Mohon tunggu...
Eko Mulyadi
Eko Mulyadi Mohon Tunggu... -

Jurnalis, sesekali menulis opini, pengajar. Tinggal di Medan.

Selanjutnya

Tutup

Bola

Kita Besar Karena Kita Satu (Ode untuk PSMS)

25 September 2016   19:52 Diperbarui: 25 September 2016   20:33 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
PSMS ketika tampil di salah satu pertandingan liga. (Foto : viva.co.id)

Persatuan Sepak Bola Medan Sekitarnya atau disingkat PSMS, adalah klub sepakbola kebanggaan masyarakat Kota Medan, bahkan mungkin hampir seluruh masyarakat Sumatera Utara. PSMS sejatinya adalah ikon, bukan saja ikon bagi persepakbolaan Kota Medan tapi juga ikon bagi kota itu sendiri.

Klub berjuluk Ayam Kinantan yang didirikan pada tanggal 21 April 1950 ini dikenal dengan tipe permainan khasnya rap-rap, yakni sepakbola berkarakter keras, cepat dan ngotot namun sportif. Sejak masa awalnya, klub yang bercirikan seragam hijau-hijau ini telah melahirkan banyak nama besar di kancah persepakbolaan nasional. Sebut saja Wibisono, Ronny Pasla, Nobon, Parlin Siagian, Zulkarnaen Lubis, hingga yang agak kekinian generasi Saktiawan Sinaga dan Marcus Harison.

Pada masa jayanya dulu, sejak era kompetisi perserikatan, PSMS adalah lawan sepadan bagi tim-tim besar lain seperti Persija Jakarta, Persebaya Surabaya atau Persib Bandung. Tak pelak, banyak gelar juara sudah direngkuh dari ajang komptisi atau turnamen. Termasuk di turnamen internasional Aga Khan Gold Cup sebagai juara di tahun 1967 dan Marah Halim Cup tahun 1973.

Tapi, sekelumit sejarah tadi kini sepertinya hanya menyisakan nostalgia, betapa kini PSMS terpuruk hingga tak lagi begitu diperhitungkan dalam persaingan elit sepakbola nasional. Catatan terakhir, PSMS tak bisa meloloslan diri dari persaingan 16 Besar Indonesia Soccer Championship (ISC) Seri B. Ya, hanya seri B alias kasta kedua kompetisi sepakbola nasional.

Memang, sejak era kompetisi perserikatan berakhir dan masuk era kompetisi semi profesional Liga Indonesia (Ligina), Ayam Kinantan seperti mulai kehilangan taji.

Pada masa itu, PSMS mengalami naik turun pestasi, Bisa dikatakan PSMS lebih sering menghuni papan tengah klasemen wilayah.

Masih teringat di masa suram itu, tiap kali PSMS bermain hanya sedikit penonton ke Stadion Teladan. Cinta suporter sepakbola Medan bahkan sempat beralih ke tim sekota, PS Medan Jaya, yang justru menunjukkan prestasi lebih mentereng sehingga suporter berbondong-bondong menyaksikan tiap klub berjuluk Kijang Sumatera itu main di Teladan.

Prestasi terbaik PSMS di era kompetisi semipro ini adalah semifinalis Ligina V dan Ligina VII, bahkan sempat jadi finalis Ligina XII tahun 2007 walau kemudian terdegradasi ke Divisi I pada tahun 2008. Beruntung musim berikutnya bisa naik lagi ke Divisi Utama sehingga berhak masuk ke Liga Super.

Masuk ke era Liga Super Indonesia, kondisinya juga tak jauh berbeda. Bahkan ceritanya lebih kompleks, mulai dari eksodus besar-besaran para pemain bintang karena masalah gaji, Stadion Teladan yang tak lulus stratafikasi Liga Super hingga membuat PSMS menjadi tim ‘musafir’ yang berpindah-pindah homebase, sampai masalah perpecahan di tubuh tim.

Mengawali Liga Super pun sudah dengan sangat buruk, PSMS berkutat di zona degradasi sepanjang paruh musim pertama. Hingga di akhir kompetisi harus finish di urutan ke-15 yang mengharuskan tim Ayam Kinantan menjalani laga play-off menghadapi Persebaya Surabaya.

Ceritanya sudah diketahui bersama; pada kompetisi tahun 2011/2012 itu PSMS kembali terdegradasi ke Divisi Utama setelah takluk 6-7 lewat drama adu penalti di Stadion Siliwangi Bandung.  Jadilah sejak itu PSMS terus berkutat di Divisi Utama.

Saya tertarik me-review sekelumit kisah ini, begitu menyimak talkshow di Radio Lite FM Medan, Sabtu (24/9/2016) pagi yang membincangkan soal ‘nasib’ PSMS kini setelah mengalami degradasi prestasi dan ditinggalkan banyak penggemar.

Di situ mantan pemain sekaligus mantan pengurus PSMS, Benny Tomasoa, berharap cerminan prestasi buruk dalam dekade terakhir, terutama yang terbaru gagal lolos dari babak penyisihan ISC B, harus memacu motivasi pengurus sekarang untuk berbenah. Apalagi dengan bakal digelarnya kembali kompetisi resmi yang digelar PSSI, PSMS harus kembali merebut satu tempat di kelompok elit klub-klub nasional, yang berarti Liga Super.

Karena, bukan tempatnya PSMS di kasta kedua kompetisi sepakbola nasional. Harus di kasta utama. Masyarakat penggemar sepakbola di Medan bahkan Sumatera Utara sudah rindu dengan prestasi PSMS yang seperti dulu, bisa menyaksikan ‘Ayam Kinantan’ berkokok bukan hanya di kandangnya sendiri Stadion Teladan tapi juga di manapun bertanding.

Tapi harus disadari, untuk mewujudkan itu pengurus tidak boleh bermain sendiri. Harus dibangun sinergitas dengan seluruh stakeholder mulai dari pemerintah daerah, PSSI Medan, mantan pemain atau siapapun yang punya perhatian ikhlas untuk memajukan PSMS. Kesampingkan dulu ego pribadi, saling curiga atau apapun namanya yang bisa merusak iklim pembinaan.

Mengutip semboyan kelompok suporter PSMS, SMeCK Hooligan; “Kita besar bukan karena banyak, tapi besar karena kita satu”. Semboyan itu mungkin bisa memotivasi agar kita bisa bersama-sama mengangkat kembali nama PSMS.

Menyinggung soal suporter, harus diingat keberadan suporter juga sangat penting, mereka bentuk energi bagi pemain di lapangan. Suporter adalah darahnya tim, sehingga jika bermain tanpa dukungan suporter tidak akan ada maknanya.

Kalau sudah begitu, peristiwa kebersinggungan suporter dengan pengurus jangan sampai terulang. Seperti contoh peristiwa 17 Juli 2016 lalu saat PSMS menjamu PS Bangka di pertandingan ISC B. Saat itu para suporter yang tergabung dalam sejumlah kelompok seperti SMeCk Hooligan, Kampak FC dan PSMS Medan Fans Club memboikot pertandingan gara-gara keberatan dengan kenaikan harga tiket. Jadilah, selama pertandingan, suporter hanya meneriakkan yel-yel dukungan dari luar stadion.

Seperti dikatakan kapten tim saat itu, Donny F Siregar, tanpa suporter jelas berpengaruh bagi permainan mereka. Walau saat itu mereka bisa menang 1-0, seharusnya bisa lebih optimal jika ada suporter dalam stadion.

Inilah yang dimaksud pentingnya sinergitas, komunikasi dua arah antara pengurus dengan suporter, atau pengurus dengan stakeholder lain sehingga tidak terjadi miskomunikasi yang mengganggu.

Ke depan, kita yang ‘berdarah hijau’ tentu berharap kebangkitan kembali PSMS. Merengkuh kembali prestasi dan prestise, mengembalikan atmosfir Stadion Teladan yang ‘angker’ bagi lawan dan mendengar lagi suara suporter menggemakan nyanyian untuk tim kesayangannya.  Pastinya nyanyian kebersamaan, nyanyian kemenangan, nyanyian kegembiraan.

Salam sada roha!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun