Mohon tunggu...
eko kuntadhi
eko kuntadhi Mohon Tunggu... -

bekerja pada perusahaan penerbitan dan periklanan, di Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik

BBM Naik dan Etika Parpol

27 Maret 2012   06:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:25 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


Siapa yang suka dengan kenaikan harga bensin? Saya yakin sebagian besar rakyat tidak ada yang suka. Jadi tidak perlu survei-survei segala untuk membuktikan bahwa sebagian besar rakyat tidak suka dengan kenaikan harga BBM. Tapi coba survei, apakah rakyat setuju jika harga BBM diturunkan? Saya yakin jawabnya pasti setuju. Sebab rakyat Indonesia adalah manusia normal. Orang normal mana yang setuju jika biaya hidupnya makin tinggi?
Ini berlaku untuk semua. Kalangan atas maupun kalangan bawah --tidak ada orang yang mau biaya hidupnya jadi lebih mahal dari sebelumnya. Jadi, kalau ditanya apakah mereka setuju harga BBM naik, jawabnya pasti tidak. Tidak perlu pakai pembuktian segala.

Ini sama dengan pajak. Coba saja survei, berapa persenkah rakyat yang suka dan senang membayar pajak? Saya rasa jumlahnya hanya secuil. "Tidak ada orang yang suka rela membayar pajak," ujar Hendry Ford, pengusaha dan produsen mobil di AS.

Kembali ke rencana pemerintah menaikan harga BBM, pasti ini sesuatu yang tidak disukai rakyat. Jangan berdebat soal jumlah subsidi yang membebani APBN. Itu urusan pemerintah. Atau berdebat tentang larinya sebagian besar uang subsidi BBM ke orang-orang kaya, sebab pengguna kendaraan pribadi adalah mereka yang tergolong mampu. Sebab ujung-ujungnya dengan kenaikan harga BBM, rakyat miskin juga akan kena dampaknya. Harga-harga barang kebutuhan lain otomatis jadi naik juga bukan?

Untung saja sistem politik kita demokratis, jadi pemerintah tidak bisa sembarangan naikan harga bensin. Mereka harus meminta persetujuan DPR dulu untuk mensyahkan APBN yang memuat patokan harga bensin di masyarakat dan berapa besaran subsidi bisa dikucurkan. Nah, disinilah untungnya kita punya wakil di parlemen. Saat ini posisi setuju dan tidaknya kenaikan harga BBM ada di tangan parlemen, buka dipemerintah. Parlemen mempunyai hak budget untuk ikut menentukan komposisi besaran anggaran dalam APBN termasuk apakah harga bensin harus naik.

Nah, karena tidak ada rakyat yang mau biaya hidupnya lebih mahal, jika partai mau cari simpati publik, gampang. Tolak kenaikan harga BBM. Toh, sudah pasti rakyat juga akan menolak. Tidak usah cari program yang rasional buat menarik simpati rakyat. Menolak kenaikan harga BBM akan jauh lebih seksi. Soal apakah dalam skala APBN dan jangka panjang, penolakan kenaikan harga itu akan justru memberatkan keuangan negara dan akhirnya berdampak pada kemampuan negara mensejahterakan rakyatnya, itu urusan lain.  Lagian susah menerangkannya kepada rakyat tentang mekanisme keuangan negara. Susah menerangkan bagaimana beban yang akan dialami neraca pembayaran negara jika subsidi BBM makin membengkak. Yang rakyat tahu, harga naik. Tolak!

Partai Gerindra dan Hanura sudah menyatakan menolak usulan kenaikan itu. Wajar. Mereka adalah partai oposisi yang memang tabiatnya harus berseberangan dengan pemerintah. PDIP juga menolak kenaikan harga bensin. Makum, mereka juga oposisi. Meski, pada 10 Janari lalu Ketua Umum PDIP sempat melontarkan usulan kepada pemerintah untuk menaikan harga BBM. "Menaikkan harga BBM paling realistis," kata Presiden RI ke-5 ini seusai acara peringatan ulang tahun PDI Perjuangan di kantor pusatnya di Jalan Lenteng Agung, Jakarta, Selasa 10 Januari 2012. Saat itu mungkin Bu Mega sedang berfikir rasional mengenai bagaimana beban anggaran negara dikelola.

Tapi, okelah. Meski sedikit aneh karena berubah-ubah usulannya, dari pengusul menjadi menentang keras, toh PDIP adalah partai oposisi. Mungkin saja pertimbangan politik saat diusulkan dengan sekarang berbeda. Jadi sikapnya juga berbeda pula. Jika politik dibaca sebagai barang dagangan, rakyat adalah konsumen. Nah, sebagai parpol, wajar saja jika tujuannya ingin memuaskan konsumennya. Setidaknya dalam jangka pendek.

Kita berharap sebagai parpol, PDIP bisa memfungsikan anggotanya di parlemen untuk menentang kenaikan itu. Sebab salah satu fungsi DPR adalah hak budget yang ikut menyetujui usulan APBN. Nah, di APBN (P) itulah nantinya tercantum angka-angka soal BBM. Dengan demikian, rakyat yang tidak setuju kenaikan BBM menjadi terwakili suaranya di parlemen. Bukankah itu memang mekanisme politik yang sehat?

Yang saya tidak habis pikir, bagaimana sebagai sebuah partai, PDIP misalnya, juga ikut dalam proses demonstrasi jalanan untuk menentang kenaikan BBM ini? Lha, kalau proses penyaluran aspirasinya sama dengan mahasiswa atau LSM, buat apa kita memilih wakil di parlemen? Padahal penentu naik-tidaknya harga BBM itu ada di DPR, bukan dijalanan. PDIP sudah punya kursi di parlemen, buat apa juga ikut-ikutan turun ke jalan. Di gedung parlemenlah semestinya proses politik yang sehat berlangsung. Dengan segala perdebatannya. Dengan segala trik dan mekanisme politiknya.

Selanjutnya, yang juga membuat bingung adalah sikap PKS. Secara resmi PKS adalah partai pemerintah. Tiga orang wakilnya duduk di kabinet, bahkan ada yang menjadi bagian dari jajaran menteri ekonomi. Jika usulan kenaikan BBM ini adalah usulan pemerintah (eksekutif), maka itu sebetulnya bisa dibaca sebagai juga usulan dari menteri-menteri dari PKS ini. Sebagai bagian dari eksekutif, tentu menteri-menteri PKS juga punya suara dalam rapat kabinet ketika ingin memutuskan usulan kenaikan harga BBM.

Tapi PKS ikut menolak usulan kenaikan harga BBM ini. Sebagai partai, PKS tentu bisa memperjuangkan aspirasi konstituennya lewat parlemen. Tapi, sebetulnya karena PKS bagian dari eksekutif, harusnya lebih dulu diperjuangkan lewat saluran itu. Sebab selain pemerintahan Partai Demokrat, kabinet yang sekarang juga pemerintahan PPP, Golkar, PAN, PKB dan PKS. Artinya menteri-menteri wakil partai itu bisa bicara keras saat rapat kabinet berlangsung dan menolak usulan kenaikan BBM ini. Sebab sejatinya itulah fungsi sebuah partai menempatkan menteri-menterinya di dalam kabinet : agar mereka bisa mempengaruhi jalannya pemerintahan sesuai dengan indeologi dan aspirasi konstituen partai tersebut. Lain soal jika jatah menteri itu hanya dipandang dari sudut bancakan dana APBN.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun