Tidak ada jawaban. Malahan jendela kian diketuk keras. Tidak. Tidak. Bukan ketukan seorang berang yang berhasrat membunuh. Telingaku masih sehat betul karena usiaku masih duapuluh tiga tahun. Ia mengetuk bukan menggebrak.
      "Lewat pintu saja!" perintahku pada seseorang di luar itu. Ya, kupikir jika jendela itu kubuka dan benar ternyata ia adalah seorang penembak misterius, tentu kemungkinan terbunuh lebih besar! Dan jika lewat pintu, sekalipun ia seorang pembunuh, dengan bekal silat yang diajarkan saat aku berumur tujuhbelas tahun tahun, kiranya aku masih sigap bertarung. Memberinya satu dua pukulan maupu tendangan di matanya atau di bagian vital lainnya, meskipun pada akhirnya terbunuh juga oleh pistolnya. Ya, paling tidak aku memiliki kesempatan hidup yang lebih lama dan kemungkinan hidup lebih besar.
      Jendela berhenti diketuk. Aku dan Rafika saling menatap agak lama. Cemas, khawatir, takut, penasaran bercampur aduk.
      "Tunggu sayang, aku harus ambil sangkurku dulu!" ujarku.
      Rafika berjalan di depanku membawa teplok. Kusembunyikan tanganku seperti tengah menggendong seorang anak. Dipunggungku telah siap sangkur guna kuhunus padanya.
      Mendekati pintu, kusuruh Rafika berjarak agak jauh. Tak lupa, kusuruh ia mematikan lampu teplok.
      "Permisi," ucap seorang dari luar.
Bukan suara perempuan,ini suara laki-laki. Suaranya berat. Belum juga kubukakan pintu untuknya. Aku masih menerka perwakannya, tinggi dan berat badannya. Kini, telah siapkubukakan pintu dengan siaga.
Kudapati lelaki yang tinginya kurang lebih selisih lima sampai tujuh centimeter denganku. Wajah lelaki itu tidak dapat kulihat secara jelas. Dengan kebingungan aku memberi kode istriku untuk menyalakan kembali lampu teplok. Sungguh, tak kuasa aku bicara dalam keadaan berburuk sangka. Kalaupun tempurung kepalaku harus tembus dengan peluru, singkatnya aku mati detik ini, itu lebih baik daripada menyerang orang dengan membabi-buta tanpa berpikir waras.
"Maaf atas kelancangan saya bertamu tanpa tahu waktu" katanya memohon pemakluman. "Hujan amat lebat, dan angin begitu ribut. Tadinya, saya ingin memohon bantuan di rumah lain, tetapi banyak rumah-rumah yang dibangun pagar. Ada satu dua rumah yang tidak dipagar, tetapi rumah itu dipasang anjing penjaga. Anjing-anjing itu menggonggong. Meskipun saya sudah berjalan jauh suaranya masih terdengar keras dan berat. Saya khawatir, anjing penjaga itu tidak diikat atau diikat namun tidak kencang. Singkat cerita, saya takut anjing-anjing itu lepas dan memburu saya. Saya terus berjalan mencari rumah. Sampai akhirnya saya mendapati rumah yang diberi penerangan"
Bersamaan Rafika mendekat, perwakan si Tamu terlihat semakin jelas. Tampak wajahnya yang pucat dan pakaiannya yang kuyup.