Saya tertarik me-review sekelumit kisah ini, begitu menyimak talkshow di Radio Lite FM Medan, Sabtu (24/9/2016) pagi yang membincangkan soal ‘nasib’ PSMS kini setelah mengalami degradasi prestasi dan ditinggalkan banyak penggemar.
Di situ mantan pemain sekaligus mantan pengurus PSMS, Benny Tomasoa, berharap cerminan prestasi buruk dalam dekade terakhir, terutama yang terbaru gagal lolos dari babak penyisihan ISC B, harus memacu motivasi pengurus sekarang untuk berbenah. Apalagi dengan bakal digelarnya kembali kompetisi resmi yang digelar PSSI, PSMS harus kembali merebut satu tempat di kelompok elit klub-klub nasional, yang berarti Liga Super.
Karena, bukan tempatnya PSMS di kasta kedua kompetisi sepakbola nasional. Harus di kasta utama. Masyarakat penggemar sepakbola di Medan bahkan Sumatera Utara sudah rindu dengan prestasi PSMS yang seperti dulu, bisa menyaksikan ‘Ayam Kinantan’ berkokok bukan hanya di kandangnya sendiri Stadion Teladan tapi juga di manapun bertanding.
Tapi harus disadari, untuk mewujudkan itu pengurus tidak boleh bermain sendiri. Harus dibangun sinergitas dengan seluruh stakeholder mulai dari pemerintah daerah, PSSI Medan, mantan pemain atau siapapun yang punya perhatian ikhlas untuk memajukan PSMS. Kesampingkan dulu ego pribadi, saling curiga atau apapun namanya yang bisa merusak iklim pembinaan.
Mengutip semboyan kelompok suporter PSMS, SMeCK Hooligan; “Kita besar bukan karena banyak, tapi besar karena kita satu”. Semboyan itu mungkin bisa memotivasi agar kita bisa bersama-sama mengangkat kembali nama PSMS.
Menyinggung soal suporter, harus diingat keberadan suporter juga sangat penting, mereka bentuk energi bagi pemain di lapangan. Suporter adalah darahnya tim, sehingga jika bermain tanpa dukungan suporter tidak akan ada maknanya.
Kalau sudah begitu, peristiwa kebersinggungan suporter dengan pengurus jangan sampai terulang. Seperti contoh peristiwa 17 Juli 2016 lalu saat PSMS menjamu PS Bangka di pertandingan ISC B. Saat itu para suporter yang tergabung dalam sejumlah kelompok seperti SMeCk Hooligan, Kampak FC dan PSMS Medan Fans Club memboikot pertandingan gara-gara keberatan dengan kenaikan harga tiket. Jadilah, selama pertandingan, suporter hanya meneriakkan yel-yel dukungan dari luar stadion.
Seperti dikatakan kapten tim saat itu, Donny F Siregar, tanpa suporter jelas berpengaruh bagi permainan mereka. Walau saat itu mereka bisa menang 1-0, seharusnya bisa lebih optimal jika ada suporter dalam stadion.
Inilah yang dimaksud pentingnya sinergitas, komunikasi dua arah antara pengurus dengan suporter, atau pengurus dengan stakeholder lain sehingga tidak terjadi miskomunikasi yang mengganggu.
Ke depan, kita yang ‘berdarah hijau’ tentu berharap kebangkitan kembali PSMS. Merengkuh kembali prestasi dan prestise, mengembalikan atmosfir Stadion Teladan yang ‘angker’ bagi lawan dan mendengar lagi suara suporter menggemakan nyanyian untuk tim kesayangannya. Pastinya nyanyian kebersamaan, nyanyian kemenangan, nyanyian kegembiraan.
Salam sada roha!