Mohon tunggu...
Eko Nurwahyudin
Eko Nurwahyudin Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar hidup

Lahir di Negeri Cincin Api. Seorang kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Rayon Ashram Bangsa dan Alumni Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Motto : Terus Mlaku Tansah Lelaku.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tamu dari Bawah Tanah

21 Juli 2020   12:29 Diperbarui: 21 Juli 2020   12:36 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam itu hujan lebat. Entah apa yang telah membuatku tersadar, aku mendapati ruangan yang tampak lebih luas, mungkin karena gelap gulita sebab pemadaman bergilir. Dalam kondisi sepertiga sadar, tanganku menggerayang mencari senter dan mencari buku fotokopi bersampul merah hati yang seingatku belum sempat aku tandai.

Tak berapa lama, kekasihku Rafika muncul membawa lampu teplok. Ia duduk di sampingku dengan posisi tidak tenang, lantas mulai membisik dekat sekali, sehingga aku dapat mendengar nafasnya dengan jelas daripada suara guntur maupun desau di luar. Bukan lantaran gelegar guntur maupun desau dedaunan lebih lemah daripada bisikannya, tetapi kekhawatirannya yang jarang ia perlihatkan (terlihat dari kedua tangannya yang ia bentuk layaknya tirai saat membisik) itu menguras perhatianku.

            "Sttttt!" pintanya cepat sebelum sempat aku bicara. "Kau dengar sayang, suara jendela kita sedang diketuk-ketuk barusan?" aku menggeleng. Ketika aku tersadar, suara ketuk pada jendela mungkin telah berhenti atau itu cuma alasannya agar aku berhenti membaca dan menemaninya.

Aku menyelidik ritme nafasnya. Adakah ketakutan ia sembunyikan? Ya, menjelang tahun politik desas-desus yang kudengar mengatakan bahwa ada beberapa kelompok yang hobinya menakut-nakuti seluruh kampung dengan "kebangkitan hantu-hantu masa lalu" -- hantu Bhut yang berasal dari manusia menurut kepercayaan Tiyang Pasek.

"Nah! Nah! Dengar itu! jendela kita diketuk-ketuk lagi sayang?!" ujar Rafika.

            "Itu pasti Ibu!" timpalku. "Kenapa kau tak membukakan pintu?" tanyaku heran. Sebelumnya, Ibu memang berkirim kabar hendak mengunjungi kami.

            "Bukan sayang. Bukan! Itu bukan Ibu!" sangkalnya.

            Kekhawatirannya yang tak biasa itu akhirnya menggoyang akal sehatku. Aku mulai membatin, siapa juga orang yang bertamu sangat larut begini? Apalagi sedang hujan lebat ditambah angin dan gulita pula? Kanapa orang itu tidak mengetuk pintu justru mengetuk jendela? Kenapa ia tidak berusaha memanggil-manggil? Digelayuti pertanyaan-pertanyaan yang terasa janggal ini, tiba-tiba mengingatkanku pada cerita kakek (sebenarnya cerita yang diriwayatkan kakek ini ia dengar dari Mbah Buyutnya) tentang Markayangan -- lelembut dari orang-orang yang hidupnya jahat, dan ketika orang jahat itu meninggal tidak dapat berpindah ke kelangitan sehingga jiwanya terpaksa berkeliaran di bumi. Dengan mantra-mantra tertentu manusia dapat memanfaatkannya untuk membalaskan dendam kepada musuhnya! Melemparkan batu pada rumah musuhnya, dan mengetuk-ngetuk pintu dan jendela rumah musuhnya!

            Aku bergidik. Kucoba memulihkan akal sehatku. Tidak. Tidak. Lelembut cuma warisan jaman penjajahan dan kerajaan! Kurasakan degup jantungku masih belum teratur. Tidak ada lelembut! Ah, pasti itu maling!" pikirku.

            Rafika sekonyong-konyong menarik tanganku.

            "Sebentar!" kataku. "Jangan dibuka! Itu pasti petrus!" perintahku yang membuat Rafika terdiam sejenak. Aku sendiri terdiam kebingungan, tidak mengerti apa yang aku katakan. Seolah-olah barusan bukan aku yang bicara!

            Aku ajak Rafika duduk kembali. Masih dilihatnya aku dengan tatapan yang aneh. Aku tidak dapat membalas tatapannya. Guna menghindari pertanyaan-pertanyaan lanjutan darinya yang tidak penting, kuarahkan pandanganku pada api yang meliuk pada lampu teplok -- Rafika hafal betul kalau aku sudah mengalihkan perhatian ia akan mencari pembicaraan lain.

            "Apakah kau sudah melihatnya langsung sayang? Kenapa kau meyakinkanku sesuatu yang belum kau buktikan? Kenapa kau mengira itu petrus?" tanyanya memburu seperti sedang menginterogasiku."Jangan menakutiku dengan cerita kekejaman negara sayangku. Semua itu sudah tuntas!" jawabnya yang sontak membuatku tercengang. Rasanya, ia seperti pribadi asing yang tidak aku kenal.

            "Bukan. Bukan. Itu bukan Ibu!" ujarku dengan maksud menyudahi. "Ibu tak mungkin mengetuk lewat jendela. Ia pasti mengetuk pintu kita sayang" imbuhku dengan alasan yang agaknya masuk akal.

Aku tidak mengatakan alasan lain semisal, "Itu bukan Ibu! Itu pasti maling!" Aku tak ingin membuatnya tambah khawatir. Lebih jauh, aku tidak ingin kami diteriaki OKB (Orang Kiri Baru) oleh seorang atau sekelompok maling tolol yang hendak merampok rumah kami justru lebih tertarik pada buku-buku fotokopian kami yang bersampul merah semisal, daripada tertarik menjarah uang atau barang berharga lainnya. Lebih jauh lagi, aku tidak ingin justru si maling diberi penghargaan sebagai pahlawan!

            Kutatap matanya yang masih memancarkan ketidakpercayaan. Tatapan itu, ah sialan! Ditatapnya balik aku begitu lama dengan tatapan seorang interogator membuatku muak! Astaga, kenapa dulu tidak kupilih perempuan tolol sebagai kekasihku? Ternyata, menyiksa dan ribet mempunyai kekasih seorang perempuan cerdas, pandai menyelidik, dan kerap mencurigai. Setiap kata harus ditata agar kedengaran masuk akal.

            "Percayalah sayang, itu bukan Ibu" ujarku meyakinkannya.

            Aku tidak berani menatap matanya. Arah tatapanku masih tetap pada lampu teplok di atas meja. Kuperhatikan nyala apinya mulai tak beraturan. Meliuk ke kanan dan ke kiri layaknya sedang menari atas kebingunganku.

            "Baiklah sayang," aku memberanikan. Aku bersiap membisik seperti yang ia lakukan. Aku tak berani menatapnya langsung. "Aku tak tahu harus mulai darimana, tetapi aku harus mengatakannya.Entah malam ini aku kerasukan kekuatan luar biasa yang membuatku takut," Rafika masih terdiam, menyimak kata perkata yang kuutarakan. "Tahukah kau apa yang membuatku tersadar tadi?" Rafika menggeleng. "Mataku,..."

            "Kenapa dengan matamu sayang?" sela Rafika.

            "Kurasa seeorang menekan mataku keras-keras. Sampai hampir copot. Mungkin ia hendak mencongkel mataku! Ya, mencongkel mataku dengan pisau, sendok, atau garpu.  Mungkin orang itu pergi mencarinya di dapur kita, tetapi kegelapan yang lebih gelap daripada malam biasanya ini menggagalkan usahanya. Tetapi, ia masih berambisi mencongkel mataku! Percayaah! Mataku masih terasa sakit. Perih."

            "Stttttt! Kau dengar sayang? Suara ketukan itu lagi!" potongnya.

            "Ya, aku dengar" jawabku kecut. "Apakah pintu dan jendela sudah kau kunci?" tanyaku spontan. Ia mengangguk. Mendengar pertanyaanku yang janggal dan teramat jelas karena jarak mulutku dan telinganya hanya selebar jempol orang dewasa sontak membuatnya mencurigaiku lebih tajam. "O, rupanya memang kau hendak mencongkel mataku?!" tukasku.

            Ia jauhkan kepalanya dari mulutku dan sekonyong-konyong menampik tanganku.

            "Aku geli mendengar cerita konyolmu!" tegasnya.

Aku menghela nafas panjang, mencoba menenangkan pikiranku yang kacau dan pendek.

"Mana mungkin aku mencongkel mata kekasihku sendiri?" tanyanya meminta pembenaran.

Ditatapnya aku agak lama seolah ia tengah membagi keberaniannya. Kekikukanku terhadapnya karena menuduhnya yang bukan-bukan pun perlahan hilang. Ya, mata perempuan ini mengingatkanku pada mata tokoh khayal dalam novel yang dituliskan seorang tapol!

            "Ssstttt! Jendela kita masih diketuk-ketuk" ujar Rafika yang langsung beranjak.

            Rasa penasaran membuat ketakutannya hilang. Sambil membawa teplok, aku mengikuti tepat dibelakangnya. Mendekati jendela yang ia tunjukan, lebat hujan terdengar lebih keras. Rupanya angin sudah mulai berhenti.

            Kami masih terdiam di hadapan jendela yang diketuk kian keras. Tidak. Tidak. Suara ketukan ini tidak sama seperti orang berang yang diselimuti hasrat membunuh. Mungkin nyala lampu teplok ini yang memperbesar harapannya. Membuatnya mengetuk lebih keras.

            "Siapa disana?" tanyaku. Mendengar tidak ada jawaban aku berbisik kepada istriku, "Coba kau yang tanya"

            "Siapa disana?" tanya Rafika dengan tenang.

            Tidak ada jawaban. Malahan jendela kian diketuk keras. Tidak. Tidak. Bukan ketukan seorang berang yang berhasrat membunuh. Telingaku masih sehat betul karena usiaku masih duapuluh tiga tahun. Ia mengetuk bukan menggebrak.

            "Lewat pintu saja!" perintahku pada seseorang di luar itu. Ya, kupikir jika jendela itu kubuka dan benar ternyata ia adalah seorang penembak misterius, tentu kemungkinan terbunuh lebih besar! Dan jika lewat pintu, sekalipun ia seorang pembunuh, dengan bekal silat yang diajarkan saat aku berumur tujuhbelas tahun tahun, kiranya aku masih sigap bertarung. Memberinya satu dua pukulan maupu tendangan di matanya atau di bagian vital lainnya, meskipun pada akhirnya terbunuh juga oleh pistolnya. Ya, paling tidak aku memiliki kesempatan hidup yang lebih lama dan kemungkinan hidup lebih besar.

            Jendela berhenti diketuk. Aku dan Rafika saling menatap agak lama. Cemas, khawatir, takut, penasaran bercampur aduk.

            "Tunggu sayang, aku harus ambil sangkurku dulu!" ujarku.

            Rafika berjalan di depanku membawa teplok. Kusembunyikan tanganku seperti tengah menggendong seorang anak. Dipunggungku telah siap sangkur guna kuhunus padanya.

            Mendekati pintu, kusuruh Rafika berjarak agak jauh. Tak lupa, kusuruh ia mematikan lampu teplok.

            "Permisi," ucap seorang dari luar.

Bukan suara perempuan,ini suara laki-laki. Suaranya berat. Belum juga kubukakan pintu untuknya. Aku masih menerka perwakannya, tinggi dan berat badannya. Kini, telah siapkubukakan pintu dengan siaga.

Kudapati lelaki yang tinginya kurang lebih selisih lima sampai tujuh centimeter denganku. Wajah lelaki itu tidak dapat kulihat secara jelas. Dengan kebingungan aku memberi kode istriku untuk menyalakan kembali lampu teplok. Sungguh, tak kuasa aku bicara dalam keadaan berburuk sangka. Kalaupun tempurung kepalaku harus tembus dengan peluru, singkatnya aku mati detik ini, itu lebih baik daripada menyerang orang dengan membabi-buta tanpa berpikir waras.

"Maaf atas kelancangan saya bertamu tanpa tahu waktu" katanya memohon pemakluman. "Hujan amat lebat, dan angin begitu ribut. Tadinya, saya ingin memohon bantuan di rumah lain, tetapi banyak rumah-rumah yang dibangun pagar. Ada satu dua rumah yang tidak dipagar, tetapi rumah itu dipasang anjing penjaga. Anjing-anjing itu menggonggong. Meskipun saya sudah berjalan jauh suaranya masih terdengar keras dan berat. Saya khawatir, anjing penjaga itu tidak diikat atau diikat namun tidak kencang. Singkat cerita, saya takut anjing-anjing itu lepas dan memburu saya. Saya terus berjalan mencari rumah. Sampai akhirnya saya mendapati rumah yang diberi penerangan"

Bersamaan Rafika mendekat, perwakan si Tamu terlihat semakin jelas. Tampak wajahnya yang pucat dan pakaiannya yang kuyup.

"Mari silahkan masuk" ucap Rafika yang terkesan sembrono.

Tamu itu masuk dan kami duduk lesehan di atas tikar pandan. Rafika meninggalkan kami guna menyiapkan hidangan, handuk dan pakaian ganti untuk si Tamu. Ya, tinggallah kami berdua. Sesuatu yang buruk sangat mungkin terjadi.

"Terimakasih sudi memperkenankan saya singgah" katanya sambil menggigil. "Saya Tan dari Ujungpandang*" tambahnya memperkenalkan diri.

Ia ulurkan kedua tangannya. Aku menyambut jabatnya tetapi tangan kiriku masih dibelakang punggung menggenggam sangkur. Dia bukan pembunuh. Tidak ada pistol yang ia bawa. Lelaki itu mencurigaiku. Matanya seakan dapat menerawang menembus tubuhku. Celaka!

"Saudara menyembunyikan sesutu?" bidiknya.

Celaka! Ia tahu. Tanganku masih dalam genggamannya. Segala prasangka buruk mulai timbul. Celaka! Celaka! Tamu ini, meskipun tidak mempunyai pistol, tetapi mungkin dia mahir beladiri tangan kosong.

Rafika, kembali dengan membawakan kelengkapan dan meja hijau kecil guna menaruh wedang jahe dan mie rebus. Diambilnya mangkok mie rebus. Lahap ia memakannya. Dengan sendok dan garpu.

Garpu? Celaka! Celaka! Kini di tangannya sudah ada senjata. Tangan kiriku mulai lembab oleh keringat dingin. Celaka! Celaka! Kulihat kekasihku tanpa suatu kecurigaan. Lengah.

"Terimakasih kalian orang baik" kata si Tamu setelah menyelesaikan makan. "Sebentar," tangannya menggerayang saku bajunya. "Ada barangku terselip" ia mulai berdiri dan tanggannya sibuk menggerayang saku celana. "Sebentar, mungkin tertinggal di luar" dari tingkahnya yang kulihat nampaknya memang ia tengah mencari sesuatu yang teramat penting. Tanpa mengatakan sesuatu Rafika memberikan teplok padanya. "Terimakasih kalian orang baik".

Lelaki itu berjalan keluar dan kembali dengan membawa sebuah kotak seukuran kotak amal. Celaka! Celaka! Isinya pasti pistol! Dengan satu-satunya penerangan yang kami punya di tangannya, ia bisa saja membunuh kami dengan mudah dan menghilangkan jejak. Tamu itu duduk, dan menaruh teplok kami di dekat kakinya. Janggal. Ia tidak meletakkannya di atas meja hijau.

"Anda menyembunyikan sesuatu" tuduhku. "Apa itu?" tanyaku waspada

"Oh, ini cuma kumpulan foto" jawabnya gampang. "Saudara mungkin yang menyembunyikan sesuatu?"

            "Jangan macam-macam ya! Siapa sebenarnya saudara dan darimana?" tanyaku mengancam dengan sangkur.

            Lelaki itu terkejut. Kurasakan getaran-getaran kecil dibibirnya yang pucat. Rafika dengan sigap menenangkanku. Dipeganginya tanganku yang tengah menodongkan sangkurku pada lelaki itu. "Tenang mas. Tenang" ucapnya berulang kali.

            Lelaki itu terjatuh dan ketakutan. "Ampun! Ampun! Jangan bunuh saya untuk kedua kalinya." pintanya yang membuat amarahku redam.

            Dibunuh untuk kedua kalinya? Suasana hening. Hujan masih lebat dan angin mulai ribut kembali.

            "Ampun! Ampun! Saya akan pergi. Terimakasih sudah sudi membiarkan saya singgah sejenak. Kalian orang baik".

            Lelaki bernama Tan itu pamit. Ia tinggalkan aku seperti seorang calon pembunuh! Calon pembunuh! Aaakkkkkh! Ini bukan aku! Ini bukan aku! Tidak mungkin aku hendak mengotori hidupku yang sekali ini dengan perbuatan keji!

            "Kemana ia akan pergi hujan lebat dan angin ribut begini? Adakah orang lain yang peduli dapat ia temui?" tanya istriku.

            Tidak ada jawaban. Di ruang minim penerangan ini seolah-olah jawaban tidak dapat ditemukan.

            "Lelaki itu meninggalkan barangnya mas!" kata Rafikadan langsung berlari mengejarnya. "Ia sudah pergi. Entah kemana ia pergi" tambahnya sambil menyesal.

            Kuletakkan sangkurku di meja hijau dan kulihat beberapa kumpulan foto-fotonya itu. Satu persatu. "Foto ini,.." aku menghela nafas panjang. "Astaga! Sayang, kemari cepat sayang! Lihat ini! Lihat!"

            Kutunjukkan padanya foto-foto seseorang yang dianiaya membabi-buta. Luka lebam, luka robek di telinga kanan, dan tempurungnya pengkor.

            Taaaarrrrrrrr! Tiba-tiba kaca jendela kami dipecahkan! Lekas aku berlari. "Jendela yang mana?" tanyaku pada Rafika.

            Ia tidak menjawab. Dan baru kuketahui ternyata aku berlari tanpa mempedulikannya. Ia tidak mengikutiku. Tuaaaaaaarrrrr! Kaca jendela kembali dipecahkan. Aku berlari kencang. Tuaaaaarrrrrrr! Aku masuk ke dalam ruangan. Ruang ini asing (mungki perasaanku karena gelap). Kulihat puing-puing pecahan kaca sudah berserak dan aku berlari memergoki si pelaku.

            "Akkkkkkkkk! Sialan!" kakiku terkena beling. Aku kehilangan keseimbangan dan tersandung. "Akkkkkkkkkkkkkkkkk!" teriakku kesakitan. Aku terjatuh dan mataku tertancap pecahan kaca.

            Mataku perih bukan main. Kudengar seorang menggedor-gedor pintu berkata, "Ada apa? Ada apa?"

            Aku membuka mata, terbangun. Kudapati seorang melongo melihatku. Dalam keadaan setengah sadar, kuliat seekor kecoa kabur. Mataku masih merah, perih. Sialan mungkin mataku baru saja dikencingi kecoa!

            Kecoa ketakutan. Lari, terbang, lari, terbang dan menclok tepat di rak bukuku. Kulempar kecoa itu dengan buku fotokopian bersampul merah hati. Ia terjatuh dan mati.

            "Kau bermimpi?" tanya sang teman sambil membuang bangkai kecoa dan merapihkan memungut bukuku.

            "Astaga lupa! Sampai dimana semalam kubaca?"

            Temanku mencari batas halaman. Dibolak-baliknya lembar pada buku itu yang ternyata belum aku tandai. Tiba-tiba ia membacakan sesuatu yang menarik perhatiannya, Namun, seperti kasus serupa yang terjadi di Nipah Madura, atau di Dili Timor Timur, biasanya yang terkena tindakan hukum adalah para anggota ABRI yang berada ditingkat pelaksana. Padahal, dalam kasus-kasus seperti ini, sangat perlu pengusutan untuk menghindarkan hal yang serupa di masa mendatang. Tentara selalu berada dalam jalur komando... Dengan demikian, ungkapan klasik seperti salah prosedur tidak selalu muncul sebagai jawaban atas kasus-kasus pelanggaran HAM seperti ini".

            "Coba kulihat! Aku belum baca sampai situ" jelasku pada sang teman. Temnku menyangkal pernyataanku, menuduhku telah membaca dan pura-pura tak tahu. Kami sempat berdebat bahkan aku berani disumpah pocong dan menantangnya untuk sumpah yang sama. Melihatnya justru mengejekku akhirnya dengan kesal kurampas buku itu. Aku membaca halaman yang ia tunjukkan pun halaman sebelumnya. "Astaga!" kataku kaget. Keringat dingin mulai mulai terasa ditengkukku.

            Aku membatin seraya berdoa untuk Tan, "Ya Tuhan, tumbuhkanlah keberanian dan kepedulian pada pikiran dan perasaan setiap orang yang didatangi tamu dari bawah tanah itu".

Yogyakarta, 28 Februari 2019

Eko Nurwahyudin

 

Catatan:

*Andi Sultan Iskandar, mahasiswa akutansi UMI angkatan 1994. Seorang Kader PMII yang diduga berdasarkan hasil autopsi dalam laporan YLBHI berjudul 1996: Tahun Kekerasan Potret Pelanggaran HAM di Indonesia tewas dibunuh ABRI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun