Ini berlaku untuk semua. Kalangan atas maupun kalangan bawah --tidak ada orang yang mau biaya hidupnya jadi lebih mahal dari sebelumnya. Jadi, kalau ditanya apakah mereka setuju harga BBM naik, jawabnya pasti tidak. Tidak perlu pakai pembuktian segala.
Kembali ke rencana pemerintah menaikan harga BBM, pasti ini sesuatu yang tidak disukai rakyat. Jangan berdebat soal jumlah subsidi yang membebani APBN. Itu urusan pemerintah. Atau berdebat tentang larinya sebagian besar uang subsidi BBM ke orang-orang kaya, sebab pengguna kendaraan pribadi adalah mereka yang tergolong mampu. Sebab ujung-ujungnya dengan kenaikan harga BBM, rakyat miskin juga akan kena dampaknya. Harga-harga barang kebutuhan lain otomatis jadi naik juga bukan?
Untung saja sistem politik kita demokratis, jadi pemerintah tidak bisa sembarangan naikan harga bensin. Mereka harus meminta persetujuan DPR dulu untuk mensyahkan APBN yang memuat patokan harga bensin di masyarakat dan berapa besaran subsidi bisa dikucurkan. Nah, disinilah untungnya kita punya wakil di parlemen. Saat ini posisi setuju dan tidaknya kenaikan harga BBM ada di tangan parlemen, buka dipemerintah. Parlemen mempunyai hak budget untuk ikut menentukan komposisi besaran anggaran dalam APBN termasuk apakah harga bensin harus naik.
Nah, karena tidak ada rakyat yang mau biaya hidupnya lebih mahal, jika partai mau cari simpati publik, gampang. Tolak kenaikan harga BBM. Toh, sudah pasti rakyat juga akan menolak. Tidak usah cari program yang rasional buat menarik simpati rakyat. Menolak kenaikan harga BBM akan jauh lebih seksi. Soal apakah dalam skala APBN dan jangka panjang, penolakan kenaikan harga itu akan justru memberatkan keuangan negara dan akhirnya berdampak pada kemampuan negara mensejahterakan rakyatnya, itu urusan lain. Lagian susah menerangkannya kepada rakyat tentang mekanisme keuangan negara. Susah menerangkan bagaimana beban yang akan dialami neraca pembayaran negara jika subsidi BBM makin membengkak. Yang rakyat tahu, harga naik. Tolak!
Tapi, okelah. Meski sedikit aneh karena berubah-ubah usulannya, dari pengusul menjadi menentang keras, toh PDIP adalah partai oposisi. Mungkin saja pertimbangan politik saat diusulkan dengan sekarang berbeda. Jadi sikapnya juga berbeda pula. Jika politik dibaca sebagai barang dagangan, rakyat adalah konsumen. Nah, sebagai parpol, wajar saja jika tujuannya ingin memuaskan konsumennya. Setidaknya dalam jangka pendek.
Kita berharap sebagai parpol, PDIP bisa memfungsikan anggotanya di parlemen untuk menentang kenaikan itu. Sebab salah satu fungsi DPR adalah hak budget yang ikut menyetujui usulan APBN. Nah, di APBN (P) itulah nantinya tercantum angka-angka soal BBM. Dengan demikian, rakyat yang tidak setuju kenaikan BBM menjadi terwakili suaranya di parlemen. Bukankah itu memang mekanisme politik yang sehat?
Yang saya tidak habis pikir, bagaimana sebagai sebuah partai, PDIP misalnya, juga ikut dalam proses demonstrasi jalanan untuk menentang kenaikan BBM ini? Lha, kalau proses penyaluran aspirasinya sama dengan mahasiswa atau LSM, buat apa kita memilih wakil di parlemen? Padahal penentu naik-tidaknya harga BBM itu ada di DPR, bukan dijalanan. PDIP sudah punya kursi di parlemen, buat apa juga ikut-ikutan turun ke jalan. Di gedung parlemenlah semestinya proses politik yang sehat berlangsung. Dengan segala perdebatannya. Dengan segala trik dan mekanisme politiknya.
Selanjutnya, yang juga membuat bingung adalah sikap PKS. Secara resmi PKS adalah partai pemerintah. Tiga orang wakilnya duduk di kabinet, bahkan ada yang menjadi bagian dari jajaran menteri ekonomi. Jika usulan kenaikan BBM ini adalah usulan pemerintah (eksekutif), maka itu sebetulnya bisa dibaca sebagai juga usulan dari menteri-menteri dari PKS ini. Sebagai bagian dari eksekutif, tentu menteri-menteri PKS juga punya suara dalam rapat kabinet ketika ingin memutuskan usulan kenaikan harga BBM.
Tapi PKS ikut menolak usulan kenaikan harga BBM ini. Sebagai partai, PKS tentu bisa memperjuangkan aspirasi konstituennya lewat parlemen. Tapi, sebetulnya karena PKS bagian dari eksekutif, harusnya lebih dulu diperjuangkan lewat saluran itu. Sebab selain pemerintahan Partai Demokrat, kabinet yang sekarang juga pemerintahan PPP, Golkar, PAN, PKB dan PKS. Artinya menteri-menteri wakil partai itu bisa bicara keras saat rapat kabinet berlangsung dan menolak usulan kenaikan BBM ini. Sebab sejatinya itulah fungsi sebuah partai menempatkan menteri-menterinya di dalam kabinet : agar mereka bisa mempengaruhi jalannya pemerintahan sesuai dengan indeologi dan aspirasi konstituen partai tersebut. Lain soal jika jatah menteri itu hanya dipandang dari sudut bancakan dana APBN.
Sesuatu yang rasional, belum tentu menyenangkan. Sebagai partai, juga sebagian politisi, targetnya harus tetap mempesona rakyat. Ini salah satu bahan jualan untuk menjaring suara. Lebih baik sekarang usulan kenaikan BBM itu ditolak, sebab rakyat saat ini sedang menolak dengan keras (sampai kapanpun tidak pernah akan ada rakyat yang riang gembira menerima kenaikan BBM). Toh, melihat kalkulasi APBN dan kecenderungan harga minyak dunia, mau tidak mau pemerintah mesti harus mengusulkan kenaikan harga BBM juga. Mungkin tahun depan. Jika sekarang ditolak, artinya dengan setengah tercekik pemerintah juga akan mengusulkan kenaikan harga BBM di tahun depan. Mungkin saat itu waktu yang pas untuk menerima usulan kenaikan harga BBM. Kemarahan rakyat jauh lebih bagus jika mendekati 2014.
Mungkin ini menyangkut soal etika politik. Selain soal penolakan dan penerimaan kenaikan harga BBM, tampaknya rakyat juga perlu diajarkan bagaimana sebuah dinamika politik bisa dijalankan dengan lebih beretika. Bagaimana etika sebuah parpol menyalurkan aspirasinya, juga bagaimana partai yang ikut dalam pemerintahan sebaiknya harus bersikap. Juga bagaimana para kepala daerah bisa menyalurkan protesnya dengan saluran yang wajar.
Rakyat senang jika harga BBM tidak jadi naik. Soal rasionalisasi perhitungan APBN, itu bukan urusan rakyat. Tapi, rakyat juga butuh pertunjukan politik yang lebih beretika...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H