"Ketahuilah, Istri dan anak-anakku. Kenapa aku memilih untuk tidak aktif lagi setelah pensiun? Karena aku takut dan cemas dengan perilaku kalian. Aku tidak mau hidup keluargaku dihiasi kemunafikan dan kepalsuan. Kalian tahu bahwa jabatan yang pernah kuperoleh itu adalah sebuah amanah dan kepercayaan. Aku mesti mempertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya. Tapi oleh kalian jabatan yang kududuki itu dijadikan sarana untuk memenuhi kepentingan, kesenangan, egoisme, dan ambisi pribadi kalian. Dengan membawa-bawa nama Bapak kalian bisa menikmati berbagai fasilitas negara dengan seenaknya, meminta keistimewaan dalam pergaulan, mencaplok proyek yang semestinya harus didapatkan dengan fair, atau dijadikan senjata buat memenangkan perkara. Apakah semua itu benar?" cetus Ratno dengan nada tajam.
      Istri dan anak-anaknya malah diam terpekur. Kata-kata Ratno tampaknya sangat mengena telak dalam hati mereka.
      "Bapak sudah memberikan yang terbaik buat kalian. Seperti kamu Bagus, sekarang kamu sudah punya perusahaan sendiri. Jalankan perusahaanmu dengan segenap kemampuan dan potensimu, jangan mengandalkan lagi nama Bapak. Lalu kamu Ratna, sekarang kamu sudah dapat gelar S1. Buat apalagi gelar itu? Kamu menunggu Bapak memberikan memo biar bisa masuk ke instansi atau perusahaan besar, begitu? Dan kamu Doni? Apakah hanya karena teman-temanmu sekarang tidak lagi mau bergaul denganmu gara-gara Bapak sudah pensiun, akan membuat kamu kehilangan nilai bagus di sekolah? Justru ini bisa jadi pelajaran berharga buat kamu bahwa teman-temanmu yang dulu itu tidak pernah tulus dalam bersahabat. Lebih baik kamu berteman dengan orang biasa, tapi bernilai dalam menjalin persahabatan," lanjut Ratno kemudian menasehati anak-anaknya.
      "Dan terakhir buat kamu, istriku. Kita sekarang sudah sama-sama tua. Buat apa lagi mengejar hal-hal yang bersifat duniawi? Sudah saatnya kita memikirkan tentang bekal akherat. Kita harus lebih mendekatkan diri kepada Allah dan memperbanyak amal kebajikan. Karena hanya itu yang akan kita bawa bila kelak mati!" tandas Ratno.
      Semuanya hanya diam termenung.
Cerpen ini pernah terbit di harian Solopos -- 31 Oktober 2004
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H