Mohon tunggu...
eko sulistyanto
eko sulistyanto Mohon Tunggu... -

Bumiku, bungaku, doaku..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pemulung Jakarta Ini Punya Harta Warisan di Inggris

4 Oktober 2015   12:07 Diperbarui: 4 Oktober 2015   12:42 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(1) KANTI EDWARDS

Iseng saja saya menyapa. Dan ia tak sungkan meladeni obrolan.

Beberapa gigi depan atas kanan sudah rompal. Kulit wajah gosong keriput. Mirip nenek-nenek. Suara lirih. Saya tempelkan kuping ke depan mulutnya untuk menangkap sebagian kata-katanya, terutama saat ia menyebut nama: Kanti. Ini nama depan. Belakang masih ada embel-embel. Entahlah. Tak begitu jelas. Dan sekali lagi, saya sorongkan kuping ke mulutnya.

Nama barat. Aneh. Pemulung dengan nama kombinasi Indonesia dan bule. Tak yakin dengan apa yang terdengar, saya kasih dia ballpoint dan blocknote.

"Tolong tulis ya, Bu. Takut salah," kata saya. Dia nyengir.

Sambil tunggu dia nulis, saya putar bola mata ke gerobaknya. Full kardus dan beberapa karung botol bekas. Sedang panen rupanya. Ahaii..ada simbol love dan huruf H.K. Warnanya pink. Gerobak penuh cinta. Pagi itu, di seberang Hotel Mulia Senayan Jakarta, dia bersama pria muda. Pria yang tampil beradap untuk seorang pemulung. Tak kumuh, kumis tipis, topi petualang, kaos oblong. Siapakah dia? Saya menduga ia anak Bu Kanti. Sama sekali tak mirip.

"Tulisannya oke juga, Bu," kata saya. Dia senyum memamerkan gigi rompalnya. Di blocknote, namanya tertulis: Kanti Edwards. Saya waspada. Ada bulenya nih. Pasti ada yang tak beres. Bu Kanti dan si pemuda menangkap gelagat saya terheran-heran.

"Dulu suaminya bule," kata si pemuda. Suaranya lirih. Hanya itu yang dia ucap. Lantas dia ngeloyor pergi membiarkan kami ngobrol. Mata saya melotot. Bu Kanti melepas senyum.

"Bener, Bu?"
"Iya. Bule Inggris"
"Bisa Inggris dong," saya tak mau dapat sarapan cerita bualan.
"Yess...ofcourse," jawabnya singkat.

Saya gelagapan. Saya cek rambut. Sepertinya berdiri tiba-tiba. Pagi yang penuh kejutan.

"Why your husband fall in love with you?" sambil masih tak yakin saya serius bertanya. Antara ngetes bahasa Inggrisnya dan ingin tahu bagaimana kisah cintanya. Kenapa sampai si bule meleleh dengan pemulung ini. Bu Kanti jauh dari cantik. Tubuhnya mungil. Tak ada onderdil tubuhnya yang menyisakan ke-gorgeous-an. Dan kenapa hari ini dia jadi pemulung. Di mana si bule sekarang.

"Because I love joking, laughing," ujarnya. Itu yang terdengar. Mulutnya masih ndremimil dalam Inggris. Namun tak begitu terdengar. Dan saya sekali lagi memintanya menulis dalam Inggris alasan-alasan itu. Ia bilang tak bisa.

"Kalau omong bisa," katanya.

(2) HONGKONG LOVE STORY Mimpinya adalah menggenggam uang dari tetes keringat sendiri. Mimpi yg membawa Kanti meninggalkan kampung halaman, Malang, Jawa Timur, menuju ke Hongkong. Ia tinggalkan dua buah hatinya, juga suaminya yang tak jelas kerjaanya. Ia tinggalkan tetangga kanan kirinya yangg tak ramah krn dia miskin.

"Daftarnya Singapura. Dapatnya Hongkong," ujar Kanti.

Demikianlah, hariharinya mulai sibuk sebagai pembantu rumah tangga. Gajinya perbulan sekitar 4 juta. Sebagian besar ia kirimkan untuk anak, suami, juga orangtuanya. Dari kerja kerasnya, Kanti juga berhasil membuatkan bengkel untuk anaknya yangg baru lulus STM. Sungguh melegakan. Kanti mulai sanggup menegakkan kepala.

Namun kepergiannya ke Hongkong bukan tanpa ongkos. Di kala ia banting tulang menbangun kehidupan, suaminya di kampung mbambung. Duit kiriman dihamburkan. Ludes. Begitupun bengkel anaknya.

"Habis buat main perempuan," keluh Kanti.

Kanti patah arang. Pengorbanannya tak imbang dengan kelakuan suami. Apa boleh buat, keputusan berat ia ambil. Dari Hongkong, ia menceraikan suami. Rumah tangganya kandas. Pahit.

Tiga kali Kanti pindah majikan. Di majikan ketiga, ia merasa tak cocok Ia kabur. Lebih dari tiga bulan ia tak kunjung nendapatkan majikan baru. Statusnya sdh overstay. Di Hongkong, overstay adalah pelanggaran hukum. Kriminal. Sejenis pendatang haram. Sewaktu-waktu bisa diciduk polisi. Jeruji besi siap menyekap.

Meski demikian Kanti masih aman. Selama empat tahun ia bergerilya kerja partime menghindari polisi. Cuci piring di cafe dan sebagainya. Sampai suatu ketika, sahabatnya yg dibakar api cemburu melaporkan overstay-nya ke polisi.

"Saya akrab sama pacarnya. Itu bikin dia panas", kata Kanti.

Benarlah. Kanti ditangkap. Tiga bulan ia menghabiskan waktu di penjara.

Lepas dari penjara, untuk sementara Kanti dapat tempat tinggal yang disediakan pemerintah Hongkong. Semacam rusun. Tiap bulan ia bayar sewa. Ia kembali kerja parttime. Dia menjadi dirinya sendiri. Aslinya, dia adalah sosok perempuan yg supel bergaul, ramah, senang becanda. Tiap saat ia lewatkan bermain di pantai layaknya krucil ketemu air. Di rusun inilah, suatu kali ia papasan dan berkenalan dg Joseph Edward, bule Inggris.

"Dia bisnis alat komputer di internet," kata Kanti.

Keduanya lantas berteman akrab. Edwards adalah sosok pria bule yg baik. Melihat nasib Kanti ia jatuh iba. Bagi Edwards, Kanti adalah teman bercakap- cakap yg seru. Ia gemar bercanda, ngobrol, ketawatawa, asyik diajak jalan. Di mata Edwards, ia adalah perempuan yang berbeda di tengah Hongkong yang gemerlap namun kehilangan kehangatan. Kanti memancarkan pesona asli dunia timur : ramah. Keramahan yg kerap kali menbius mereka yg rindu menjadi manusia. Keramahan Kanti pulalah yg akhirnya melelehkan hati Edwards. Benih cinta tumbuh di hatinya. Cinta bule lajang 35 tahun pada janda imut 42 tahun.

Kisah berikutnya, Edward ingin bantu mengurus kepulangan. "Dia bilang kalau saya di sini terus bisa kacau. Dia juga bilang suka sama saya," ujar Kanti mengenang.

Edwards akhirnya mengurus semua dokumen ke imigrasi. Ia pun ingin ke Indonesia bersama Kanti. Namun imigrasi mensyaratkan mereka menikah dulu. Syarat yg disambut suka cita oleh Edwards. Keduanya lantas meresmikan hubungan di konsulat Inggris.

Th 2012 Kanti pulang ke Indonesia membawa oleh-oleh premium : Edwards. Kedatangan mereka membuat heboh orang kampung. Tetangga kanan kiri sanak saudara yang dulu tak ramah jadi perhatian. Kanti jadi selebritis di dusun. Kemana-mana jadi perbincangan.

"Suka dipanggil-panggil. Dulu mana pernah," katanya.

Hanya saja, kondisi rumahnya bikin kaget Edwards. Suaminya tak menyangka rumah Kanti tak ada toilet dan kamar mandi yang layak. Tapi semuanya dilalui dg senang. Kekurangan ini itu tak berarti di hadapkan pada cinta yg mabyur-mabyur.

Bersama Edwards, Kanti mencoba menata hidup. Keduanya memutuskan pindah ke Tenggarong Kalimantan Timur.

"Dia pingin ke Borneo," kata Kanti.

Di sana mereka nyewa rumah. Edwards meneruskan bisnis alat komputer, sementara Kanti menggelar meja di pinggir jalan jualan nasi kuning. Suatu kali datang tawaran ngajar Inggris di Primagama. Tawaran yg langsung disambar. Sehari ngajar dua jam, Edwards digaji 6 juta sebulan.

Januari 2014, kabar pedih datang dari Iggris. Ibu Edwards meninggal. Kepergiannya begitu disesali Edwards lantaran ia tak bisa pulang menengok. Edwards terpukul. Dialah satusatunya anak. Dilanda kesedihan yg dalam, Edwards kembali menekuni hobi : minum. Kian hari kian menjadi.

"Akhirnya levernya kena," kata Kanti.

Didera sakit lever, Edwards ambruk. Keduanya memutuskan hijrah ke Jakarta untuk betobat. Mereka tinggal di Hotel Banggalawa Jakarta Sekatan. Tak berapa lama, mereka pindah rumah kontrakan. Lebih murah.

Drama sakitnya Edwards berakhir. Hanya selisih 6 bulan, ia menyusul jejak ibunya.

"Waktu itu saya tanya keluarganya apakah boleh dikremasi. Mereka bilang you can no fire your husband. But you have no money. Saya bilang oke. I never mind," kata Kanti.

Kini Edwards, belahan hatinya, sudah tidur dg tenang. Ia kuburkan malaikat penyelamat itu di Pondok Ranggon Jakarta Selatan.

 

 

(3) KENANGAN DAN WARISAN

Edwards, pria baik itu, pria yg mencintai Kanti tanpa ragu, telah pergi. Selamanya.

Dalam sendiri, harihari Kanti berikutnya adalah pertarungan melawan kenangan. Benih cinta bule itu telah menghunjam ke tulang sumsumnya. Dengus nafas Edwards seolah selalu menyertai Kanti ke manapun dia pergi. Apalagi di kampung halamannya di Malang, tempat di mana semua foto dan memori ia simpan. Tak sanggup Kanti merawat semua itu. Iapun memilih tak pulang kampung mengelus-elus masa lalunya bersama Edwards. Ia tak mau kembali.

"Saya selalu teringat kebaikannya. Dia didik saya agar berani dan bisa nyesuaikan diri di luar negeri. Nyesuaikan dg lingkungan Edwards dan teman-temannya," mata Kanti menerawang. Sore itu ia masih makai seragam kemarin. Topi yang tak pernah lepas dari kepalanya dan kaos. Kaos Partai Demokrat. Kaos bau. Celana stocking ia ganti dg rok pendek mekar mempertontonkan kakinya yg kecil kokoh memancarkan semangat hidupnya yang liat.

Kanti juga enggan balik ke rumah Bojonegoro, rumah yg ia bangun dengan susah payah saat kerja di Hongkong. Rumah yang kini ditempati anak beserta mantan suami. Ia biarkan dia tetap berteduh di sana dg pertimbangan kasihan. Ia tak mau repot oleh masa lalu. Ia ingin melanjutkan perjalanan hidupnya. Ia memutuskan berkelana di Jakarta.

"Saya ngamen. Karena tak tau Jakarta, saya pinjem anak teman. Kemanamana bersama dia. Dia tau jalan. Kadang ke Kampung Melayu, Benhil," tutur Kanti. Ngamen karaoke adalah pilihan paling masuk akal. Ia tak bisa main musik. Ia juga tak punya siapapun di sini. Uangpun tak ada. Sisa uang peninggalan Edwards 16 juta sudah habis untuk mengurus jasadnya. Untuk kenduri 100 hari dan lain lain.

Di bulan-bulan pertama sepeningggal Edwards, hampir tiap bulan Kanti mendapat kiriman uang dari kerabat suami di Inggris untuk bertahan hidup. Lewat pos. Tiap kirim, mereka telpon ke hp Kanti. Namun sejujurnya, Kanti tidak gembira dengan itu semua. Ia menikah dengan Edwards bukan untuk itu. Ia pun menjual hpnya agar tak lagi bisa dihubungi.

"Saya tak mau orang sana punya kesan kalau saya perempuan pengeret. Tukang porot. Saya tak mau perempuan Indonesia punya kesan jelek di mata orang asing garagara saya," katanya.

Sebagai anak pertama dan satusatunya di keluarga, Edwards berhak atas rumah peninggalan orangtuanya di Inggris. Suatu kali, paman Edwards pernah menghubungi Kanti untuk urusan harta waris. Demikian juga lawyer yg mewakili keluarga Edwards. Katanya, dia berhak atas rumah berikut isinya asalkan Kanti mau pindah tinggal di Inggris. Kedutaan Inggris di Jakarta juga menghubungi. Mereka bilang Kanti bisa dapatkan rumah warisan dengan catatan selama tiga tahun sepeninggal Edwards, Kanti tetap nenjomblo. Aduuh..syarat yg tak ringan.

"Saya tak mau mikir warisan. Biarlah hidup saya mengalir. Apa yg terjadi biar saja. Di Inggris saya juga tak punya siapa-siapa. Untuk apa tinggal di sana. Saya mau sembuhkan hati. Saya mau hilangkan semua kenangan pd Edwards," kata Kanti.

Demikianlah, perempuan dekil yg hanya mengenyam kelas 5 SD ini mengisi hariharinya dengan ngamen. Ia tak beranjak dari kawasan Pasar Minggu Jakarta Selatan. Hanya pindah kontrakan yg jauh lebih murah dari kontrakannya bersama Edwards.

Di Pasar Minggu, pergaulan Kanti berubah total. Kali ini ia hidup di tengah kere-kere pengab ibukota. Pengamen, pengemis, pemulung. Hidup bersama kecoak. Namun ia sama sekali tak memprotes atas semua ini. Ia tak menggerutu. Biasa saja. Ia hampir khatam atas aneka kepahitan hidup. Ini membuatnya kuat. Ia hadapi semua ini dg gagah berani. Dengan tawa dan keyakinan bahwa suatu kali hidupnya pasti berubah. Hidupnya akan kembali bergerak naik. Hanya soal waktu

"Hidup kadang di atas kadang di bawah. Mirip roda. Yang kenal saya dulu sama Edwards masih suka panggil panggil hai jeng..," katanya. Wajahnya tiba-tiba semrigah. Ia nyengir lagilagi memperlihatkan giginya yg rompal.

Hari berganti hari. Kanti sibuk dg rutinitasnya ngamen. Hingga suatu hari, seseorang datang dan tinggal tak jauh dari kontrakannya. Masih muda. Lusuh. Kumis tipis, mata sendu, irit bicara. Tidak bengal. Namanya Herman. Rupanya, anak muda ini datang memanggul kenangan yg pedih tentang perempuan. Ia datang dengan hati remuk redam.

(4) MISS LUSI & HERMAN

Kalibata, Jakarta Selatan. Malam itu Kanti kembali beredar menjajakan suara. Kotak spiker ia gendong sebagaimana ia menimang jabang bayinya sendiri. Mikrofon di genggaman tangan, mulut melolong melantunkan lagu-lagu. Tak lupa ia bawa anak tetangga. Tugasnya nyawer.

“Nah..malam itu saya dengar ada yang ngomel. Saya dibilang sombong. Mbuh maksudnya apa. Saya cuekin saja. Nggak kenal,”, Kanti kembali mengingat-ingat perjumpaan pertamanya dengan pemuda kumal bernama Herman.

Tidak disangka, Herman ternyata tinggal di gubug tak jauh dari rumah kontrakan Kanti di Pasar Minggu. Sebagai sesama kere jalanan, keduanya kemudian kerap bersua. Perkenalan mereka kian menjadi tatkala asisten Kanti, anak penyawer, tiba-tiba tak bisa ngantor dan ikut jalan. Kanti putar otak. Ia tak mau istirahat. Ia harus tetap ngamen. Apaboleh buat, pilihan jatuh pada Herman. Ia sudah cukup mengenalnya.

Itulah awal-awal persahabatan Kanti dengan Herman. Di perjalanan, Kanti malah menghentikan asisten anak dan mengajak Herman sebagai asisten tetap. Keduanya lantas menjadi duet pengamen yang meramaikan blantika musik karaoke jalanan ibukota bersaing dengan banci-banci. Kanti menyanyi, Herman nyawer. Hanya sesekali saja pemuda pemalu itu mau memamerkan suaranya. Mungkin juga ia menyadari bila suaranya tidak layak mengudara. Bicara saja hanya terlihat komat-kamit. Suaranya lirih. Memang, Herman bukan pria keras berotot. Bukan pemuda berandalan bertato. Suara dan perangainya lembut. Ia tidak biasa bicara dengan kata-kata. Ia bicara dengan mimik muka dan gerak tubuh.

“Dia juga kolokan. Kalau ngambek kaya anak kecil. Saya biarin saja dia bebas. Saya ngemong saja,” kata Kanti.

Di sela-sela ngamen, keduanya kerap bertukar obrolan dan cerita. Perbincangan ngalor-ngidul yang kian mempererat persahabatan. Dari situlah Kanti tahu jerohan Herman. Pemuda yang setiap hari bersamanya itu ternyata sedang mencoba bangkit dari hidupnya yang berkeping-keping. Ia sedang patah hati. Istrinya pindah ke lain hati. Dan itu tak bisa ia ungkapkan ke siapapun. Mungkin hanya kepada Kanti yang mulai ia kenal dan pelan-pelan ia percaya.

“Dia bubar sama istrinya. Waktu dia kerja di Jakarta Utara, istrinya selingkuh. Selingkuhnya waktu istrinya sudah jadi cleaning service di Kuningan. Gimana ndak sedih. Herman yang bantu ini itu sampai jadi cleaning service,” tutur Kanti.

Siang ganti malam, malam berganti pagi. Kanti dan Herman kian menyatu. Di mana ada Kanti, di situ ada Herman. Pemandangan ini rupanya diam-diam dipantau oleh sepasang mata tua. Sepasang mata yang terganggu. Sepasang mata yang panas dingin melihat Kanti dan Herman runtang-runtung melewatkan hari-harinya dengan canda dan tawa. Dialah Miss Lusi, si nenek 70 tahunan sesama kere dan tinggal tak jauh dari mereka. Miss Lusi dibakar rasa cemburu. Api kecemburuan yang menyala-nyala dan tak sanggup ia sembunyikan lantaran sesungguhnya ia juga menaruh hati pada Herman, si brondong berhidung mbangir dengan tatatapan sendu itu. Ia tak rela Herman wira-wiri dengan si janda ompong.

Hati Miss Lusi yang mendidih akhirnya berubah menjadi benci. Suatu kali, Miss Lusi menghembuskan fitnah bahwa Herman telah tinggal serumah dengan Kanti. Dia meminta pada beberapa orang untuk menggrebek. Dan terjadilah aksi penggrebekan itu. Herman dituduh tidur dan kumpul kebo.

“Waktu iu saya kebetulan pas ngamen sendirian di perempatan Pasar Minggu. Malam-malam. Sama banci-banci. Lalu saya dengar Herman digrebek. Belakangan saya tau itu kerjaan Lusi. Iya kan?,” ujar Kanti. Ia teriak bertanya pada Herman. Yang ditanya, seperti biasa, tak melepas sepatah katapun.

Insiden penggrebekan itu membuat Kanti dan Herman berpikir tentang jernis hubungan mereka. Tentang masa depan. Memang tak pernah ada ungkapan kata cinta di antara keduanya. Mungkin itu tak terlalu penting. Apalah arti kata cinta kalau di alam nyata tak menyatu. Kanti yang sendirian membutuhkan tempat sandaran. Tempat ia bisa merawat canda dan impiannya. Sedang Herman yang patah hati, memerlukan sosok perempuan terpercaya, tak peduli walau itu janda yang sudah jadi nenek-nenek dengan tubuh rata bak papan.

“Teman saya pada kasih saran sebaiknya saya menikah saja. Biar tak diomongin orang. Ya gitulah. Trus saya tanya Herman apakah dia mau terus dengan saya. Syaratnya, dia harus baik. Harus berubah. Kalau tidak mau, tidak usah. Sampai di sini saja. Makanya dia saya ajari sholat. Saya suruh Jum’atan. Saya bisa baca doa-doa. Cuma tak bisa baca Alquran. Kayaknya dia nurut saja,” turu Kanti.

Suatu kali, Kanti mampir ke rumah nenek Herman di Kelapa Dua. Di sana Kanti kenalan dan ngobrol ngalor ngidul dengan si nenek. Di situ, nenek berpesan agar Kanti menjaga Herman yang menurutnya kurang kasih sayang sejak kecil. Kira-kira seminggu kemudian, Herman memberi kabar bila neneknya meninggal.

“Saya jadi kepikiran sama pesennya,” kata Kanti.

Kanti akhirnya memaknai pesan itu sebagaimana saran teman-temannya : menikah. Bagi Kanti, menikah dengan brondong tak masalah. Toh Edwards, pria bulenya dulu, usianya juga jauh lebih muda darinya. Kini usia Kanti hampir mendekati usia ibunya Herman. Cuma selisih 4 tahun. Dan syukurlah, orangtua Herman tak keberatan dengan hubungan itu. Mereka senang Herman menemukan pasangan yang baik.

Herman pun siap meyambut pernikahan keduanya dengan perempuan yang sudah seumur ibunya itu. Kanti adalah perempuan baik. Dan itu sudah lebih dari cukup baginya untuk menjadi alasan memilih Kanti sebagai pasangan hidup. “Dia bisa bimbing saya,” ujar Herman malu-malu. Suaranya nyaris tak terdengar.

Namun mereka masih perlu waktu. Butuh biaya tak sedikit. Untuk sementara Kanti mencari jalan tengah. Ia minta jasa orang masjid agar dinikahkan secara siri. Yang penting sudah tidak jadi gunjingan orang. Nikah siri ini hanyalah tahap awal. Rencananya, mereka akan meresmikan pernikahan di KUA kelak setelah uang cukup. Setidaknya butuh 2 jutaan.

(5) SRIKANDI EDAN MENYONGSONG PERNIKAHAN

Jemarinya menjepit sebatang rokok Marlboro. Beberapa kali dihisapnya itu batang lalu menghamburkan asapnya ke udara. Kanti membiarkan tubuh kerempengnya rebahan di gerobak. Sore yg sedap.

"Saya ngrokok sejak usia tujuh tahun. Turunan nenek. Dia juga perokok berat," ujat Kanti.

Kanti aslinya tak bertampang perokok. Tak ada guratgurat coklat bekas nikotin di gigi. Bersih. Meski begitu hidupnya sudah tak bisa lagi dipisahkan dari tembakau. baginya, nikotin adalah sumber kesehatan. Pernah suatu kali ia berhenti. Akibatnya celaka.

"Waktu mau ke Hongkong. Kan dilarang ngrokok sebagai syarat kerja. Saya terpaksa berhenti. Eh malah dapat paruparu basah," ia ketawa mengenang sakitnya. Lalu ia memutuskan kembali menghisap. Hasilnya, paru-paru basahnya bablas sampai sekarang. Aneh.

Hari ini, selain rokok, teman hidup Kanti adalah gerobak. Di sanalah ia labuhkan segala impian. Gerobak seharga 600 ribu itu adalah jalan baginya untuk kembali menata hidup bersama pasangan barunya, Herman.

"Begitu nikah siri, saya berhenti ngamen. Ganti mulung. Hasilnya lebih kecil dari ngamen. Tapi lebih menjanjikan. Saya mau tampung hasil mulung teman-teman. Saya mau jadi juragan," tuturnya. Matanya menerawang. Sepertinya ikut meniupkan doa-doa ke langit. Tak jauh darinya, Herman sibuk membereskan botol air minetal hasil mulung hari itu.

Memulung punya tantangan berbeda. Banyak orang memandang rendah status pemulung. Kanti sangat paham. Berkalikali orang lewat di depannya sembari pencet hidung. Ia bilang itu menyebalkan. Jasa pemulung itu menurutnya luar biasa. Kebayang Jakarta minus pemulung.

"Saya pernah minta ijin mulung. Orangnya cuek saja. Belagu. Lalu saya bilang, hey..I want take cups. Dia kaget. Pemulung bisa Inggris. Lalu dia baik dan membiarkan saya ngumpulin barang. Saya kalo marah pakai bahasa Inggris. Kalo Indonesia terasa kasar," ujar Kanti.

Tekad untuk menjadi juragan itu Kanti sematkan di gerobak. Lebaran lalu ia menorehkan warna pink di gerobak agar tampak lebih bening dan segar. Semangat. Warna cinta. Tak lupa ia tambahkan logo love penuh tawa dan huruf H.K. Apalagi maksudnya kalau bukan Love Herman Kanti. Top.

"Saya yang lukis. Ini modal hidup baru," katanya. Angin kecil nenyerbu rambutnya yang kemerahan. Sepertinya dicat. Itu bukan gayagayaan. Itu ekspresinya sebagai perempuan merdeka yg bisa menentukan arah hidupnya sendiri.

Di bagian belakang gerobak, Kanti juga nenuliskan nama tokoh perempuan idolanya: Srikandi Edan. Sejak kecil, sebagian waktu Kanti memang diisi dengan menonton pertunjukan wayang atau mendengar wayang dari radio. Ia sangat mengagumi Srikandi, perempuan pemberani yang mahir memainkan panah.

"Dia pahlawan saya. Nama saya kan mirip. Srikanti. Saya kasih tambahan EDAN karena hidup saya juga edan," Kanti terbahak.

Kini Kanti sedang giat menabung. Hariharinya harihari menabung. Tahun depan bila tak ada aral melintang, ia akan bikin perayaan pernikahan denan Herman.

"Mungkin makan-makan di mana gitu. Nanti saya undang," ia janji pada saya.

Magrip di depan mata. Sesudah tos, saya pamit. Dalam hati saya mengirim doa untuk Kanti. Semoga lancarjaya.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun