juga mengajarinya untuk berpuasa. Meskipun menulis sebaiknya dilakukan secara disiplin dan terus menerus, seyogyanya engkau juga tau batas-batas. Kapan harus menulis, kapan harus berhenti sejenak. Dan berhenti sejenak jangan diartikan untuk malas-malasan melainkan untuk melakukan aktifitas lain yang menunjang menulis, seperti membaca, riset dan mengheningkan cipta.
Ia pun tak mempunyai target yang jelas dan muluk-muluk untuk menjadi penulis yang tersohor. Sebab ia mengerti bahwa Semar telah dan terus mengajarinya prinsip terus mlaku lan tansah lelaku, yang penting rajin dan sebagai upaya menghargai waktu -- menghargai Pencipta Waktu.
Itulah kesaksian Petruk yang terlintas di kepalanya terhadap perjalanan penulis yang hampir mirip dengan perjalanannya. Kini, berbagai pertanyaan silih melintasi pikirannya. Ia sadar, kenapa aku harus bisa menemukan Semar Ramadan ini? Apa ia perlu dicari? Apa ia dirindukan? Apa ia benar-benar hilang?
Setibanya Petruk di perbatasan Karang Kadempel, ia terhenti. Dilihatnya, seorang gila tengah ngumpet di semak-semak sambil memegang kuat-kuat kentongan tanpa ia tahu skill memukul kentongan dan menanggapi titir.
Eko Nurwahyudin, alumni Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Catatan :
1. Neka-neko artinya cari perkara
2. Njadum artinya nimbrung mengobrol
3. Woro-woro artinya mengumumkan atau menginformasikan
4. Ngalor artinya utara
5. Ngidul artinya selatan
6. Ngetan artinya timur
7. Ngulon artinya barat
8. Pancer artinya pusat
9. Lelana artinya tirakat yang dilakukan orang Jawa untuk mengheningkan cipta dengan berjalan pada waktu tertentu
10. Terus mlaku tansah lelaku artinya terus berjalan dan menikmati gerak perjalanan atau menikmati pengelanaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H